"Septa, terima kasih untuk hari ini. Tetaplah bersamaku! Tugas utamamu di kantor, di luar itu ada uang khusus. Semua rincian udah aku email ke kamu. Pelajari! Kalo ada yang kurang jelas, bisa hubungi nomor teleponku,” ucap Arga lalu dibukanya sebuah aplikasi di ponsel.
Tak lama kemudian terdengar suara pemberitahuan pesan di ponsel Septa. Wanita berkepang ini pun kaget saat melihat jumlah nominal yang tertera di layar ponsel.“Ya ampun, Pak! Banyak banget? Saya masih dua hari bekerja, kok udah dapat gaji?” tanya Septa keheranan dan Arga hanya membalas dengan senyuman. “Pak?” “Itu untukmu, Sayang!”Tiba-tiba Arga mendaratkan kecupan di kening Septa dan seketika memanas seluruh permukaan kulit wajah sang sekretaris baru ini.Bos panggil Sayang? Gak salah?Saat otak Septa sibuk memikirkan hal barusan, tangan pria di sampingnya telah meraih jemari dan mengecupnya.“Temani aku, Sekretarisku!” Septa seketika menoleh kaget tanpa sadar mata keduanya beradu dan membuat Septa seketika berpaling karena malu. Arga bukannya melepas tangan Septa bahkan mengecup punggung tangan sang sekretaris untuk kedua kalinya. Perasaan sang gadis polos semakin dibuat melayang.Baginya semua bagai mimpi, dapat lolos diterima kerja di antara para pelamar yang seluruhnya berpenampilan foto model. Apalagi sekarang bos tampan berucap sayang. Hatinya berdebar-debar bagai naik rolling coaster.“Septa?” bisik Arga lembut di telinga gadis bersweater merah yang sedang asik menikmati belaian ilusi.“Oh, ya, ya, Pak. Ad-ada apa?”Arga tertawa melihat ekspresi Septa yang salah tingkah. Septa yang mendengar tawa pria bermata elang ini segera tersadar.“Maaf, Pak,”ucapnya gugup sembari tertunduk malu.“Gapapa, asal kamu selalu di dekatku. Semua bisa teratasi. Terima kasih, Sayang! Kamu gadis yang kucari selama ini,” ucap Arga sembari mengemudikan mobil ke arah rumah sang sekretaris.Lima belas menit berlalu. Mereka telah sampai di depan rumah Septa. Tampak di teras, Dion dan mamanya telah menunggu kedatangan mereka. Arga mengikuti Septa turun dari mobil. Keduanya menenteng beberapa kantong belanjaan memasuki halaman rumah lalu menuju teras.“Selamat malam, Tante, Dion!”Arga menyalami Bu Rita dan Dion secara bergantian.“Selamat Malam. Silakan duduk, Nak!” Bu Rita mempersilakan si tamu.“Maaf, sekadar oleh-oleh,” ucap pria gondrong ini sembari meletakkan kantong belanja yang ia bawa di atas meja.“Kok repot-repot, Nak. Terima kasih banyak. Permisi, saya masuk dulu.” Bu Rita berlalu.“Saya bawa masuk ya, Pak?” tanya Septa yang kemudian dibalas anggukan oleh Arga. Septa pun kemudian masuk dengan membawa kantong-kantong tersebut “Wah, ceritanya ini kerja apa lancong?” tanya Dion menggoda Arga.“Dua-duanya, Bro. Kebetulan tadi di sepanjang jalan ada toko oleh-oleh, mampir bentar beli.” Tak lama kemudian Septa dan Bu Rita keluar dengan membawa dua cangkir teh hangat dan sepiring martabak telur lalu diletakkan satu persatu di atas meja. “Silakan, Pak! Kemudian Septa dan Bu Rita duduk berdampingan.“Maaf, boleh numpang toilet sebentar?”Terlihat muka Arga pucat pasi sembari menahan perut dengan kedua tangan.“Mari saya antar, Pak,” jawab Dion sembari bangkit diikuti Arga. Kedua pria tersebut lalu masuk ke rumah.“Mama lihat muka Nak Arga pucat banget, Sayang,” ucap Bu Rita terlihat cemas.“Iya, Ma. Padahal tadi dalam perjalanan tak apa-apa,” timpal Septa.Tak lama kemudian terdengar Dion berteriak dari dalam. Septa dan mamanya segera berlari menghampiri. Saat kedua wanita ini datang, Dion mengangkat tubuh Arga ke dalam kamar.“Sayang, tolong ambil kayu putih!” perintah Bu Rita.Septa segera bergegas mencari kayu putih di dalam kotak obat yang terletak di ruang tengah. Saat telah mendapatkannya, segera diulurkannya obat tersebut kepada abangnya.Dion kemudian mengusap beberapa bagian tubuh Arga dengan kayu putih dan mengusapkan sedikit di hidung. Ketiganya tampak cemas melihat keadaan Arga.Dion lalu mengajak Bu Rita keluar untuk berbicara empat mata. Wanita separuh baya ini pun mengikuti langkah si sulung keluar kamar. Saat Septa ikut beranjak, Dion melarangnya. Septa diminta menjaga Arga, khawatir tiba-tiba sang bos bangun.“Ada apa sih?” tanya Bu Rita keheranan.“Hanya sedikit curiga aja, waktu Dion angkat barusan. Bos ngingau, jangan pergi! Di sini aja!”“Lalu, apa hubungannya?” tanya sang mama semakin bingung.“Mama gak liat? Gimana Bos Arga liatin Septa? Kayaknya bos punya phobia. Dion pernah baca soal itu. Makanya Dion suruh Septa nungguin,” ucap Dion sungguh-sungguh.Setelah memberi penjelasan secukupnya pada sang mama lalu mereka masuk kembali ke kamar. Mereka melihat Arga sudah siuman dan sedang memegang tangan Septa. Bu Rita akhirnya paham dengan penjelasan Dion barusan. Rupanya bos muda terlihat jauh lebih tenang saat berada dekat Septa.Akhirnya atas saran Dion sesuai buku yang ia baca, Septa membuat teh dicampur madu untuk Arga. Malam itu Arga menginap di rumah keluarga sederhana tersebut. Dion terpaksa pindah tidur di sofa ruang tamu. Sepanjang malam badan Arga menggigil dengan suhu tubuh tinggi. Akhirnya pagi harinya dengan mobil yang dikemudikan Dion, Arga diantar ke rumah sakit dan harus menjalani rawat inap. Arga yang demam hanya mau dijagain oleh Septa. Bu Rita dan Dion menunggu di luar ruangan. Saat Dion akan menghubungi pihak keluarga Arga melarangnya. Akhirnya malam itu, bertiga secara bergiliran menjaga bos muda. Arga merasa bahagia berada di antara keluarga Bu Rita yang bersahaja dan ramah.Septa yang paling sering mendampingi Arga di dalam ruangan karena hanya di dekat sang gadis, Arga bisa lebih tenang. Siang hari, saatnya Dion berangkat kerja dan Bu Rita harus menjaga kiosnya di pasar. Akhirnya, hanya Septa yang jadi penunggu sang bos sembari mengerjakan tugas kantor dengan arahan dari Arga.“Maaf, ya! Training kerja terpaksa di rumah sakit,” ucap Arga lirih sembari menahan perutnya yang masih terasa perih.“Gak apa-apa, Pak. Yang penting Bapak sehat,” jawab Septa sembari merapikan semua berkas.Hari ini Septa telah lumayan mengerti dengan tugas utamanya sebagai sekretaris Arga termasuk menyediakan minuman khusus dan obat untuk sang bos. Arga berterus terang jika saat keluar kota lupa membawa obat dan akhirnya kejadian pingsan di rumah Septa."Septa, kepalaku ...."Arga tiba-tiba tak sadarkan diri kembali. Septa jadi panik."Pak Arga! Pak ...!Wanita berkepang ini lalu segera memencet bel untuk memanggil perawat. Tak seberapa lama, dua orang perawat telah datang untuk memeriksa keadaan Arga. Kedua perawat mengatakan akan melanjutkan pemeriksaan saat kunjungan dokter sejam lagi."Siumannya masih lama, Sus?""Enggak. Cuma kecapekan saja. Kami akan kembali bersama dokter. Selamat pagi.""Selamat pagi, Suster. Makasih."•••¤•°•¤•••Septa hampir selesai menikmati sarapan saat tiba-tiba ekor matanya melihat penampakan sosok Arga melewati kantin. Gadis ini segera menyelesaikan usapan terakhir lalu membayar makanan. Langkahnya kini mencari keberadaan sosok yang dilihat barusan.Itukan Pak Arga. Kenapa duduk di taman?Septa segera mendekat ke arah sosok pria tersebut. Setelah mendekat ke pria tersebut, betapa kagetnya Septa."Pak kenapa mimisan gini?" tanya Septa cemas lalu mengambil sebungkus tisu dari dalam tas. Ia mengusap darah yang belepotan di hidung dan bibir Arga lalu menyumpal lubang hidung sang bos dengan tisu."Septa, jangan pergi!"Arga memeluk tubuh Septa erat-erat--membuat gadis itu membelalakan mata."P--Pak?"
"Pak Arga mengidap phobia, perlu pemeriksaan oleh seorang psikiater. Bu Septa adalah orang yang dipercaya Pak Arga saat ini.""Saya harus bagaimana, Dokter?""Dampingi beliau selalu, Bu."Setelah memberi penjelasan tersebut, dokter dan kedua suster berpamitan. Seharian bersama sang bos membuat Septa sedikit banyak semakin mengenal kepribadiannya. Si bos yang ganteng dan kaya rupanya punya rasa minder dengan penyakitnya yang aneh. Selama ini telah beberapa kali sang bos salah mengenali orang hingga ada rencana proyek gagal terlaksana.Kini di hadapan sekretaris barunya, Arga yang anti sosial memelas meminta agar Septa menemaninya setiap saat dibutuhkan. Pria tampan dengan pandangan kosong ini mengulang permintaannya saat di luar kota kemarin. Septa yang merasa sebagai pegawai baru, dianggapnya hal tersebut sebagai tantangan baru dalam bekerja. “Sekarang tolong ketik perjanjian kita dan di situ juga, sebutkan apa syarat-syarat apa saja yang harus aku penuhi untuk konsekuensi permintaan
"Enak, nih! Makanan pesan antar,” celutuk Dion melihat bungkus makanan gerai siap saji yang sedang dinikmati Septa.Septa sedang menikmati makanan yang telah dipesan khusus oleh Arga, saat Doni datang bersama mamanya. Septa segera mencium tangan keduanya lalu sementara waktu menyimpan sisa makanannya untuk dilanjutkan nanti.“Pantaslah, sampai lupa gak telepon, padahal Mama tunggu kabar, ” sahut Bu Rita juga.“Iih, apaan sih? Baru makan pagi doang sampe hampir sore ini. Bos sempat ngedrop, gak berani ninggalin cari makan,” sahut Septa dengan muka memelas. Sang mama seketika mengelus kepala anak perempuannya. Ia tahu Septa adalah anak yang jujur dan baik hati.“Maaf ya, Tante, Dion. Septa sampe kelaparan merawat saya. Terima kasih atas kebaikan kalian, ya,” sahut Arga menengahi mereka agar tak menyalahkan Septa. Hatinya jadi nggak tega melihat muka sedih sekretarisnya.Mama dan Dion tertawa mendengar jawaban Arga lalu segera menghampiri lalu menyalami bos muda.“Kami cuma bercanda aja,
"Ini rumah Bapak?" tanya Septa sambil berdecak kagum, saat mereka telah sampai teras rumah Arga.Arga hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sekretaris lucunya."Ayo kita masuk!" ajak Arga seraya mendongak ke arah Septa yang masih terkagum-kagum dengan hunian mewah sang bos.Septa mendorong masuk kursi roda Arga. Mereka memasuki sebuah ruangan luas mirip aula, terdapat tiga set meja kursi tamu dengan gaya klasik menambah kesan mewah dan elegan yang mendukung desain ruangan. Septa terkagum-kagum dengan ruangan dan segala furniture di dalamnya. Ia melihat semuanya seakan memasuki sebuah ruangan istana dalam buku dongeng. Mulut Septa tersenyum simpul dan hal ini tak luput dari pandangan Arga. Dari arah dalam muncul seorang wanita setengah baya menghampiri mereka.“Selamat sore, Pak! Saya sudah memasak menu kesukaan Bapak.”“Selamat sore, Bik! Siapkan paviliun untuk Nona ini dulu, baru siapkan masakan untuk kami. Septa kamu ikuti si Bibik, setelah itu balik ke sini, kita makan.”Arga
“Septa? Saya tadi mandi, kan?” “Bapak tadi pingsan di kamar mandi. Maaf saya gantiin baju Bapak," ucap Septa tertunduk malu karena baru kali ini ia melihat tubuh pria tanpa baju di depan mata.“Tapi ini kok basah?” tanya Arga sembari mengusap celana bagian belakang dan depan di area sensitifnya.“Maaf, Pak. Saya gak berani menggantinya.”Kepala Septa semakin tertunduk saat mengatakannya dan membuat Arga tersenyum. Pria jangkung ini tahu hal tersebut wajar dirasakan oleh gadis seperti Septa. Arga perlahan mulai bangun lalu melangkah ke arah lemari pakaian dan mulai mengambil sebuah celana dalam dan celana pendek, tapi tiba-tiba tubuhnya limbung.Arga berusaha berpegangan pada tepian lemari. Septa yang mengetahui hal itu segera membimbing pria tersebut untuk duduk di ranjang kembali. Septa kemudian mengambil kursi roda dan membantu sang bos untuk duduk di atasnya. Gadis bersweater merah ini mendorong kursi roda tersebut masuk ke toilet lalu menutup pintunya kembali. Septa menunggu sam
"Oh, ya, Tuhan. Mengapa harus aku?""Inikah balasan dia?"Septa menangis sesengukan dalam toilet karena bingung harus bagaimana menjalani hidup setelah ini. Setelah membersihkan diri ala kadarnya, ia segera keluar langsung berlari ke arah tangga.Wanita berkepang yang acak-acakan menuruni tangga dengan tertatih-tatih menahan sakit di salah satu bagian tubuhnya. Ia bertekat segera keluar dari rumah tersebut. Dirinya tak akan sudi lagi bekerja dengan Arga. Setiba di paviliun, ia segera memasukkan semua pakaian dan barang-barangnya ke dalam travel bag. Septa menggunakan aplikasi transportasi daring untuk memesan sebuah taksi. Ia segera menyeret travel bag ke arah gerbang dan menitipkan kunci paviliun kepada sekuriti yang sedang berjaga. Tak lama kemudian taksi yang ditunggu telah datang. Septa segera naik dan lenyap bersama taksi di keramaian jalan raya. Bibik yang mendengar ada suara taksi berhenti di depan rumah langsung keluar dan melihat si Non telah pergi naik taksi dengan langkah
"Septa ...!"Gadis manis ini tak ingin ngomong apa pun. Ia benar-benar sakit hati. Tak ada yang bisa diperbuat untuk memperbaiki keadaan seperti semula dan .... apa yang mesti ia katakan pada mama dan abangnya. Lebih jauh lagi, masih adakah pria yang mau menjadikannya seorang istri dengan setulus hati, jika tahu ia sudah tak lagi suci.Septa memikirkan semua menjadi gila sendiri. Rasa sedih akan nasibnya sekaligus menertawakan diri sendiri yang bodoh. Hanya ingin berbuat baik tanpa melihat latar belakang sang bos, tapiy akhirnya ia sendiri yang rusak. Septa hanya mampu meneteskan air mata, terisak-isak karena hanya itu yang ia bisa untuk meringankan segala beban di dada. “Septa, maafin aku, please!”“Sa-sa-ya gak tau lagi ....,” jawab Septa sembari berurai air mata sesekali tangannya mengusapkan tisu.“Kita nikah! Aku akan ngomong terus terang pada Tante dan Dion.”“Gak semudah itu! Saya gak tau asal usul dan gimana sifat asli Bapak.”“Kita jalanin aja! Hanya sebatas formalitas aja,
“Aku gak akan lepas tanggung jawab. Kita jalani kesepakatan kemarin demi menjaga harga dirimu. Aku toh bukan orang bermasalah dan tahu betul keluargamu. Mau, kan?” ucap Arga bersungguh-sungguh seraya membelai lembut rambut wanita dalam dekapannya.Perlahan Septa mengangguk dan terasa di bahu Arga. "Ada Bibik. Ia terlihat malu,” ucap Septa tertawa lirih.“Biarin aja! Dia juga pernah muda, “ balas Arga yang kemudian mengecup bibir Septa sepintas. Mereka berpelukan cukup lama demi mengecap rasa bahagia dari dua hati yang menyatu.Oleh karena Septa tak mau dibawa ke rumah sakit, terpaksa seorang dokter didatangkan ke rumah untuk memeriksa. Gadis manis ini hanya mau diperiksa tanpa suntikan jarum dan resep dokter. Ia sudah sangat trauma dengan apa pun yang berbau kimia. Tak lama kemudian seorang dokter datang dan segera memeriksa keadaannya.Setelah memberitahu penyakit yang diderita Septa, dokter segera berpamitan. Arga jadi kebingungan dengan keadaan ini. Ia memikirkan cara agar Septa b
Ada senyum kecil tersungging dari sudut bibir gadis manis ini setelah membaca isi surat dari bosnya. Terkesan mesum tetapi memang Arga butuh pelukannya. Hal tersebut untuk mengaktifkan syarat-syarat otak agar bisa berjalan normal.Oleh karena obat-obat dari dokter tidak ada yang manjur. Septa jadi kepikiran soal Arga karena hari ini adalah jadwal bertemu klien penting.Bagaimana cara bos mengenali kliennya?Septa berniat menelepon Arga, tetapi masih ada rasa trauma. Hal itu masih menyisakan rasa jengkel. Akhirnya Septa menelepon Bibik. Tak tahunya, wanita tersebut sedang keluar berbelanja. Tak lama kemudian ada panggilan masuk ke ponsel Septa. Dalam layar tertera nama klien yang rencananya akan bertemu hari ini dengan sang bos. Klien ini menyampaikan kalau tadi sempat bertemu dengan Arga, tetapi hanya sebentar. Arga tampak belum siap meeting karena sedang tak enak badan.Arga berjanji akan mengirim proposal proyek via email. Namun, sang klien tak kunjung menerima email. Akhirnya, kli