Share

JADI CANDU BOS TAMPAN

Septa bergegas menuju depan dan segera membuka pintu.

“Selamat pagi,” ucap si tamu yang tak lain Arga, sang bos.

“Selamat pagi juga, Pak,” jawab Septa sembari mempersilakan Arga untuk duduk.

Pria berpakaian rapi segera duduk diikuti oleh Septa. Mereka kemudian membahas percakapan lewat layanan aplikasi semalam. Sesuai rencana, Septa akan diajak menemui klien di luar kota. Oleh karena harus meminta izin secara langsung pada mama Septa dan Dion, maka dari itu Arga menjemput Septa lebih awal. Baru kali ini Arga mau keluar kota bareng sekretaris apalagi pegawai baru. Secara ia tak gampang mempercayai orang karena gangguan yang dialaminya.

“Septa, boleh saya tanya?” tanya Arga sembari menatap bening mata gadis di depannya ini.

“Oh iya, Pak. Silakan,” jawab Septa gugup mendapati tatapan mata sang bos tak berkedip sedikit pun membuatnya jadi kikuk.

“Kamu udah punya pacar? Maaf agak lancang.” Tatapan mata Arga masih tak mau berpindah dari sekujur tubuh sekretarisnya.

“Maaf, Pak. Ada yang salah dengan penampilan saya?”

“Gak ada yang salah. Sejak pertama melihat kamu, hati saya menjadi lebih tenang. Semoga bisa selalu temani saya,” jawab Arga tanpa basa-basi semakin membuat Septa salah tingkah dan terasa kulit wajahnya memanas karena malu.

“Mak-sud Bapak, saya harus selalu ikut ke mana pun?” tanya Septa dengan nada tak percaya. Ia tak tahu pertemanan macam apa yang diinginkan bos tampannya. Ia juga masih baru menjadi sekretaris pria tersebut.

“Kamu mesti bersedia temani saya di luar jam kerja. Untuk itu saya bayar ekstra. Gimana?”

“Maaf, ya, Pak. Emang selama ini di luar jam kerja, Bapak gak punya teman atau keluarga misalnya?”

Tiba-tiba Arga mendatangi Septa lalu mendekapnya erat layaknya seseorang yang takut kehilangan.

“Jangan tinggalkan saya, please! Saya perlu kamu untuk mengatasi gangguan syaraf ini.” 

Septa gelagapan mendapat dekapan sang bos. Bagaimana nggak grogi dipeluk bos apalagi setampan ini. Bau tubuhnya pun wangi parfum eksport, tak seperti dirinya yang punya parfum beli di toko sebelah. 

“Pak maaf, bisa lepasin saya?” tanya Septa spontan yang merasa kelakuan sang bos kali ini bisa dianggap mesum jika dilihat mama dan abangnya. Ia paham dengan keadaan yang dialami Arga dan orang lain mana tahu itu.

“Maaf, Septa. Refleks saja tadi. Terima kasih, ya! Sekarang hati saya jauh lebih tenang setelah mendekap kamu,” jawab Arga sembari mengurai dekapannya.

Setelah agak lega lepas dari dekapan si bos, tiba-tiba tangan Septa ditarik pria gondrong tersenyum lalu dikecup lembut. Seketika hati si gadis berponi ala Korea ini berdesir. Tiba-tiba dari arah dalam datang Dion, seketika Arga melepas genggaman tangannya. Septa tersenyum tipis melihat kelakuan si bos.

“Selamat pagi, Bos Arga! Pagi banget, ada kerjaan ekstra?” sapa Dion sembari menyalami Arga kemudian ikut gabung duduk di sebelah si adik.

“Oh, ya. Ada pertemuan dengan klien di luar kota. Ini tadi mau jemput Septa sekalian minta izin dengan tante juga.”

“Emang berapa lama?” tanya Dion semakin penasaran. Ia harus memastikan keamanan si adik.

“Sehari doang, entar malam pulang,” ucap Arga sungguh-sungguh dan ia tak bisa bayangkan jika tak dapat izin untuk mengajak Septa dalam pertemuan nanti.

Pasti ia akan kesulitan mengenali wajah setiap peserta pertemuan. Dalam hati Arga berdoa agar dapat izin dari keduanya.

“Bentar, ya, Bos!”

Dion bangkit lalu balik ke dalam, terdengar samar-samar panggilannya untuk mamanya. Tak lama berselang ia datang kembali bersama mamanya. Buru-buru Arga bangkit lalu menyalami wanita setengah umur ini.

“Selamat pagi, Tante! Maaf pagi-pagi sudah bertamu.”

“Selamat pagi juga, Nak Arga. Gak pa pa. Ikut sarapan yuk! Mari, silakan ke dalam,” ucap Bu Rita, mama Dion dan Septa.

“Mari, Bos. Kita sarapan dulu. Perkara izin bisa kita bicarakan nanti,” kata Dion sembari menepuk pundak Arga lalu mereka pun melangkah ke ruang makan. 

Sementara itu Septa sedang mempersiapkan piring saat mereka masuk. Berempat sarapan bersama kemudian setelah itu Aga mengutarakan permintaan izin untuk mengajak Septa menghadiri pertemuan ke luar kota. Bu Rita memberikan izin asal tak menginap.

Dalam hati si mama belum bisa percaya karena ia mengenal Arga baru hari ini meski Dion sudah bekerja sama selama empat tahun dengan si bos muda ini. Arga merasa senang dapat izin dari Bu Rita dan Dion, ia berjanji akan menjaga Septa sebaik mungkin.

Arga dan Septa berpamitan berangkat ke luar kota diiringi doa dari Bu Rita dan Dion. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Arga berucap syukur karena diberi izin mengajak si sekretaris. Septa tersenyum geli melihat tingkah lucu si bos baru ini. Perjalanan sejam lebih harus ditempuh untuk mencapai tempat pertemuan.

Oleh penyelenggara telah disiapkan kamar khusus untuk peserta pertemuan. Begitu tiba, baik Arga maupun Septa memasuki kamar masing-masing. Beberapa menit menjelang pertemuan Arga ditemani Septa telah menuju aula pertemuan dan tiba-tiba Arga mendekap Septa erat.

“Septa, jangan tinggalkan aku. Jangan jauh-jauh dariku!”  Terdengar pelan bisikan Arga di telinga Septa dan si sekretaris mengangguk mengerti.

Bagi orang lain mungkin terdengar aneh, di saat yang lain sibuk mempersiapkan berkas, kedua insan ini malah berpelukan mesra layaknya sepasang kekasih. Setelah merasa lebih tenang, Arga mempersiapkan berkas untuk bahan pembicaraan dalam rapat. Septa beranikan diri memegang tangan sang bos untuk memberi semangat dan Arga tersenyum lebar mendapat perlakuan manis dari sekretarisnya.

Tiba saatnya Arga maju ke depan mengajukan proposal dan ia merasa takjud dengan keajaiban yang terjadi, ia bisa melihat wajah masing-masing peserta pertemuan secara jelas termasuk para kolega yang telah bekerja sama dengan perusahaan.

Akhirnya pertemuan berakhir dengan baik dan jadi pertemuan spesial bagi Arga dalam tiga tahun terakhir karena hari ini untuk pertama kalinya bisa mengenali wajah semua peserta pertemuan.

“Kita mampir sebentar ke toko oleh-oleh untuk membeli sesuatu. Kamu ingin apa? Aku belikan. Anggap sebagai ucapan terima kasih telah dibantu menyembuhkan gangguan syarafku.”

Arga memegang tangan kanan Septa lalu dikecupnya lembut sedang tangan sebelah memegang kemudi. Tentu saja hal ini membuat Septa khawatir.

“Pak, tolong lepasin tangan saya! Bahaya menyetir dengan satu tangan,” ucap Septa sembari menarik tangannya.

Arga seketika menoleh dan tersenyum penuh arti pada gadis manis sebelahnya. Tepat di depan sebuah toko oleh-oleh mereka turun. Segala jenis oleh-oleh yang ada di toko tersebut dibeli oleh Arga. Padahal Septa telah melarangnya tapi tak dihiraukan sang bos. Kini ada dua belas kantong belanjaan penuh oleh-oleh. 

“Pak, ini banyak sekali!" teriak Septa setelah tahu Arga tetap menambah daftar belanjaan padahal ia sudah melarangnya.

“Entar bagi-bagi pada para tetangga sekitar. Anggap bersedekah ucapan syukur karena penyakit syarafku sembuh.”

Septa hanya mampu menggeleng melihat sikap aneh Arga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status