"Keluarlah!"Mendengar Instruksi dari Dewa, barulah Dinda berani memutar kunci. Perlahan dia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya kembali menegang, Dewa menutup aksesnya untuk keluar dengan tangan kekarnya melintang di kusen pintu."Saya mau pulang, Pak. Tolong!" Pinta Dinda dengan suara bergetar. Kedatangan Helena nyaris membuatnya pingsan, jadi kalau Dewa masih menyimpan hasrat padanya malam ini, sebaiknya lupakan saja, dia tidak akan mau.Dewa masih bergeming, meski dia jelas melihat ketakutan di mata gadis itu, dan Dinda sudah bersiap untuk berdebat kalau pria itu masih saja mempertahankan egonya.Apa dia pikir Dinda bukan manusia yang punya perasaan? Bagaimana mungkin dia bisa berhubungan dengan Dewa sementara pikirannya masih shock memikirkan Helen.Nuraninya semakin tersiksa, tapi mau marah, pada siapa? Dia tidak bisa berbuat apa-apa.Tebakannya salah. Dewa tidak mengatakan apapun, dia menarik tangannya dan memberi jalan pada Dinda yang sudah berpakaian."Ini sudah jam 11 malam, t
"Jadi begitu rencananya, Pak. Apa bapak setuju?" Pertanyaan Ferdi, utusan dari PT Global Jaya hanya mengambang di udara. Meeting yang mereka lakukan selama satu jam itu terasa hanya berjalan searah.Fokus Dewa justru tertuju pada pemandangan menggugah hatinya di depan sana. Seorang anak yang tampak dikeroyok oleh tiga orang anak seumurannya. Anak itu dikelilingi, dan seperti diintrogasi. Anehnya, dia merasa tertarik untuk mengetahui pembicaraan mereka."Pak Sadewa," ulang Ferdi, kali ini lebih keras agar Dewa memberikan perhatian padanya. Kalau saja sekretaris Dewa ikut, Ferdi pasti tidak sekesal ini mengurus mau pria itu yang sangat banyak. Bahkan rapat sepenting ini dia hanya datang dengan tangan kosong dan ogah-ogahan menanggapi tawaran kerja sama yang diajukan oleh perusahaan itu."Mmm?""Ini gimana, Pak? Saya harap Bapak mau membaca draft nya terlebih dulu." Ferdi menyerahkan dokumen dalam amplop coklat besar yang masih terikat rapi."Aku akan membacanya. Kirimkan saja lewat emai
"Akhirnya kamu muncul. Apa kamu benar-benar sudah sembuh? Jangan membawa virus ke kantor ini!"Baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan pria menyebalkan yang sudah mendapat julukan dari Dinda- raja iblis- , Dinda sudah kembali dibuat berwajah masam. Kalau bukan memikirkan kontrak, memangnya Dinda mau kembali?"Iya, Pak. Saya sudah sembuh.""Bagus! Ini!" Dewa seenak udelnya melempar berkas yang sudah dua hari ini menumpuk di mejanya yang diletakkan Anita setelah diantar setiap kepala divisi. Mereka membutuhkan tanda tangan Dewa, tapi alih-alih menandatangani, membaca apa isinya saja belum.Selama Dinda tidak ada, Dewa uring-uringan. Dia tidak bisa berpikir jernih. Seperti meeting kemarin, sedikitpun hasil negosiasi itu tidak menempel di kepalanya.Dinda memunguti berkas yang tercecer di lantai. Pagi-pagi sudah membuat mood Dinda berubah jelek. "Ini mau diapain, Pak?""Bakar!""Baik, Pak!""Heh!"Dinda berhenti. Dia hanya berusaha melakukan apa yang diperintahkan pria gila itu. Kata
Wajah Dinda seketika pucat pasi. Berlari ke arah cermin untuk melihat penampakannya. Pakaian sudah dirapikan, tapi rambut sedikit acak-acakan. Beruntung lipstiknya mate hingga masih melekat nyata di bibirnya.Dewa bangkit, masih dengan ketenangan yang dia punya. Ekor matanya melirik ke arah Dinda, gadis itu sudah rapi, lalu mulai memberi perintah pada Anita."Suruh masuk!" Dewa sudah menempati kursi kerajaan, dengan menyandarkan punggung melihat ke arah Dinda yang masih gugup. Gadis itu memberanikan diri melihat ke arah Dewa, bertanya dia harus apa. Jangan sampai Helen curiga pada mereka. Tapi, bukan menenangkan, pria itu justru mengulum senyum menggelitik yang berhasil membuat Dinda semakin jengkel."Sayang, kok, lama banget, sih, buka pintunya?" Helen memasang wajah kesal, tapi tetap mendekat pada Dewa. Dia merentangkan tangan memeluk leher pria itu tanpa menyadari kalau Dinda ada di sana."Kamu mau apa ke sini?" jawaban Dewa masih sama, jutek dan tidak peduli."Dewa, kenapa kamu pe
"Ada apa dengan Bu Helen, Pak? Tadi saya sempat berpapasan dengan beliau di lift. Ibu menangis terisak," tanya Dinda memberanikan diri. Dinda memutuskan menanyakan hal itu karena takut kalau sampai Helen ternyata sudah tahu soal hubungan gelap mereka. Pasalnya, wanita yang selalu ramah padanya itu, sama sekali tidak mengatakan apapun, menekan tombol lift untuk turun.Selama waktu berputar, Dinda gelisah di kursinya, berharap Dewa memanggilnya agar bisa bertanya soal Helen. Setelah tiga jam berlalu, Dewa pada akhirnya menyerukan namanya dari dalam ruangan."Tidak ada apa-apa. Sudah jangan dibahas. Kepalaku pusing. Temani aku pulang."Dinda masih mematung di tempatnya. Apa pria itu gila, seharusnya dia pulang ke rumah, kenapa justru mengajak ke apartemen."Maaf, Pak. Sebaiknya Bapak pulang ke rumah. Tadi, Naka menelpon. Keadaan Bu Reni drop."Dewa yang tadi coba membuka dasinya, berhenti dan menoleh pada Dinda. "Mama? Sakit apa?""Gak tahu, Pak. Naka hanya meminta saya menyampaikan hal
"Makasih, Naka, udah nganterin aku pulang," ulang Dinda untuk kedua kalinya sembari membuka seatbelt."Iya. Kamu itu udah dua kali ngucapin terima kasih. Perasaan kalau di dekat aku kamu kaku banget. Gak nyaman, ya?"Dinda hanya bisa meringis. Benar sih, gak nyaman, tapi bukan karena dia benci sama Naka, hanya saja rasa nyamannya karena takut Naka bisa mengendus hubungan terlarangnya bersama Dewa."Bukan gitu. A-aku... hanya segan padamu. Bisa dibilang minder juga. Jujur, aku hanya lulusan SMA, dan bergaul dengan seorang dokter hebat membuatku gak percaya diri."Alasan yang terakhir juga benar adanya. Naka begitu baik dan bersikap lembut padanya, berbeda Dewa. Dia bukan tidak ingat pesan almarhum ayahnya, pria yang bersikap baik pada seorang wanita pasti karena ada niatnya. Jadi, apa boleh Dinda menyimpulkan Naka juga punya niat lain padanya? Ah, jangan terlalu percaya diri Dinda!"Jangan bodoh, sikap baik pada orang gak ditentukan oleh jabatan atau pendidikannya. Sekarang aku tanya,
Perkataan Helen benar adanya. Setiap hari wanita itu datang mengantar makan siang Dewa, dan yang membuat Dinda sedikit kebingungan, selama itu pula Dewa tidak pernah lagi mengajaknya ke apartemen, atau menyentuhnya di ruang kerja seperti pria buas itu lakukan dulu.Kini keadaan selayaknya seperti kantor pada umumnya. Bawahan dan bos yang hanya berhubungan dengan pekerjaan. Dinda akan datang mengantar pekerjaan disuruh Dewa, meminta tanda tangan. Hanya itu. Selebihnya Dinda hanya akan berada di ruangannya sendiri. Kalaupun dia dipanggil oleh Dewa pasti hanya diminta membuat surat atau paling jauh menyuruhnya membuat kopi."Kalau begini 'kan aku benar-benar sekretaris, kayak di kantor-kantor pada umumnya. Gak ada tuh, sekertaris yang ngurusin ranjang bosnya," cibir Dinda saat sendiri. Jam makan siangnya pun dihabiskan bersama Anita dan karyawan dari beberapa divisi. Ada gunanya juga, Dinda jadi kenal beberapa orang dan menjalin pertemanan.Meski semua itu membuat Dinda senang, di sudu
"Jangan diambil hati soal ucapan Dewa. Dia memang begitu, mulutnya mengandung cabe setan, pedas," ucap Naka di balik kemudi. Sudah sepuluh menit meninggalkan area kantor."Udah biasa, kok," jawab Dinda menoleh. Diamnya dirinya sejak tadi bukan karena sakit hati atas ucapan Dewa, tapi memikirkan sikap Dewa yang berubah.Dinda mencoba menahan lidahnya, tidak bertanya pada Naka perihal Dewa dan Helen yang tampaknya sudah baikan. Tapi, semakin di tahan, kenapa semakin besar dorongan ingin bertanya."Oh, iya, Bu Helen belakangan ini rajin ke kantor ngantar makan siang Pak Dewa, ya?" tanya Dinda pada akhirnya, setelah susah payah mencari kalimat yang tepat. Jangan sampai Naka curiga padanya, menganggapnya kepo."Oh, iya. Pada akhirnya kepala batu itu mau mendengarkan permohonan Mama.""Permohonan?" serang Dinda. Rasa penasarannya berada di puncak saat ini."Heh, antusias benar," jawab Naka menoleh lalu tersenyum, membuat Dinda jadi malu."Bukan gitu, kemarin Bu Helen sempat cerita kalau rum