Share

Candu

“Dari mana saja kamu? Lagi-lagi kamu memancing amarah saya, ya?” Salak Dewa begitu mendapati wajah Dinda di balik daun pintu. Sejak tadi dia dilingkupi rasa kesal yang luar biasa pada gadis itu. Janjinya pergi hanya sebentar, tapi ditunggu, tak kunjung datang.

Dewa juga sudah berusaha menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif.

“Ya, Maaf, Pak. Saya juga gak tahu kan, bakal lama ngobrol nya,” jawab Dinda menerobos masuk, melewati lengan kekar pria arogan itu. Memilih kursi single lalu mengempaskan bokongnya di sana. Pandangannya kini menatap lekat ke arah Dewa, ketika pria itu melihatnya, dia buang muka.

Tubuh Dinda sangat lelah, sepanjang hari menemani pria itu bermain peluh di ranjang, kini rasa lelahnya bertambah dengan misi penuh beban yang diberikan Helen padanya.

“Tampaknya malam ini kau harus kembali di hukum, seolah hukuman siang tadi tidak cukup.” Dewa sudah mendekat dan menarik tangan Dinda masuk ke dalam kamar. Wanita itu pasrah, dia terlalu lelah untuk mendebat.

***

“Ada apa? Kenapa melihat ku seperti itu? Apa ada yang ingin kau sampaikan padaku?” Dewa yang tengah mengancing kemejanya menoleh pada Dinda yang sudah selesai berpakaian dan kini duduk di tepi ranjang tempatnya baru saja mendapatkan hukuman. Anehnya, saat ‘dihukum’ oleh Dewa, justru erangan nikmat yang keluar dari bibirnya, meski kecil dan malu-malu.

Dinda tidak bisa menampik, meski melakukannya dengan setengah hati dan merasa terpaksa di awal, di tengah permainan, dia jadi tersesat oleh gairah itu sendiri hingga melebur bersama kenikmatan yang diciptakan Dewa.

Hanya tarikan napas panjang yang Dinda lakukan saat mendengar pertanyaan Dewa. Belum menyampaikan isi pikirannya saja, dia sudah yakin kalau pria itu akan membantah perkataannya.

“Aku paling gak suka melihat kerutan di keningmu itu. Aku gak ingin kau cepat menjadi tua dan jelek, karena aku tidak ingin tidur dengan wanita menyeramkan. Katakan!”

“Lusa ulang tahun pernikahan Bu Reni dan Pak Bima.”

Dinda diam sejenak. Dia bingung harus memilih kata yang tepat.

Naiknya satu alis Dewa ke atas menunjukkan dia menunggu dan seperti biasa dengan tidak sabar.

“Mereka akan pergi ke Bali, dan Bapak diminta untuk ikut.”

“Katakan aku akan ke Singapura, jadi gak bisa ikut.”

Nah, benarkan, pasti ditolak. Terdengar Dinda kembali menarik napas. Dia harus berhasil. Hanya ini yang bisa dia lakukan agar hubungan Dewa dan Helen membaik. Kalau mereka mempunya waktu berdua yang cukup lama, Dinda percaya, pertengkaran diantara mereka pasti mereda.

Sebelum pulang dari pertemuan tadi, Helen juga memohon pada dirinya, agar mau membujuk bahkan jika ada jadwal di tanggal itu, sebaiknya re-schedule aja.

Bukan hanya Helen, saat di perjalanan menuju apartemen, Bu Reni juga menghubunginya menanyakan perihal agenda Dewa di hari itu, dan Dinda sudah terlanjur mengatakan kosong.

“Pak, sesekali menyenangkan hati orang tua kenapa, sih? Ini ulang tahun pernikahan mereka, kehadiran Bapak pasti akan menjadi kado indah buat mereka,” jawab Dinda. Kali ini dia tidak mau tahu, terserah kalau Dewa akan membentaknya lagi, mengatakan kalau dirinya tidak punya hak ikut campur urusan keluarga. Dinda akan terima hal itu, asal Dewa mau ikut ke Bali.

Bukan tanpa tujuan Dinda berupaya mendamaikan Helen dan Dewa. Selain karena kasihan, Dinda juga ingin menebus rasa bersalahnya atas apa yang sudah dia lakukan bersama Dewa. Dan yang paling penting, kalau mereka sudah kembali baikkan, Dewa akan lebih cepat memutus kerja sama mereka hingga Dinda bisa bebas.

“Aku udah bilang, kamu gak usah ikut campur urusan keluargaku. Tugas kamu hanya mengurus keperluanku di kantor dan mengangkang setiap aku minta!”

Dinda memejamkan mata mendengar hinaan itu. Sakit. Harga dirinya benar-benar diinjak oleh pria itu. Kepalan tangan Dinda semakin kuat hingga kukunya menggores telapak tangannya.

“Saya tahu posisi saya, Pak. Hanya saja meski Bapak menganggap saya pelacur, tapi setidaknya saya bisa melakukan sesuatu yang bisa menyenangkan hati orang tua saya!” Dinda bangkit, lalu berlalu dari kamar itu, melewati tubuh Dewa yang mematung di sana.

Dinda melipir ke toilet sebelum memilih duduk di ruang tamu. Dia ingin menangis tanpa dilihat siapapun.

Tampaknya dia sudah salah memilih jalan ini. Hinaan Dewa membawa ingatannya pada hari dimana dia mengutuk dirinya dilahirkan. Malam itu, dia tidak punya pilihan lain. Dia mendatangi satu-satunya teman yang dia kenal di kota ini, bermaksud meminjam uang, tapi tidak ada. Feby, temannya justru menawarkannya satu pekerjaan.

“Sorry, Din, kalau uang, aku gak punya. Tapi, kalau kamu benar-benar butuh uang dan harus mendapatkan secepatnya, kenapa kamu gak bekerja aja?” Feby menepuk punggung tangan Dinda. Keduanya duduk di salah satu warung di dekat kos Feby.

Dinda mengenal dan berteman akrab dengannya karena mereka satu kampung dan juga sempat magang di kota ini.

“Kerja? Kerja apa yang bisa menghasil uang banyak dalam waktu singkat, Feb?”

“Asal kamu mau kerja, pasti bisa. Anggap saja ini semua pengorbanan mu untuk Leon. Saat ini yang terpenting Leon bisa segera operasi.”

Ucapan Feby membuatnya tertampar. Tidak ada waktu memilih pekerjaan yang diinginkan atau tidak. Pekerjaan apapun asal bisa menyelamatkan Leon, pasti dia lakukan. Bukankah itu tanggung jawab seorang ibu?

“Aku mau, Feb. Kerja apa?”

Tubuh Dinda lemas, bahkan kakinya tidak bisa menopang berat tubuhnya lagi. Wajah Dinda pucat mendengar pekerjaan apa yang ditawarkan Feby.

“Tapi Feb...”

“Kamu mau menolong Leon atau gak? Kamu pikir aku kerja seperti ini buat siapa? Buat anak-anak ku di kampung, karena itulah tugas seorang ibu, melindungi dan menyelamatkan anaknya dari rasa lapar dan haus. Dan kau harus menyelamatkan Leon dari kematian!”

“Bagaimana ini? Kenapa harus jalan ini? Tapi kata dokter, kalau Leon semakin lama tidak ditangani, keadaannya akan semakin parah dan kemungkinan akan... gak... aku gak bisa membiarkan anakku meninggal!” batin Dinda berperang melawan nuraninya. Logika tidak ingin melakukan pekerjaan itu, tapi membayangkan keadaan Leon yang saat ini terbaring lemah dan kesakitan di rumah sakit membuat Dinda tidak punya pilihan lain selain menerima usul Feby.

Dosa tetaplah Dosa. Jika karena takut dosa dia tidak mengambil pekerjaan itu, maka anaknya akan meninggal, dan membiarkan anak meninggal juga dosa seorang ibu.

“Baiklah, Feb, aku mau. Kau bisa mencarikan untuk ku?”

“Kamu tenang aja. Sekarang kamu dandan. Aku pinjami pakaian dan bantu merias wajahmu. Ada bos kelas kakap yang ingin ditemani malam ini. Teman yang booking aku. Harusnya aku ajak teman aku yang lain, tapi saat ini kamu lebih butuh uang itu,” ujar Feby mengajak Dinda ikut ke kosannya.

Dinda sudah menunggu di sebuah kamar yang gelap. Sebelum Feby pergi, dia berpesan agar Dinda jangan menyalakan lampu, karena pria yang harus dia layani malam ini tidak ingin dikenali.

Dinda sungguh tidak nyaman, tapi bisikan Feby sebelum keluar dari kamar itu membuat Dinda sedikit mengalah pada keadaan. Pria itu akan membayarnya 25 juta. Uangnya sudah ditransfer ke rekening Feby, dan tugasnya tinggal memuaskan pria itu.

Dinda tidak pernah tahu tentang dunia malam, berapa tarif seorang kupu-kupu malam sekali melayani, tapi menurutnya harga 25 juta termasuk fantastis. Apa mulai malam ini dia sudah sah menjadi wanita penghibur?

Seketika terbayang wajah ibunya yang akan sangat sedih dan kecewa mengetahui dirinya mengambil jalan yang salah. Buru-buru ditepisnya semua pemikiran itu.

Tepat saat hitungan dalam hati Dinda masuk ke angka 20, telinganya menangkap suara handle pintu yang diputar dan tak lama derap sepatu masuk dan mendekatinya.

Ruangan itu benar-benar gelap. Dinda hanya menunduk seperti arahan Feby, jangan memandang wajah pria itu.

“Masuk ke kamar mandi, bersihkan setiap jengkal tubuhmu. Aku gak mau terkena penyakit! Ingat, aku membayar mahal untuk jasamu. Meski temanmu mengatakan kau baru malam ini terjun di dunia seperti ini, tapi aku gak mau ambil risiko!”

Lamunan Dinda tersentak, mendapati tubuh tinggi atletis sudah berdiri di depannya. Pintu kamar mandi dibuka paksa oleh monster berwajah rupawan. Pria itu tetap sama arogannya seperti pertama kali menyewa jasanya malam itu.

“Kau sedang apa di sini?”

“Maaf, Pak. Saya hanya ingin bersih-bersih sebentar.”

Bola mata Dewa tampak mengamati lekuk tubuh Dinda. Percikan air dari keran membasahi dadanya hingga isi di balik kemeja putih itu menerawang. Dewa menyeringai. Gadis itu seperti ekstasi, buatnya ketagihan.

“Bapak mau apa?” Wajah Dinda pucat, tangan Dewa sudah menutup daun pintu kamar mandi.

“Kita belum mencoba di sini. Mungkin akan terasa lebih asyik dari pada bermain di atas ranjang!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Erna Pandi Nurhidayati
Menariik dan sangat membuat penasaran
goodnovel comment avatar
Nofa Afriandika
sangat penasaran ,dan terharu dg dinda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status