Share

SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN
SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN
Penulis: R. Angela

Sekretaris Penghangat Ranjang

"Kapan kamu bisa melayaniku lagi?"

Dinda mengerutkan keningnya seketika saat ia mendengar hal tersebut. 

Pertanyaan itu muncul dari bibir Dewa, atasannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas yang harus dia baca dan mendapatkan tanda tangannya.

"Maksud Bapak?" tanya Dinda, benar-benar tidak paham. 

Terdengar suara dengusan napas Dewa. Pria itu mendongak, melihat wajah polos Dinda. Sorot matanya yang tajam akhirnya membuat si sekretaris kembali menunduk karena merasa tidak nyaman.

"Kapan milikmu bisa aku pakai lagi?"

Kali ini, pertanyaan itu cukup bisa dimengerti. Dinda meremat jemarinya. 

Kenapa pria itu terus memburunya?

Sudah beberapa bulan ini, Dinda terikat kontrak dengan Dewa. Pekerjaannya sebagai sekretaris hanyalah sebagai kedok agar Dinda bisa terus berada di dekat pria tersebut. Dengan terpaksa, Dinda menjadi pemuas hasrat sang presdir. 

Kalau wanita itu punya pilihan lain, tidak akan mungkin ia merendahkan harga dirinya sebagai simpanan seperti ini.

Namun, saat ini, Dinda tengah datang bulan sehingga tidak dapat melayani Dewa. Sebenarnya, ia paham bahwa kekesalan Dewa berawal dari pertengkaran dengan istrinya tadi pagi. Ditambah keadaan di mana Dewa belum bisa menikmati bagian intim Dinda lantaran wanita itu tengah datang bulan.

"Itu ... mungkin tiga hari lagi, Pak."

Dewa berdecak. "Selama itu?” Ia terdengar kesal. Sudah tiga hari ia menahan diri untuk tidak berhubungan dengan sekretarisnya tersebut. “Aku menginginkanmu, Din!”

Jantung Dinda berdebar cepat. Kalimat terakhir itu membuatnya terlena, seolah memang merasa sangat diinginkan dan hanya dia yang diinginkan pria itu. 

Kenyataan? Tidak. Dinda tidak spesial dan Dewa tidak menyimpan perasaan padanya, tapi karena pria itu masih menginginkan pelayanannya.

Hening sejenak, sebelum kemudian Dewa bertitah, “Gunakan tanganmu.”

Dua kata itu terdengar jernih di dalam kantor presdir yang tengah mereka tempati, membuat tubuh Dinda bergetar. Ia tahu, menolak tidak akan ada gunanya. Dinda tidak punya kuasa apa-apa.

Karenanya, tak butuh waktu lama, ruangan yang sejuk tersebut terasa panas akibat gairah kedua manusia itu.

“P-Pak–”

Permainan Dewa, sekali lagi, mampu membuat Dinda terbawa arus. Meski awalnya ia tidak punya pilihan untuk menolak perintah pria itu, Dewa berhasil membuatnya hanyut dengan menyasar kedua miliknya yang membusung. 

Wanita itu kembali mengigit bibir bawahnya, menahan desahan yang nyaris keluar seiring ritme mereka yang makin cepat dan menggila hingga akhirnya Dewa mendapatkan kepuasan.

“Bagus.” Dewa tersenyum miring melihat wajah Dinda yang memerah karena ulahnya.

Pujian itu membuat pipi Dinda memanas. Dia bukan munafik. Dinda mengakui bahwa terkadang ia merasakan kesenangan, menikmati permainan ulung dari atasannya tersebut.

Akan tetapi, Dinda juga merasa sedih dan sangat berdosa. Ada banyak orang yang sudah mereka bohongi serta khianati. 

Terutama istri Dewa.

“Benahi bajumu dan bereskan mejaku,” perintah Dewa lagi sembari membetulkan pakaiannya.

Tanpa berkomentar, Dinda menuruti ucapan atasannya.

Banyak yang curiga pada Dinda di kantor, kenapa ia bisa menembus perusahaan besar seperti Diraja Corp. Seharusnya, tamatan SMA sepertinya tidak akan diterima menjadi sekretaris seorang Sadewa Diraja.

Untungnya, selain memiliki tubuh yang sangat indah, serta wajah yang cantik, Dinda juga gadis yang pintar dan cekatan. Tidak sulit baginya memahami apa saja yang menjadi pekerja dan tanggung jawab nya sebagai sekretaris. Hal itu bisa menutup mulut-mulut rekan kerjanya yang pada awalnya memandang sebelah mata padanya.

Dinda keluar dari toilet setelah membersihkan tangannya dan merapikan penampilan. Sementara itu, Dewa sudah kembali berkutat dengan berkas di atas mejanya.

"Apa saja agendaku hari ini?" tanya Dewa kemudian ketika ia menyadari sekretarisnya sudah kembali.

Dengan sigap, Dinda menjawab, "Hanya ada pertemuan dengan keluarga. Hari ini mertua Bapak datang dari Australia."

Wanita itu bisa melihat raut wajah atasannya menjadi keruh. Dalam hati, Dinda mengeluh. Ia akan menghadapi kejengkelan atasannya lagi kali ini. 

"Katakan saja aku ke Bandung, mengurus proyek."

"Akan sedikit aneh kalau Bapak di Bandung dan saya di Jakarta," balas Dinda segera. 

Sesungguhnya dia dilema. Seharusnya sebagai seorang sekretaris, Dinda tidak harus ikut mencampuri masalah keluarga Dewa apalagi rumah tangganya. Terlebih saat ia tahu bahwa Dewa sedang tidak akur dengan istri serta orang tua kandungnya, terutama ayahnya. 

Namun, sebagai sekretaris yang terlibat langsung dengan Dewa, Dinda tidak punya banyak pilihan.

"Katakan kalau kamu juga ada di Bandung!"

"Tidak bisa, Pak. Ibu Anda minta saya membeli kue ubi talas untuk dibawa ke acara itu dan sudah saya titipkan pada sopir keluarga," terang Dinda. 

Dia berharap agar Dewa mau pulang ke rumah orang tua dan bertemu mertuanya agar ia tidak terlibat drama keluarga yang lebih rumit jika harus berbohong.

Ibunda Dewa sudah menghubunginya sejak siang tadi, mengatakan bahwa bagaimanapun caranya, Dinda harus bisa membujuk Dewa untuk mau pulang. Sudah dua hari pria itu tidur di apartemen. Tampaknya sang ibunda tahu bahwa lagi-lagi Dewa bertengkar dengan Helen, istrinya.

Kemungkinan, beliau juga tahu bahwa istri Dewa tersebut nekat datang ke kantor untuk mencari Dewa dan marah-marah. Wanita itu murka karena suaminya sudah tidak pulang dua hari dan menyebabkan keributan, sekaligus membuat Dewa uring-uringan sepanjang hari. 

"Kalau begitu kau temani aku ke sana." Dewa melempar bolpoin yang sejak jadi dia putar-putar di sela jarinya ke atas meja, membuat Dinda terkejut.

Dengan segera, Dinda menyahut, "Tidak bisa, Pak. Saya harus pulang karena ada urusan keluarga."

Kenapa pula dia harus dibawa-bawa segala?

Dewa berdecak. "Kalau begitu hubungi ibuku, katakan aku sudah mati dan tidak bisa datang."

Kalau Dinda bisa menggeplak kepala pria itu, pastilah sudah dia lakukan. Mana mungkin dia mengatakan hal itu pada Bu Reni, ibunda Dewa? Bisa pingsan di tempat wanita itu. 

Lagi pula, Dewa harus datang. Ada hal serius yang ingin dibicarakan oleh mertuanya. Itulah pesan Bu Reni tadi, saat meminta Dinda menjamin kedatangan Dewa.

Karenanya, Dinda memasang tatapan sendu. Sepasang matanya meredup dan wajahnya tampak murung. Ekspresi ini selalu berhasil membuat Dewa tidak bisa menolak permintaannya, meskipun kadang dengan sedikit dongkol. Karenanya, Dinda yakin kali ini pun ia akan berhasil.

Namun, ternyata perkiraannya meleset.

"Aku pergi, kalau kau ikut!" tegas Dewa. Sepasang matanya yang tampak dingin membalas tatapan sendu Dinda.

Pada akhirnya, Dinda menghela napas. Ia tahu ini adalah keputusan final Dewa.

Mungkin karena hari ini mereka tidak bercinta, hati Dewa makin menjadi keras dan pendiriannya kokoh seperti batu hingga bujukan Dinda tidak mempan.

“Baik, Pak.”

***

"Makasih ya, Din. Kamu sudah berhasil menarik tali lehernya, sehingga mau datang ke sini," bisik Bu Reni setibanya Dewa dan Dinda di kediaman mereka. Wanita paruh baya itu tersenyum pada Dinda dan mencubit pelan pipi gadis itu.

"Bapak benar-benar mau datang kok, Bu. Bukan karena paksaan," jawab Dinda sopan. Ia balas tersenyum.

Keluarga Dewa sangat baik padanya. Kalau biasanya keluarga terpandang akan memandang sebelah mata pada bawahan, tidak begitu dengan Keluarga Diraja.

Tiba-tiba ponsel Dinda berdering. Wanita itu izin pada ibunda Dewa untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Halo?” 

Wajah Dinda yang tampak tenang berangsur menjadi panik saat mendengarkan penjelasan orang di telepon. 

“Leon?” Dinda menyebut nama putra kecilnya. Ia kemudian kembali mendengarkan. “Ya, tunggu aku, Bu.”

“Din, ayo duduk,” ucap ibunda Dewa kemudian. “Gak enak sama keluarga Helen, mereka sudah datang soalnya.” 

"Saya pulang saja, Bu," ujar Dinda spontan. Raut wajahnya tampak khawatir. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

Bu Reni mengernyit. “Ada apa?” tanyanya.

Dinda menggeleng. “Saya harus–”

Ucapannya terpotong seketika oleh suara bariton milik Dewa, membuat Dinda sontak menoleh pada atasannya.

"Tidak! Kamu harus tetap di sini!"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Puspita Adi Pratiwi
Leon ... apa dinda sdah pnya anak di usia yg sngat muda bilangnya baru lulus SMA
goodnovel comment avatar
Sumiyati Sumiyati
bagus sih awalnya ,mau tau kelanjutannya makanya saya setia baca teruuuus
goodnovel comment avatar
SyaSyi
Bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status