Share

Leon Sayang Bunda

"Tidak! Kamu harus tetap di sini!"

Dinda menghela napas. “Pak, saya harus pulang.” Kali ini dia berkata tegas, membuat rahang Dewa mengeras.

Pria itu berdiri, kemudian membawa Dinda menuju ruang kerjanya untuk berbicara tanpa perlu didengar orang lain.

“Pak, saya harus pulang,” pinta Dinda lagi. “Saya sudah ikut ke sini. Sebelumnya Bapak tidak menegaskan kalau saya harus tinggal–”

Dewa tersenyum miring. “Pandai bermain kata-kata ya sekarang.”

“Pak.” Dinda menghela napas. Ia mencoba menjelaskan dengan sabar. “Tadi saya sudah mengatakan kalau saya harus segera kembali karena ada urusan keluarga. Ibu saya membutuhkan saya, Pak.”

“Seperti yang kamu ketahui, ini masih hari Jumat. Kewajibanmu padaku belum selesai.”

Dinda menunduk. Ini memang masih pukul 8 malam. 

Dalam surat perjanjian yang mereka tandatangani bersama, jelas tertera, kalau pihak nomor dua, yaitu Dinda, berhak menolak permintaan pihak pertama jika sudah di luar hari kontrak. Ia hanya berkewajiban mematuhi Dewa lima hari seminggu, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Sehingga, mau itu pagi, siang, atau malam, kapan pun Dewa menginginkan kehadiran atau pelayanan Dinda, ia harus patuh.

Dalam kontrak itu juga tertulis, apa pun harus dilakukan Dinda untuk menyenangkan hati Dewa dan ia tidak boleh menolak permintaan bosnya, meski hal itu sangat menyakitkan atau bertentangan dalam hati Dinda.

“Tapi, Pak–”

Tok, tok, tok!

Dua orang itu sontak menoleh ke arah pintu yang terbuka tanpa izin dari Dewa, membuat pria itu makin marah.

Di sana, Helen dan Nakula–saudara laki-laki Dewa–berdiri berdampingan.

“Ada apa?” tanya Nakula kemudian saat melihat ekspresi Dinda yang sendu. “Ada masalah apa?”

“Keluarga saya sakit, ditambah lagi ia tadi jatuh, Saya ingin mengecek kondisinya,” ucap Dinda mendahului Dewa, mengambil kesempatan. “Saya harus pulang sekarang.”

“Astaga.” Helen melangkah masuk dan langsung menggenggam kedua tangan Dinda. “Tidak apa-apa, Dinda. Makasih sudah menyempatkan datang. Lain kali saja kita mengobrol ya.”

Dinda mengangguk. Wanita ini begitu baik padanya. Padahal ia–

“Biar aku panggilkan taksi ya?” tawar Helen.

“Aku saja yang antar.” Nakula menyambar. “Toh aku–”

“Tidak perlu. Biar aku saja.” Dewa menyela saudaranya. Ia langsung menyambar kunci mobil dan jasnya. “Dia adalah karyawanku. Tanggung jawabku.”

Pria itu langsung menarik Dinda pergi sebelum ketiga orang lainnya sempat bereaksi.

***

“Saya turun dulu, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya pulang.”

Dinda menoleh pada atasannya sembari membuka seatbelt. Wajah Dewa masih tidak bersahabat. Sepanjang jalan mobil tersebut diisi keheningan. 

Dinda pun merasa tidak tenang, khawatir akan sang putra, sekaligus khawatir bahwa Dewa akan nekat dan mengajaknya ke tempat lain–tidak peduli penolakan Dinda.

Karena tidak mendapat respons dari sang atasan, Dinda akhirnya membuka pintu dan keluar.

“Aku hanya akan meloloskanmu malam ini.” Dengan dingin, tiba-tiba Dewa berucap tanpa melihat ke arah Dinda. “Tapi kamu harus ingat, kamu berutang padaku.”

Pria itu tiba-tiba menyeringai, membuat Dinda merinding seketika.

“Sampai jumpa hari Senin.”

***

“Bunda…!”

Suara merdu Dinda mengucap salam segera disambut oleh langkah bocah yang berlari ke arahnya.

Dinda segera berlutut, agar anak itu bisa masuk dalam pelukannya. Wanita itu memejamkan mata, memeluk anak itu dengan erat. 

Betapa dia sangat merindukan bocah lima tahun itu.

"Leon kangen Bunda," ucap anak itu lebih mengeratkan lingkar tangannya di leher Dinda.

"Sama, Sayang. Bunda juga kangen.”

Dinda menatap lekat wajah anak itu, bersyukur kondisi Leon sudah jauh lebih membaik sekarang. Ia kemudian meneliti badan Leon dan menemukan luka di sikunya.

“Leon habis jatuh ya?” Sang ibu bertanya lembut. Namun, meski begitu, Leon langsung menunduk. Merasa bersalah.

“Maaf, Bun….”

"Kamu sudah pulang, Nak?" Suara lembut nan selalu mampu menentramkan jiwa Dinda terdengar menyapa. Bu Diana, ibu Dinda, muncul dari arah dapur.

"Iya, Bu. Bagaimana kejadiannya?" Dinda berdiri, tangannya tetap menggenggam Leon, seakan tidak ingin jauh dari putranya itu.

Bu Diana menghela napas. "Leon memang sudah makin sehat. Dia sudah mau makan, bergerak juga tidak sakit lagi. Hanya saja dia ngeyel ingin main bola," lapor wanita itu sembari menatap cucunya yang terus menunduk. “Tadi dia nekat keluar waktu Ibu sedang di dapur.”

Dinda menatap ke arah Leon dan menggendongnya agar ia bisa melihat wajah putra mungilnya itu.

"Sayang, kamu belum boleh terlalu banyak bergerak. Aktivitas juga gak boleh yang berat,” ucap Dinda tegas. “Bunda mohon, kamu bersabar. Nanti kalau sudah pulih total, bukan cuma main bola, panjat tebing juga bisa." 

Ketakutan akan kehilangan putranya masih membayangi Dinda selama tiga bulan ini.

"Leon gak mau kan lihat Bunda bersedih?"

Anak itu dengan cepat mengangguk. Wajah polosnya buat Dinda meleleh hingga memeluknya lebih erat.

"... Leon sayang Bunda."

Lika-liku kehidupan Dinda yang sulit dilalui hampir membuat wanita itu menyerah. Namun, ia selalu mengingat bahwa ia masih mempunyai Leon, harta kecilnya yang berharga.

Dinda juga ingat bahwa ayahnya telah mengorbankan dirinya hingga dibakar warga kampung demi menyelamatkan Dinda karena wanita itu hamil tanpa suami. Hingga detik ini, baik Dinda maupun ibunya tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki kembali ke kampung itu.

Hanya Leon dan ibunyalah yang Dinda miliki sekarang ini. Oleh karena itu, Dinda cenderung memanjakan mereka–terutama putra kecilnya. 

Seperti sekarang, Dinda membawa ibu dan Leon ke taman bermain setelah sebelumnya membeli baju dan segala jenis mainan untuk putra semata wayangnya tersebut. Apa pun ia lakukan untuk melihat senyum Leon.

“Jangan terlalu boros, Nak,” ujar sang ibu saat Dinda melakukannya. Meskipun sepasang mata Dinda memancarkan kebahagiaan, ibu wanita itu bisa melihat wajah Dinda kini makin tirus dan lelah.

“Tidak apa-apa, Bu,” balas Dinda lembut. Ia menggandeng lengan sang ibu dan mengusapnya pelan. “Hitung-hitung permintaan maafku karena tidak bisa menemaninya dan justru meninggalkannya bersama Ibu untuk bekerja di pusat kota.” 

Sang ibu menghela napas dalam diam. Sebenarnya, ada pertanyaan yang ingin sekali ia lontarkan, tetapii ragu karena khawatir akan menyinggung putrinya.

Namun, pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika Dinda membelikan sebuah mobil mainan dengan remote control yang harganya cukup mahal bagi mereka–apalagi sang ibu tahunya Dinda bekerja hanya sebagai pelayan toserba. Sebuah pertanyaan yang membuat tubuh Dinda menegang seketika.

“Din, sebenarnya kamu kerja apa? Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua ini?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sumiyati Sumiyati
lanjut makin seru
goodnovel comment avatar
Agus Roma
anak yang buat semangat kerja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status