Share

ASIH MELAHIRKAN

Setelah pembagian warisan yang tidak jelas itu, Yanto dan Izza tidak pernah ke rumah Bu Ami. Lebih tepatnya, Izza yang tak pernah kesana. Sedangkan Yanto, sesekali masih menengok ibunya dan memberi uang jajan.

Sampai berbulan-bulan mereka enggan sering-sering berkunjung seperti dulu. Mereka kecewa dengan semua orang terdekat itu. Yang katanya saudara. Tapi sama saja seperti manusia-manusia lain yang seakan-akan tidak memiliki ikatan darah.

"Lebih baik aku menjaga kewarasanku. Aku harus sedikit membatasi interaksi dengan mereka," bisik hati Izza.

*******

Sampailah hari di mana Asih melahirkan. Yah, Izza sebenarnya malas menjenguk Asih ketika melahirkan. Namun, naluri kemanusiaannya masih hidup. Izza menyempatkan diri datang ke rumah sakit saat Asih masih di ruang pemulihan pasca operasi. Sepulang kerja, Izza datang berdua dengan Yanto, membawa cemilan untuk Ragil. Hanya 'say hello' dan bersalaman kepada ibunya Asih yang sedang menemani putrinya di ruang nifas. Kemudian, Izza dan Yanto langsung berpamitan kepada Ragil. Izza datang karena menghargai Ragil sebagai adik Yanto.

"Terimakasih sudah datang berkunjung, Mbak," kata Ragil ketika mengantar Izza dan Yanto ke parkiran rumah sakit.

Pun ketika Asih sudah pulang dari rumah sakit. Dia tidak tinggal di rumah Bu Ami untuk sementara waktu. Dia langsung diboyong ke rumah orangtuanya.

Di kesempatan itulah Izza datang ke rumah Bu Ami untuk membawakan parcel untuk bayi Asih. Namun, jelas tidak bertemu denga Asih. Hanya ada Ragil di rumah.

"Ini bingkisan untuk anakmu, Gil," kata Izza sambil memberikan bingkisan berisi baju bayi, skincare bayi dan 1 set bantal bayi.

"Makasih, Mbak. Asih masih di rumah ibu mertua. Karena dia belum bisa mengurus bayinya." Ragil menimpali.

" Oh, ya sudah, ndak apa-apa. Berikan ini ke dia nanti kalau dia sudah kembali ke rumah ini. Atau kamu antar ke rumah mertuamu. Bilang dari aku. Aku gak bisa menjenguk anakmu ke sana. Soalnya aku sibuk, Gil," lanjut Izza.

"Iya mbak. Gak apa-apa. Makasih, Ya," jawab Ragil.

Sedangkan Bu Ami menangis di kamar memeluk Yanto. Sejak Yanto datang, Bu Ami masuk ke kamar sambil menangis. Ia merasa sedih lantaran Yanto jarang berkunjung.

Izza sekilas lewat di depan kamar Bu Ami. Terdengar Bu Ami masih terisak, "Kenapa kamu tidak pernah kesini? Apakah kamu marah sama ibu, To?" Suara Bu Ami terdengar parau.

"Aku gak marah sama Ibu. Aku hanya lelah, Bu, jawab Yanto.

"Aku sudah terbiasa dengan hal-hal demikian. Sejak kecil aku sudah terbiasa mengalah, kan?" Yanto melanjutkan kata-katanya menenangkan hati Sang Ibu.

Izza mundur. Ia tak boleh ikut campur perihal keterikatan batin antara ibu dan anak laki-lakinya. Ia kembali ke ruang tamu. Bermain handphone dan mengedarkan pikirannya ke beranda sosmed.

Tiba-tiba Mbak Ina muncul. Mbak Ina ini adalah ipar ke-lima yang kapan hari mengajak Izza lomba hamil. Lomba memberikan cucu cewek untuk Bu Ami. Qodarulloh, dia punya anak cewek. Satu-satunya cucu Bu Ami yang cewek adalah anak Mbak Ina ini. Namanya Mely.

"Kamu sudah menjenguk si Asih kah, Za?" tanya Mbak Ina.

"Aku cuma nitip bingkisan, Mbak," jawab Izza singkat.

"Halah, gak usah repot-repot. Aku aja gak beliin apa-apa buat dia. Dia sesumbar pengen anak cewek. Mau nyaingin aku? Kapok lah anaknya lahir cowok. Ckckckck ." Mbak Ina berbicara panjang lebar sambil tertawa puas.

"Cewek atau cowok sama saja, Mbak. Yang penting sehat. Bukankah anak itu anugerah. Kenapa mesti repot-repot memaksa Tuhan memberi jenis kelamin tertentu?" jawab Izza se-netral mungkin.

Ia paham, Ina sedang mengompor karena sejak Asih hadir di rumah ini, Ina sudah sangat membenci Asih.

Bukan tanpa sebab kalau Mbak Ina membenci Asih. Karena sejak menikah pun, Asih meminta banyak hal. Dia meminta hantaran berupa kebaya modern ala-ala selebritis. Dia meminta dibelikan kain brukat lengkap dengan furingnya yang dijahitkan ke penjahit ternama di kota. Tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Kabarnya, untuk satu potong kebaya saja harus merogoh kocek lima juta. Semahal itu? Tentu, karena kebaya itu harus full payet dan mengekor menjuntai layaknya kebaya artis.

Sedangkan Mbak Ina dulu hanya mendapat seserahan (hantaran) kain sepanjang 3 meter yang dijahit jadi gamis.

Jangan nanya tentang isi hantaran dan resepsi Asih. Asih meminta biaya kepada Ragil yang tentunya Ragil meminta kepada Bu Ami, untuk menggelar resepsi di rumahnya dengan biaya besar. Belum lagi, Asih meminta resepsi unduh mantu (undang mantu) di rumah Bu Ami dengan request dekor serba pink. Kebaya berekor ala artis warna pink. Dipadu dengan tenda dan dekorasi warna pink juga.

Asih juga meminta isi kotak hantaran yang serba mewah dan mahal. BH dan CD bermerk dengan harga ratusan ribu nangkring di dalam kotak hantaran. Belum sandal bermerk dan pernak pernik lain.

Ragil juga meminta belikan cincin kepada Mbak Nana. Cincin nikah. Begitulah request Asih. Tidak heran, jika sertifikat kebun tebu ibu masuk ke bank.

"Kamu tau gak, Zah? Asih itu habis melahirkan minta hadiah kalung emas lho. Kalung satu set dengan liontin." Mbak Ina mulai mengompori.

"Kamu aja belum pernah dikasih emas kan sama ibu? Bahkan waktu pernikahanmu juga gak semeriah pernikahannya si Asih. Kamu mana dapat emas-emas atau CD seharga limaratus rebu? Wkwkwkwwk." Mbak Ina bercerita tanpa jeda. Niatnya terlihat sedang memanas-manasi hati Izza.

"Katanya itu kado, karena Asih sudah berhasil ngasih cucu buat ibu. Dan mungkin ibu bakal menggadaikan sawah lagi. Kabarnya sih, emas yang diminta Asih, sudah ibu belikan lho. Kamu gak pengen nih?" lannjut Mbak Ina dengan sangat bersemangat.

Terlihat ia sangat membenci Asih. Tapi ia juga usil menyentil Izza.

Izza tersenyum lebar. "Sampean kan anaknya udah dua nih, Mbak. Minta kalung juga sana, cepetan. Siapa tau, nanti sampean juga dapet. Ckckckck," kelakar Izza.

Dia tidak mau tersulut rasa marah. Meskipun secara manusiawi, siapapun pasti menyimpan rasa iri dengan posisi Asih.

"Minta kalung langsung dua set sana mbak sama ibu, heheehe. Masak sampean kalah sama Asih? Dia berhasil meminta apapun lho sejak menikah. Wkwkwwk," lanjut Izza sambil nyengir.

Mbak Ina hanya terdiam, tapi sepertinya ia tengah memikirkan sesuatu.

Izza paham, Ina mengompori dengan tujuan mencari teman untuk membenci Asih. Tapi, Izza tidak mau mentalnya berantakan memikirkan keculasan Asih yang selalu meminta-minta kepada mertuanya. Dan Izza juga tidak mau Mbak Ina merusak moodnya. Jadi, ia panasin balik itu si Ina.

"Kalau aku sih, Mbak. Ndak perlu meminta emas atau perhiasan kepada ibu. Karena alhamdulillah gajiku gedhe sih. Aku masih kuat beli ini itu tanpa meminta-meminta, apalagi menjual iba. Dan parahnya lagi menjual harga diri. Melahirkan kok minta imbalan kepada mertua? Dia kira melahirkan itu lomba? Jadi, kalau menang yaa dapat hadiah. Sana gih Mbak Ina minta juga. Kan sampean sudah melahirkan dua kali tuh. Barangkali nanti ibu gadai sawah lagi, wkwkwwk." Izza membalas 'kompor-kompor' yang sedari tadi Ina nyalakan.

Merasa pemanasannya gagal, Ina pun pergi. Terlihat ia kembali ke rumah kontrakannya. Ina mengontrak di dekat rumah Bu Ami. Dulu, ia serumah dengan Bu Ami. Sejak ada Asih, ia mengontrak di deket rumah Bu Ami karena mereka sering cekcok.

"Ibu itu pelit ke aku, Zah," sahut wanita itu seraya berjalan menjauh dari rumah Bu Ami.

******

Sebenarnya Izza dan Ina tidak ada konflik apapun. Terlepas dulu Ina sering mengajak lomba hamil. Ina tidak seusil Asih yang terlihat selalu ingin menguasai harta dan kasih sayang Bu Ami. Tapi, Izza juga tidak mau membiarkan Ina terus-menerus melontarkan omongan yang membuat Izza jadi bad mood.

Berbicara tentang Ina. Ina dulu pernah tidak menyukai Izza. Di awal-awal pernikahan Izza dengan Yanto, Ina paling mencolok dalam menunjukkan rasa tidak-suka-nya kepada Izza. Dia sering manyun tanpa sebab. Izza yang tahu diri bahwa dia adalah ipar baru saat itu, ia selalu berupaya memberikan hal-hal kecil yang bisa membuat hubungan Izza dan Ina harmonis. Sekedar roti bakar atau donat sering Izza bawa ketika pulang kerja.

Izza juga ingat kapan anak Ina ulang tahun, dan tak lupa Izza belikan kue tart. Izza pun berusaha menjadi orang baru yang welcome dengan apapun situasi di lingkungan sekitar. Ketika Ina butuh bantuan Izza terkait hal-hal kewanitaan, entah itu makeup atau baju. Izza selalu mengiyakan. Izza tak pernah pelit kepada Ina. Hingga awal mula Asih datang sebagai pacar Ragil waktu itu. Ina berubah. Dia membangun geng dengan Asih. Namun hanya bertahan beberapa minggu saja, sampai akhirnya Ina duel dengan Asih, saling jambak rambut dan akhirnya Ina keluar dari rumah Bu Ami dan mengontrak di deket situ.

Ina selalu menjadi kompor. Karena ia merasa menjadi menantu paling tidak disayang. Acara pernikahannya yang minimalis seakan membekaskan luka dan dendam kepada menantu baru kala itu. Tak terkecuali kepada Izza. Namun, begitu Asih hadir dan menuntut acara resepsi yang 2x lipat lebih meriah daripada Izza, Ina berpaling dari Asih dan kembali manis di hadapan Izza. Ah, persaingan antar menantu selalu ribet.

"Tuh si Asih, sok cantik banget. Minta kebaya mahal segala

Begitulah kalau anak orang kere, ketemu jodoh yang banyak tanah," bisik Ina di acara resepsi pernikahan Asih dan Ragil.

*****

Setelah Ina berlalu, tiba-tiba Bu Ami keluar dari kamar. Matanya merah, habis menangis. Menangisi anak lelakinya yang jarang berkunjung. Mau gimana lagi? Kami juga butuh bernapas di atmosfer yang segar tanpa orang-orang julid di sekeliling kami. Bu Ami pasti habis menangis berdua dengan Yanto. Itu adalah rutinitas ketika Yanto lama tak datang berkunjung.

"Nginep, ya Nduk," kata Bu Ami.

"Tidak, Bu," jawab Izza.

"Kenapa jarang kesini? Sudah gak menganggap ibu ada kah?" Bu Ami menjatuhkan badannya di sofa.

"Bukan begitu, Bu. Saya hanya lelah dengan setiap huru hara ini. Saya ini sudah lelah, Bu. Lelah bekerja. Lelah program hamil. Lelah menanggapi tetangga-tetangga usil di sana. Lelah untuk memikirkan huru hara lain, Bu. Saya menghabiskan biaya banyak untuk kunjungan rutin ke dokter, Bu. Tak cuma biaya. Ada rasa sabar yang harus selalu saya hadirkan. Ada waktu dan tenaga juga yang selalu kami korbankan. Jadi, saya butuh suasana yang tidak membuat pikiran saya kacau. Karena sejauh ini, kami berjuang cuma berdua. Orang luar mana paham, Bu?" Izza menjabarkan uneg-uneg di hatinya dengan panjang lebar. Tentu, dengan intonasi yang sopan.

Bu Ami terdiam. Entah apa yang terbersit di benaknya. Namun sejauh ini, Bu Ami selalu cuek perihal Izza yang tak kunjung hamil. Namun, Bu Ami sebenarnya sangat menyayangi Yanto, pun terhadap Izza. Beliau selalu memberikan kehangatan.

Namun, di sisi lain, Bu Ami selalu lemah perihal keadilan entah kasih sayang atau warisan. Ah, warisan sih tak penting, yang terpenting adalah kasih sayang. Di mana sejauh ini Bu Ami sangat mengasihi anak bungsunya, Ragil. Selalu menganggap Ragil anak kecil yang harus disayangi, diarahkan, ditata sedemikian rupa setiap kebutuhannya, dan dipenuhi apapun yang diinginkan. Hingga anak yang lain termasuk Yanto, jadi tak begitu diperhatikan.

Kadang Yanto berusaha cuek, namun manusiawi lah, jika Yanto dan Izza adakalanya memiliki rasa cemburu, iri dan ingin disayangi seperti Ragil dan Asih.

"Saat ini, ibu sudah memiliki cucu baru dari Asih. Bagaimanakah kasih sayang ibu kepada Asih nanti? Semakin besar kah?" Hati Izza bergejolak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status