Share

MENJAUHI ORANG-ORANG TOXIC

"Oh, jadi begitu ceritanya?" Izza menanggapi cerita suaminya sepulang dari rumah Bu Ami. Terlihat Izza hanya tersenyum setelah mendengar suaminya mencurahkan kekesalan tentang saudaranya. Terutama Mas Bambang.

"Maaf ya, Sayang. Bukannya aku mau mengajari kamu durhaka kepada kakak-kakakmu atau sama ibu. Tapi, mulai sekarang belajarlah menolak. Jangan iya-iya terus, tapi endingnya sakit hati." Izza sedikit ngomel kepada suaminya. Ya, karena dia gemas sekali dengan perlakuan mereka-mereka.

"Aku malas debat. Karena aku gak mahir debat dan perang argumen sama mereka," jawab Yanto.

Memang Yanto ini orangnya sangat pendiam. Dia tipe lelaki yang tidak bisa menolak permintaan orang lain. Yanto selalu sungkan, gak enakan sama saudara, dan selalu takut meyinggung perasaan orang lain. Diapun selalu menjaga perasaan saudaranya.

Bulek Umi pernah bercerita kalau di masa kecil dulu, Yanto adalah anak yang paling cengeng, paling pendiam, paling sering mengalah, dan paling nurut. Juga paling gampang disuruh-suruh oleh para saudaranya.

Izza meneguk teh hangat manis di hadapannya. Tangannya bertaut satu sama lain. Wajahnya masih terlihat kesal.

"Oke, mulai sekarang gak usah sering-sering kerumah ibu. Kalaupun ditelpon Mas Bambang, Mas Udin, Mas Agus atau Mbak Nana, bahkan ditelpon setan sekalipun. Jangan kesana! Bukannya aku mau memutus tali silaturrahmi dengan mereka. Tapi, capek, Sayang," kata Izza.

"Sering banget lho, mereka itu menelpon hanya untuk hal-hal yang gak penting. Menelpon karena lampu ibu mati lah. Menelpon karena listrik belom dibayar lah. Menelpon hanya menyuruh untuk benerin pagar kek, benerin kabel dimakan tikus kek, atau benerin tai kucing lah." Izza ngomel panjang lebar. Wajar, ia sejauh ini selalu berusaha menjadi menantu dan ipar yang baik.

Yanto hanya terdiam. Ia paham memang keluarganya sering semena-mena.

"Hanya karena kita gak punya anak? Hanya karena kata mereka aku ini mandul? Hanya karena itukah mereka selalu menganaktirikan kita?" Wajah Izza kian meradang.

"Masih ingat gak? Lebaran taun lalu. Mereka ada acara rombongan (bareng-bareng) berangkat halal bihalal ke setiap rumah saudara-saudara dan sepupu-sepupu jauh. Tapi, kita? Kita dilewati. Padahal searah lhoh rumah sepupu kita dengan rumah ini. Aku paham sih, memang di rumah ini tidak ada cucu ibu. Jadi kita ini gak penting lah bagi mereka." Suara Izza terdengar bergetar. Tentu saja, ia sangat geram dengan perlakuan saudara-saudara Yanto.

"Mulai sekarang, jangan sering-sering kesana! Kecuali kalau ada urgent. Mampir saja sekali-kali untuk memberi ibu uang. Terus pulang. Ini aku seriusan kecewa. Bukan karena persoalan pembagian sawah atau kebun tebu milik keluargamu itu. Karena aku tidak suka jika harga diri suamiku diinjak-injak." tukas wanita yang selalu dicap mandul itu.

Izza membiarkan suaminya berfikir seorang diri di sofa. Ia berlalu masuk ke dalam kamar setelah berbicara panjang lebar sedari tadi.

Dari kamar, Izza masih lanjut mengomel. "Maka dari itu, mulai sekarang, cobalah buka matamu. Di mata mereka, kita ini tidak sepenting seperti yang sampean kira. Kita ini tidak penting-penting amat bagi mereka. Kita ini apa sih? Ah, cuma pasangan mandul. Ah, hanya saudara yang tak becus membuat keturunan. Itulah yang mereka tancapkan dalam pikiran mereka," ucapnya.

"Jadi, berhentilah mengira bahwa kita ini istimewa di mata mereka. Stop! Berhentilah berfikir kita ini dipandang 'ada' bagi mereka. Kita dianggap ada kalau mereka sedang butuh saja. Titik." Izza meluapkan semua kekesalan yang ada di dalam dadanya.

Memang benar. Sejauh ini, saudara-saudara Yanto selalu merepotkan. Benerin apapun, selalu menyuruh Yanto. Yanto yang selalu tulus kepada saudaranya selalu dibodohi. Selalu diinjak-injak, lantaran tidak mempunyai anak. Dengan dogma, harus baik kepada saudara, karena ndak punya momongan.

*************

"Klunting." Pesan WA masuk di handphone Yanto.

"To, bisa ke rumah gak? Bantuin benerin atap dapur dong." Pesan dari Mas Bambang.

Yanto mengetik sambil bersantai di depan TV. "Bayar tukang saja, Mas. Aku gak bisa bantu." Ia letakkan gawainya lalu lanjut menonton TV.

"Duh, mumpung hari minggu, Lho." Balasan pesan dari Mas Bambang masuk.

"Justru karena minggu, aku ingin istirahat, Mas. Mumpung libur kerja. Atau suruh Ragil aja. Ragil juga lagi libur kan kalau hari minggu?" Selesai mengetik ia letakkan gawainya di meja lagi.

Ia tersenyum puas, akhirnya ia bisa menolak permintaan suadaranya. Biasanya, Yanto selalu tidak bisa menolak.

*********

Ada telpon masuk. Di layar handphone, terlihat nama Mas Udin.

Yanto mengabaikannya. Tiba-tiba ada pesan WA masuk. "To, gak kesini kah? Biasanya hari minggu kesini. Ibu dari tadi nungguin nih. Katanya Yanto ke mana, ya? kok ndaak kesini udah seminggu lebih?" tulisnya.

"Aras-arasen, Mas," jawab Yanto singkat.

[Aras-arasen ; malas]

"Ini lho Mely dan Bian juga nungguin Izza. Mereka mau meminta ajari bahasa inggris." Balasan dari Mas Udin. Meli dan Bian adalah anak-anak Mas Udin dan Mbak Ina.

"Guru lesnya kemana? Biasanya mereka les kan?" balas Yanto.

Tak ada balasan.

*******

Yanto tersenyum. Ternyata semudah ini menolak mereka. Bertahun-tahun Yanto selalu menurut. Setiap hari minggu ditelpon dan selalu nurut. Tak terkecuali Izza. Ditelpon suruh benerin settingan HP nya error lah. Rumah Ibu Ami bocor lah. Lampu mati lah. Anak si A minta ajarin bahasa inggrislah. Anak si B ada PR bahasa jawa lah. Anak si C ada PR matematika lah. Anak si D ulang tahun lah. Minta kado lah. Tai kucing lah.

Sekarang. Semua kekonyolan mereka ini harus dihentikan dan ditolak.

Bukankah mereka hanya memanfaatkan kekurangan saudaranya yang katanya mandul itu? Dengan alih-alih berucap, "Baik-baiklah kepada keponakan. Jangan pelit sama ponakan dan saudara. Karena kalian tidak punya anak. Nanti kalau kalian tua, pasti keponakan dari kami ini yang merawat kalian." Dogma itu semacam menundukkan hati Yanto dan Izza.

Tapi, hal itu sudah tidak berlaku lagi untuk saat ini.

********

Sore yang syahdu. Tanah masih terlihat basah setelah diterpa guyuran hujan. Izza merenung di rumahnya, di ruang tamu dengan ditemani secangkir kopi. Ia melayangkan pandangan ke luar jendela. Menatap senja yang cantik. Menerawang jauh mengukir masa-masa silam yang menyedihkan dan merisaukan.

Ia mengingat-ingat setiap inchi hal-hal pahit yang sering ia terima dari kelakuan ipar-iparnya. Entah kenapa? Pikirannya memutar kembali moment saat ia tersakiti oleh Mas Bambang.

Kala itu, tiga tahun yang lalu. Oh tidak, mungkin empat tahun yang lalu. Ketika Izza masih sering berkunjung ke rumah Bu Ami. Dan belum ada Asih. Izza sering mampir sepulang kerja atau ketika jam istirahat. Dan Bu Ami sering memasak untuk Izza. Sambal tongkol, sambal ikan asin, sayur lodeh nangka muda, dan perkedel buatan Bu Ami, adalah menu yang sangat Izza sukai.

Pernah suatu sore, Izza sedang makan di rumah Bu Ami. Tiba-tiba Mas Bambang muncul dan menyeletuk dengan omongan menyakitkan. "Idih, datang makan, datang makan. Enak dong. Jangan makan terus, Zah. Nanti badanmu se-gedhe tugu kabupaten, lhoh. Dan makin susah beranak (punya anak) dong," ucapnya.

Izza yang sedang menikmati sayur nangka muda dan sambel plus mendol (tempe dikepal lalu digoreng), mendadak menjadi sulit menelan makanan. Ia merasa tak mampu menikmati makanan buatan mertuanya. Izza merasa sangat malu. Yah, memang dia sedang dipermalukan. Oleh kakak ipar tertuanya.

Seketika Izza menghentikan aktifitasnya. Lalu ia menatap mata kakak iparnya yang berdiri di tengah pintu seraya tertawa meledek itu. Mas Bambang merasa puas sudah mengganggu kegiatan Izza.

"Sampean kenapa banyak bicara sih, Mas? Se-tidak bahagia itu kah sampean melihat orang lain kenyang? Se-iri itukah Sampean melihat ibu memberi makan anak lainnya selain Sampean dan anak istri sampean? Se-begitu jelekkah prasangkamu, Mas?" Izza melontarkan kata-kata pedas yang dirasa pas untuk dihujankan kepada Mas Bambang, ipar tertuanya.

"Jangan didengarkan, Zah. Bambang itu memang bermulut pedas." Tiba-tiba Pak Lik Sholeh muncul dari belakang Mas Bambang.

"Kukasih tahu, ya. Kalau kamu sih makan di sini belum tentu seminggu sekali. Kadang kamu juga tidak mau makan kalau tidak benar-benar klik dengan situasi dan kondisi. Jarang lah makan di rumah ibumu (Bu Ami) ini. Beda dengan si Bambang. Setiap hari, bahkan sehari tiga kali. Dia minta makan tuh sama ibunya (Bu Ami). Jangan dihiraukan! Jangan didengarkan! Bambang itu laki-laki tapi banyak mulutnya. Suka ngoceh," ucap Pak Lik Sholeh. Dia membela Izza.

Mas Bambang seketika terdiam dan hanya tersenyum kecut, karena malu.

Izza tersenyum menang dan melanjutkan makannya.

Pernah juga suatu waktu, ketika Budhe Ulfa meninggal. Izza dan keluarganya, takziyah ke rumah Budhe Ulfa yang kebetulan bersebelahan dengan rumah Bu Ami. Keluarga besar Izza datang mengungkapkan bela sungkawa.

Ada Leha, Yanti, Bu Ismi (ibu Izza), dan beberapa keponakan Izza. Leha membawa anak sulungnya yang berusia dua tahun, Nizam. Tatkala semua orang berkumpul selepas berdoa bersama, Izza menemani Nizam bermain. Karena Leha sedang makan.

Ketika Izza menemani Nizam berlarian kesana-kemari, tiba-tiba Mas Bambang berbicara dengan lantang di depan beberapa para tamu yang bertakziyah. "Ngapain kamu capek-capek ngurus anak orang?" teriaknya.

"Ngapain mau-maunya momong (menjaga) anak orang? Makanya bikin anak yang bener. Salah sendiri, gak bisa hamil. Salah sendiri mandul. Rasain tuh dijadiin babu sama saudaramu kan? Rasain tuh disuruh-suruh momongin anaknya kan sama mbak-mbakmu?" Mulut Mas Bambang nyerocos pedas dengan volume lima oktaf.

Di depan banyak tamu yang bahkan sebelumnya tidak mengetahui jika Izza adalah menantu Bu Ami yang belum memiliki anak.

Izza terdiam kala itu. Dia tersenyum sambil menggedong Nizam. Tapi, Izza merasa sesak di dalam dadanya. Rasa malu seakan membuat wajahnya harus tertunduk lesu. Ia ingin lari. Tapi percuma.

"Yaa, sama saja dong, Mas. Anak Mbak Leha juga anaknya Izza lah. Kan Nizam ini keponakan Izza. Jadi, sudah seperti anak Izza juga, dong." Ada suara Mbak Nana yang entah sejak kapan menyaksikan pertujukan itu.

Mbak Nana membela Izza. "Benar kan, Zah?" Mbak Nana tersenyum sambil menepuk bahu Izza. Menguatkan adik iparnya.

"Ayo, Zah. Kita masuk saja. Kamu makan sana. Sini Nizam aku yang gendong." Mbak Nana menarik tangan Izza.

Tapi, Mas Bambang tak berhenti sampai di situ. "Ya beda dong, Na. Anak itu ya harus hamil sendiri. Melahirkan sendiri. Kalau anak keponakan mah bukan anak. Rugi kalau gak bisa hamil sendiri." Suara Mas Bambang memenuhi teras Bu Ami yang waktu itu juga dipenuhi para pelayat.

Mendengar itu, Nana segera membawa Nizam di gendongannya dan menyuruh Izza agar segera masuk ke dalam rumah Bu Ami.

Begitulah Mas Bambang. Kakak tertua Yanto yang tidak bisa dituakan. Kakak tertua yang selalu semena-mena dan mulutnya tidak memiliki rem.

"Makanlah, Zah. Jangan mendengarkan Mas Bambang," ucap Mbak Nana.

"Ada apa? Ada apa?" Tiba-tiba Bu Ami muncul dari ruang tengah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status