Share

YANG MANDUL TAK DAPAT WARISAN

"Begini yaa, Rek. Ini ibu kita kan ada sawah dan kebun tebu. Juga beberapa pekarangan dan tanah. Ini peninggalan almarhum Bapak. Ini sudah saya bagi-bagi untuk kita ber-delapan. Sesuai kesepakatan, dan sudah disetujui ibu. Saya selaku kakak tertua akan membagi sesuai kebutuhan dan porsi kalian." Mas Bambang menjelaskan dengan rinci di ruang tamu Bu Ami.

[Rek adalah bahasa jawa yang artinya "saudara2/guys/gaess]

Sengaja semua adik-adiknya ia suruh berkumpul untuk membahas pembagian harta. Lebih tepatnya pembagian sawah dan kebun sekaligus pengatasnamaan rumah Bu Ami.

"Aku sebagai kakak tertua, mendapat tiga bagian. Kebun tebu, sepetak sawah, dan tanah di sebelah rumah ibu ini. Ragil sebagai anak bungsu, dapet rumah ini, sebidang tanah di perkebunan dan sepetak sawah. Juga tanah pekarangan di belakang rumah." Mas Bambang mengabsen semua adik-adiknya hingga sampailah pada giliran Yanto.

"Yanto kan belum punya anak, jadi bagian Yanto saya pending dulu. Saya yang pegang. Khawatir nanti itu tanah dijual buat hal-hal yang tidak penting . Toh gak ngingoni (menafkahi) anak kan? Jadi, jatah Yanto saya pegang dulu." Tiba-tiba Mas Bambang mengeluarkan pendapat yang tak enak didengar.

Degh! Hati Yanto bergetar. Sontak ia tertegun. Namun ia hanya diam. Yanto tidak tau mau menjawab apa. Toh ia juga bingung buat apa sih membagi-bagikan hak waris. Toh ibu masih sehat. Pikiran Yanto kemana-mana.

"Tenang saja, To. Nanti kalau kamu sudah punya anak, itu jatah kamu bakal saya berikan atas nama kamu kok. Makanya istrimu suruh hamil. Gak bosen kah kemana-mana berdua terus? Kalah sama Ragil. Atau kamu nikah lagi aja. Biar punya anak," lanjut Mas Bambang.

Yanto hanya terdiam. Malas berdebat dengan kakaknya.

"Sementara ini, jatahmu saya yang handle. Kamu dapat kebun tebu. Toh kebun tebu itu sertifikatnya masih di bank. Ibu gadaikan buat resepsi pernikahan Ragil kemarin. Kan Asih minta resepsi dua kali," terang Mas Bambang.

"Lhoo, jangan gitu mas. Kasihan Yanto dan kita-kita ini. Pembagiannya kok gak merata?" Mbak Nana sebagai kakak perempuan menengahi hal tersebut.

"Sudahlah, Na. Nurut ap kata saya saja. Saya ini sudah memikirkan dengan detail setiap jatah-jatah kalian. Kamu juga dapat jatah di kebun tebu. Sertifikatnya ada kalau yang punyamu," kata Mas Bambang kepada Mbak Nana.

"Ragil dapat jatah banyak karena anak bungsu. Ragil kan juga sudah ada anak. Beda lagi sama Yanto. Jadi, maaf yaa, To. Kamu harus bersabar dulu." Mas Bambang masih keukeuh dengan pernyataan konyolnya.

Yanto yang selalu pendiam dan neriman (menerima apa adanya), hanya mematung tanpa membantah keputusan kakak tertuanya.

"Oh, Ya. Mumpung lagi ngumpul. Ini kamu seriusan gak ada tanda-tanda istrimu hamil, To? Ini sudah bertahun-tahun lho. Semua saudaramu sudah punya anak. Kalau istrimu gak bisa hamil. Nikah lagi saja lah. Ngapain nemenin istri yang tidak subur. Sudah jelas-jelas istrimu itu mandul, masih saja dipertahankan. Rugi lho, To." Setiap omongan Mas Bambang terasa begitu menyayat di dalam hati Yanto.

"Kasian lho kamu itu, To. Kerja banting tulang kalau gak punya anak itu rugi." Suami Mbak Nana menimpali.

"Nah, benar itu. Rugi banyak. Rugi tenaga, pikiran, uang, dan rugi waktu," lanjut Mas Bambang, ia semakin melebih-lebihkan intonasi ucapannya.

"Bener, Mas. Aku itu lihat Yanto ini kasihan. Dia itu kerja terus, gak ada berhentinya. Terus buat apa? Anak aja gak punya. Makanya aku sering kasihan lihat Yanto ini" Suami Mbak Nana masih turut menambahkan ocehan.

"Baiklah, Rek. selain Yanto, kalian semua sini setor KTP. Buat pengurusan surat-surat tanah," lanjut Mas Bambang.

"Gak bisa gini, Mas. Ragil dapat rumah. Sampean dapat rumah. Aku aja rumah masih ngontrak. Masak aku cuma dapet kebun tebu?" Mas Udin protes.

"Kebun tebumu itu bisa dipakai buat jualan. Kan istrimu rame tuh jualan ayam gepreknya. Buka warung di situ, Din. Nanti di warung kan bisa sambil buat tempat istirahat kalau siang. Bisa buat tidur juga kalau malam kan?" Jawaban Mas Bambang selalu menyepelekan adik-adiknya.

Yanto tiba-tiba berdiri dan keluar dari rumah ibunya. Ia merasa sangat kecewa. Ia merasa dianaktirikan. Dia pergi begitu saja meninggalkan saudara-saudaranya yang sedang berdebat perihal tanah. Tak ia hiraukan Bu Ami yang juga beranjak dari kursinya dan mengikuti Yanto ke halaman rumah. Begitupun suara Mbak Nana yang mencegah Yanto pergi, Yanto tepis.

"Too, mau kemana?" teriak Mbak Nana.

Yanto segera pulang tanpa berpamitan kepada sana keluarganya. Di perjalanan pulang, ia tiba-tiba meneteskan air mata. Teringat ucapan demi ucapan Mas Bambang dan Suami Mbak Nana. Ada rasa sedih, marah dan jengkel di dalam dadanya. Bukan karena ia tak mendapatkan warisan tanah. Tapi karena omongan-omongan perihal anak yang terus mengganggu pikirannya. Rugi bekerja, rugi menafkahi istri, dan kerugian-kerugian lainnya yang selalu mereka ucapkan. Bahkan mereka berkali-kali menyuruh Yanto untuk menikah lagi.

Yanto merasa benar-benar tidak dimanusiakan hanya karena dia tidak memiliki anak. Okelah perihal warisan, itu bukan hal besar. Toh, Yanto tidak tertarik dengan sawah, kebun tebu atau harta lainnya. Kalaupun jatah Yanto mau diambil. Ya sudah ambil saja. Tak perlu lah membawa-bawa urusan anak dalam urusan pembagian warisan.

Memang sejak kecil, Yanto selalu mengalah dan selalu dijadikan kalah-kalahan oleh saudaranya. Terlebih Mas Bambang. Meskipun dia adalah kakak tertua, Mas Bambang tak bisa dituakan, alias tak bisa dijadikan panutan. Dulu Mas Bambang masih sedikit hangat kepada adik-adiknya. Namun, setelah menikah dengan Mbak Sri, Mas Bambang menjadi sedikit bertingkah. Mbak Sri selalu memegang kendali terkait urusan harta. Mbak Sri dari dulu selalu meminta banyak sekali kekayaan dan warisan. Dari sejak menikah dengan Mas Bambang, Mbak Sri sudah meminta dibuatkan rumah. Meminta dibuatkan warung gorengan. Sempat berjualan aneka gorengan lalu bangkrut karena Mbak Sri berebut area penjualan dengan tetangga.

Sebenarnya perihal tanah, pekarangan tebu dan sawah. Yanto dari dulu sudah paham. Bahwa pembagiannya tak pernah adil. Dari dulu Bu Ami selalu silau kepada Mas Bambang. Entah karena anak tertua atau apa. Bu Ami selalu memberikan apa yang Mas Bambang minta. Yanto masih ingat ketika Mas Bambang meminta Bu Ami menggadaikan surat tanah untuk membangun dapur. Ketika kebun kelapa dipanen dan hasil panennya dijual oleh Mas Bambang dan uangnya entah kemana. Ah, Mas Bambang selalu serakah.

"Ibu ini takut kalau masmu marah." Begitulah kata Bu Ami jika disuruh mengingatkan Mas Bambang atas kelakukannya yang dzolim.

Dan sekarang, dengan alasan Yanto tak memiliki anak, Mas Bambang berniat merebut jatah warisan Yanto.

Lamunan Yanto buyar ketika bunyi klakson mobil menggema di telinganya. Rupanya Yanto mengendarai motor dengan sembarangan. Tidak ia sadari motornya melaju dengan melewati garis pembatas di tengah aspal.

"Jancuk, mau mampus kau ya!" teriak supir mobil itu dengan geram.

Yanto segera meminggirkan sepeda motornya. Dia berhenti dan mengatur ritme degup jantungnya. Berkali-kali ia membuang nafas dengan berat. Seberat beban di pundaknya.

Tiba-tiba Yanto teringat istrinya di rumah. Malang sekali wanita yang selama bertahun-tahun ini mendampinginya. Wanita yang mereka sebut-sebut mandul. Padahal sejauh ini, Izza selalu berusaha menjadi ipar yang baik. Bagaimana Yanto akan menghadap Izza dan bercerita perihal warisan dan ucapan-ucapan Mas Bambang? Bagaimana mungkin Yanto bisa mengkiaskan perlakuan saudara Yanto? Bagaimana Yanto memberitahu istrinya bahwa keluarganya masih memandangnya sebelah mata??

Tak ada yang berubah dari mereka. Selama ini, mereka tetaplah mereka, dengan keegoisan dan sifat keras kepalanya. Mereka tetaplah mereka, dengan keserakahannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status