Share

KEJULIDAN PARA SAUDARA DAN TETANGGA

"Ya Allah, janganlah Engkau biarkan hamba-Mu ini larut dalam kesedihan. Jangan biarkan kami terus-menerus hidup dalam kesepian. Kami mohon, jangan biarkan kami hilang harapan. Ya Robb, jawablah penantian panjang kami ini." Terbentang doa Izza mengeluh dan memohon kepada Tuhan-Nya.

Ia memang tegar menjawab cacian, gunjingan, ejekan, dan menerima beberapa perlakuan tak pantas. Baik dari tetangga, kerabat dekat atau saudara-saudaranya. Namun, siapa yang tahu? Setiap malam ia meneteskan air mata mencurahkan isi hati kepada Yang Maha Mendengar?

Masih melekat di dalam ingatannya, beberapa perlakuan dan ucapan orang-orang yang tak punya otak dan tak punya hati itu.

Kini ia mengadu kepada Sang Khaliq. Menceritakan semua kesedihan dan sakit hati yang menghujaninya. Lewat doa dan air mata.

"Ya Allah, ampunilah hamba yang sering membalas ejekan mereka dengan kata-kata kasar. Ampuni hamba-Mu yang gagal menjadi pribadi sabar. Ampunilah hamba yang sering dzolim kepada mereka. Apakah itu dzolim, Ya Allah? Apakah hamba dzolim kepada sesama? Kepada mereka?" Air mata Izza terus mengalir.

Kemudian rentetan kejadian dan ucapan-ucapan mereka yang sering menyudutkannya, terekam begitu saja. Seakan-akan semua kejadian itu berputar ulang. Kejadian-kejadian itu seperti roll video yang sedang autoplay di otak Izza.

*******

Ketika Izza menikah baru empat bulan. Mbak Ina, menantu ketiga Bu Ami, hamil anak kedua.

Hari itu, Izza mampir ke rumah Bu Ami sepulang dari kantor,‍ " Zah, aku hamil lho. Kamu kok kalah sama aku? Ayo lomba ngasih cucu cewek buat ibu. Ayo lomba hamil. Oh ya cucu ibu kan limabelas cowok semua. Ayo kita lomba cepet-cepetan ngasih cucu cewek," ucap Ina sambil pamer testpack waktu di teras rumah Bu Ami.

"Alhamdulillah. Selamat yaa, Mbak. Semoga aku segera menyusul," sahut Izza dengan santai, walaupun sebenarnya hatinya agak kikuk.

"Lha terooss, kamu kapan Zah? Lama amat. Mandul kah? Masak kalah sama Ina? Kamu sih, kerja terooos, nyari uang terooos. Jadinya gak hamil-hamil." Bulek Yayah tiba-tiba nimbrung begitu saja. Tanpa basa-basi pula.

Izza hanya tersenyum dan berlalu pergi dari hadapan mereka. Kala itu ia masih belum seberani saat ini.

*********

Di warung Mbak Yayuk, beberapa bulan yang lalu.

"Mbak, telur sekilo, gula sekilo, ya." Izza berbicara dengan pemilik warung.

"Ok Zah," jawab Mbak Yayuk.

"Eh ada Izza..., Hey Zaah, coba sini nunggi**g, aku kasih contoh caranya kawin biar kamu lekas hamil," celetuk Pak Hasan yang tiba-tiba muncul dari belakang Mbak Yayuk. Dia adalah bapak Mbak Yayuk.

"Hush!! Bapak gak sopan ngomong begitu." Spontan Mbak Yayuk menegur bapaknya.

"Lho, saya ini cuna mau kasih contoh. Barangkali suami Izza gak lakik. Gak topcer. Sperr*a encer, atau gak tau gaya-gaya kawin yang manjur. Sini aku ajarin. Suruh suamimu minum jamu. Dan kamu juga harus belajar gaya-gaya kawin yang joss, Zah." Kakek-kakek itu semakin menjadi-jadi berbicara di depan warung.

Ia terlihat bersemangat menceramahi Izza perihal gaya-gaya bercinta. Izza awalnya diam saja. Ia capek menanggapi hal-hal yang selalu sama topiknya.

"Gimana, gimana? Atau aku kasih donasi sperm* aja nih? Mau gak? Aku kasih sumbangan sperm** gratis. Ku-kasih patungan sperm* milikku cuma-cuma lhoh." Sekarang ucapan Pak Hasan semakin lancang.

Izza sontak meradang.

" Wooow Bapak Hasan ini rupanya belum sadar kalau sampean sudah tua. Lancang sekali mulut sampean. Saya laporkan ke Pak Lurah biar diurus ke kepolisian ya? Mau? Sudah bau tanah. Banyakin ibadah. Takut sewaktu-waktu ajal datang. Gak baik kan kalau sampean sakarotul maut dalam keadaan nawarin tetangga nunggi***g dan promosi sperm* basi khas aki-aki. Nanti gimana kalau sama malaikat dicabut nyawanya ketika situ nunggi**g juga?" Izza menjawab dengan nada nyaring. Tak peduli ada siapa saja di warung itu. Ia terlihat menguasai emosinya. Meskipun hatinya jengkel. Bagaimana tidak, disitu ada banyak pembeli.

Ada yang ikut tertawa mendengar ocehan Pak Hasan. Dikira ini lucu. Ah.. tapi Izza selalu terlihat tegar.

Akhirnya Pak Hasan pun pergi. Izza menghela napas dalam-dalam.

*******

Esok harinya Izza pindah belanja sayur ke warung lain. Ke warung Mbak Amina.

"Mbak, sayur sop 3000. Ikan lele setengah kilo. Total berapa?" Seperti biasa, setelah memilih-milih belanjaan, pembeli akan totalan.

"Tiga belas ribu, Non," jawab Mbak Amina.

"Zaa, kamu kapan nih mau hamil? Kamu sengaja ya gak mau hamil ? Atau kamu emang mandul? Kakakmu udah punya dua anak. Kakakmu satunya sudah punya satu anak. Bahkan keponakanmu, anak masmu juga sudah beranak. Padahal ponakanmu nikah belakangan. Kamu kalah jauuh lhooh." Bik Iyem nyerocoss tanpa jeda. Dia ibu angkat dari Mbak Amina.

Sontak Izza menghela napas dalam-dalam dan ia tersenyum. Lalu menyahuti ejekan Bik Iyem.

"Sudahlah, Bik. Tidak usah repot-repot ngurusin hidup saya. Toh Bik Iyem sendiri juga mandul kan? Sampai setua ini belom punya momongan. Saya tau kok kalau Mbak Amina itu anak angkat sampean. Cuma selama ini saya masa bodoh entah Mbak Amina ini anak angkatmu, anak tirimu, atau anak apalah. Terserah situ. Bagi saya gak penting banget ngurusin anak orang lain." Izza menjawab ejekan Bik Iyem sambil mengedipkan sebelah matanya. Bik Iyem hanya melongo (bengong). Lalu Bik Iyem masuk ke dalam rumah.

********

Izza pun sempat malas belanja ke warung Mbak Amina lagi. Suatu hari ia pindah ke warung Bulek Marsiti.

"Bulek, ikan pindang tiga kotak ya," ucap Izza.

"Ambil sendiri, Zah. Tuh tempat ikan ada di ujung. Itu kantong plastiknya di gantungan," kata Bulek Marsiti sambil otak atik handphone di kursi.

Izza pun mengiyakan. Ia mengambil beberapa kotak pindang dan belanjaan lain.

"Beli lauk kok banyak amat, Za? Kan kamu gak punya anak thoo?" Bulek Marsiti mulai bahas anak.

"Lhoo emangnya kenapa kalau beli banyak, Bulek?" Izza tersenyum.

"Belanja banyak jadinya boros. Padahal gak ngingoni (menghidupi) anak. Lagian kenapa kamu gak hamil-hamil sih? Ini sudah sekian tahun lho. Mandul ya? Hati-hati suamimu nikah lagi. Jaman sekarang banyak janda genit lho." Bulek Marsiti masih terus nyerocos ngalor ngidul.

"Ehm, gini bulek, Bulek kenapa duduk di kursi terus dari tadi? Melayani pembeli sambil dudukan. Bulek sakit?" Izza bertanya perihal Bulek Marsiti karena dia menjaga warung sambil dudukan. Tak lincah seperti biasanya, yang kesana kemari gesit melayani pembeli.

"Anu, Zah. Asam urat dan kolestrol. Sama agak pusing kepalaku, soalnya darah tinggi," jawab Bulek Marsiti.

"Nah. Tuh kan, udah tua. Udah sakit-sakitan. Udah gak kuat berdiri juga kan? Misal nih bentar lagi mati gimana? Gak nyari bekal? Masih mau sibuk julid ke saya yang katanya mandul nih? Banyakin ibadah aja lah, Bulek. Kurang-kurangin nyinyir. Toh saya meskipun kata situ mandul, saya ndak pernah minta makan sama situ kan? Oh ya Bulek, pindangnya ini ndak jadi saya beli. Makasih." Izza spontan pergi tanpa melihat ke wajah Bulek Marsiti.

*********

Setiap kejadian-kejadian itu melekat dengan sangat rapi di otak Izza. Menancapkan duri tersendiri di setiap ruang dadanya. Hanya di dalam doanya Izza bebas mengeluarkan isi hatinya. Izza menangis, mengadu, dan mengeluh. Dia sebut satu-persatu ulah manusia-manusia itu. Hatinya merasa plong setiap kali menumpahkan airmata di setiap doanya.

Setelah puas mencurahkan kesedihannya. Izza pun beranjak kembali ke kamar tidurnya. Terlihat Yanto tidur dengan raut wajah yang sangat lelah. Izza mengusap wajah suaminya. Ada rasa sedih, kasihan dan merasa bersalah, karena belum bisa memberikan keturunan sampai detik ini. Lagi-lagi Izza hanyut dalam kesedihannya sampai ketiduran.

"Sayang, maafkan istrimu yang belum bisa menjadi istri sempurna ini, ya," bisiknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status