Share

Bab 2

"Eh, Mak Ida," ucapku salah tingkah.

Ku lepas paksa pelukan mas Adit. Namun, Mas Adit sengaja mempererat pelukannya.  Malu sekali rasanya dipergoki bermesraan dengan suami. Padahal, kalau dipikir, kan gak dosa juga bermesraan dengan pasangan yang halal. Hi...hi.... Aku senyum-senyum sendiri.

"Reina, kamu malah senyum-senyum. Kalian ini pagi-pagi udah bermesraan aja. Kamu juga Adit, gak punya baju ya, masa ada orang tua cuma pake handuk?" Mak Ida ceramah pagi.

"Iri, nih ye?" Kutekankan kata IRI kepadanya.

"Halah, ngapain juga Mak harus iri sama kalian. Mak udah pernah dulu. Kamu juga, Reina, kalau dinasihatin orang tua, selalu saja ada jawabnya," ucap mak Ida sewot. 

"Mak Ida juga ngapain ke rumah orang pagi-pagi, gak pakai salam, lagi?. Ganggu pengantin baru aja," Mas Adit menanggapi santai, melepas pelukannya lalu menuju kamar.

Aku malas menanggapi Mak Ida. Semakin dijawab, semakin panjang urusannya nanti. Jadi ku pilih diam saja, dari pada ada pasar ribut pagi-pagi. Eh, tunggu, pasti kalau Mak Ida kesini ada maunya, tidak mungkin tidak.

"Na, Mak pinjam minyak goreng dulu dong, satu liter aja, Mak mau masak tapi minyak habis," Mak Ida memelas.

Tuh kan, benar juga feelingku. Apa jangan-jangan aku punya indra ke enam ya?. Ah bodo amat. Amat aja enggak bodo.

"Lha tadi kan, Mak ke warung Ratih, kenapa gak sekalian beli minyak?"

"Tadi itu lupa, gara-gara kamu sih nyebelin tadi."

"Kok aku yang disalahin. Harusnya aku yang marah, karena Mak sesuka hati fitnah Reina," emosiku mulai tersulut.

"Fitnah apanya, wong kenyataannya kamu hamil," Mak Ida gak mau ngalah.

"Emang orang ngeyel itu gak ada obatnya," ucapku melirik Mak Ida.

"Udahlah, Na, akui saja kalau kalian memang sudah nyicil duluan. Buktinya kalian kan sering berduaan dirumah ini dulu." 

Aku menghela nafas, takutnya emosi meledak dan Mak Ida jadi mangsaku.

"Mak, ada buktinya kalau Reina sama Mas Adit berduaan?" 

"Dulu kan Adit sering nganter kamu pulang. Gak mungkin kan kalian gak macam-macam di rumah, apalagi cuma berdua," Mak Ida berkilah.

"Terserah lah, Mak. Tetangga selalu benar kok."

Mak Ida mencebik kesal. Tanpa rasa bersalah, dia melenggang ke dapur.

"Tinggal kasih pinjam minyak seliter aja, banyak omong kamu, Na. Pelit amat jadi orang."

"Astaghfirullah," ucapku dalam hati. 

Ini orang otaknya geser di mana ya, sudah minjam, pake ngatain orang pelit segala. Kalau saja bukan budhe sendiri, sudah ku makan hidup-hidup.

"Ini Mak, bawa aja semuanya kalau gak punya malu," sindirku seraya menyodorkan minyak goreng kepadanya.

"Terimakasih, Na," Mak Ida melenggang pergi tanpa menoleh padaku. Tak lupa ia juga mencomot satu buah apel yang ada di atas meja.

"Loh, Mak, kok dibawa semua, Reina masaknya bagaimana?"

Tanpa kuduga, Mak Ida ternyata membawa semua minyak isi lima liter yang baru ku pakai sekali, menggoreng telur tadi pagi. Ya Allah, apa salah dan dosaku sehingga mempunyai budhe seperti ini. 

"Suamimu kan banyak uangnya, beli lagi lah," ucapnya seolah tak berdosa

"Sabar Reina, orang sabar di sayang suami," batinku bermonolog.

****

"Mas, mumpung kita masih ada cuti, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?"

Kini kami berdua sedang bersantai sambil menonton televisi setelah acara beberes rumah selesai. Aku meminta cuti seminggu di tempatku mengajar. Mas Adit pun sama. 

"Mau jalan kemana, Sayangku?"

"Ke alun-alun Batu aja, Mas. Habis itu langsung ke rumah Mama."

"Bukannya kita udah sering, ya, ke alun-alun?. Gak ada tempat lain gitu?"

"Em, kemana ya enaknya, Mas? Aku berpikir keras.

Memang, selama kami pacaran, alun-alun kota Batu menjadi tempat andalan kita nge-date. Entah kenapa aku tidak ada bosan-bosannya kesana.  Aku kangen suasana di sana, beli cilok lalu naik bianglala, rasanya nikmat sekali. 

Dari atas ketinggian saat kita naik bianglala, kita bisa melihat keindahan kota Batu di malam hari. Sederhana memang, namun jika ditemani orang tersayang semua terasa istimewa.

"Gak mau bulan madu, Sayang?" Tanyanya memecahkan lamunanku.

"Bulan madu, Mas?" aku menunduk malu, pasti wajahku bersemu merah. Aku senyum-senyum penuh malu, membayangkan apa yang akan kami lakukan pada saat bulan madu.

"Eh, gak usah, Mas. Tiap hari kita kan juga bulan madu," ucapku terbata malu-malu padahal aku mau pake banget.

"Tapi kan, beda Sayang. Masa bulan madu cuma di rumah aja, ada yang gangguin lagi," Mas Adit meraih bahuku.

"Aku ngikut aja deh," jawabku malu-malu tapi mau.

"Siap tuan puteri," mas Adit meraih tanganku lalu menciumnya. 

Aku pun terhanyut suasana. Mas Adit memang selalu bisa membuat suasana romantis. Maklumlah, kami sepasang pengantin baru, ibarat cilok, masih panas-panasnya. 

Ah, aku jadi ingin makan cilok yang masih mengepul panas.

"Kalian ini, gak bisa kah bermesraan di kamar saja?" lagi-lagi Mak Ida berulah.

"Suka-suka Reina dong, Mak. Inikan rumah Reina." sungutku.

"Susah amat sih bermesraan di sini?" Mas Adit menggerutu. 

"Mak, mau perlu apa lagi siang-siang ke sini. Minyak gorengnya sudah habis. Atau mau minta lauk sekalian?" tanyaku seramah mungkin namun hati ini dongkol bukan main.

"Mak bosen di rumah, Na, gak ada teman di rumah."

Aku menghela nafas. Mak Ida memang janda, Pakdhe Rifai, suaminya, sudah meninggal dunia karena sakit stroke yang dideritanya. Kini ia hidup dengan anak dan menantunya di rumah. Kadang aku kasihan melihat Mak Ida yang kesepian. Tapi sering jengkel dengan ulahnya yang semena-mena terhadapku.

"Emang Mbak Arum kemana, Mak?" tanyaku.

"Lagi pergi ke rumah mertuanya, nginap tiga hari katanya."

"Waduh, bakal ada yang gangguin terus dong," ucap Mas Adit lirih namun masih terdengar ditelingaku.

"Hush," aku mencubit pelan perutnya, menyuruhnya diam. Sementara Mas Adit hanya nyengir kesakitan.

"Na, Mak boleh nginap disini gak?"

Duaar.

 Ucapan mak Ida bak petir di siang bolong, mengagetkan dan menakutkan. 

"Loh, Mak, kok pake acara nginap segala?"

"Cuma sampe Arum pulang, Na. Mak takut tidur sendiri," ucapnya memelas.

Gawat ini, bisa-bisa Mas Adit ngambek.

Ku lihat Mas Adit menghela nafas kasar. Ia berlalu ke kamar tidur.  Ku tahu dia pasti jengkel. Mak Ida, sih.

Huft. Kalau sudah begini mau gak mau aku harus mau. Sisi baikku meronta. Karena sebenarnya aku orang baik, hanya saja Mak Ida sering menyakitiku, membuat setan jahat di hatiku muncul. Ha...ha...ha.... Aku tertawa jahat.

Mak Ida satu-satunya saudara Ibu kandungku. Setelah Ibu menghadap sang ilahi setelah dua tahun berjuang melawan kanker payudara, Mak Ida sedikit banyak menggantikan peran Ibuku. 

Aku kadang bersyukur mempunyai budhe seperti dia. Beliau perhatian sekali denganku. Tapi lebih sering jengkel dengan sikapnya yang selalu membuat kepalaku pusing.

"Reina tanya Mas Adit dulu, ya, Mak?" jawabku sambil berlalu ke kamar, meninggalkan Mak Ida sendirian.

"Mas, bagaimana?" tanyaku takut-takut. 

"Terserah kamu aja," ucapnya tanpa melihatku. Matanya tetap fokus pada gawai.

Ku hela nafas pelan. Ku tahu dia kecewa. Aku pun sama. Sebagai pengantin baru, tentu kami ingin selalu berduaan. Sebenarnya bisa saja kami berdua menghabiskan bulan madu ke suatu tempat, tapi kata keluarga kami harus menunggu acara sepasar dulu.

Acara ini dilaksanakan lima hari setelah berakhirnya pesta perkawinan menurut orang Jawa. Ada pun tujuan dari penyelenggaraan sepasaran pengantin adalah syukuran karena acara pernikahan berjalan dengan lancar.

Jadi, sebelum sepasar, pengantin baru tidak boleh jalan-jalan atau keluar terlalu jauh dulu. Pamali katanya. Orang dulu percaya, akan terjadi hal buruk jika kita sengaja melanggarnya.

Entahlah tradisi itu dimulai kapan. Aku hanya menghormati para orang tua saja. Dalam hati kecilku, kurang begitu percaya mitos seperti itu. 

Ah, aku sampai lupa kalau Mas Adit merajuk.

"Mas," kuusap pelan bahunya.

"Sayang, bukannya Mas melarang Mak Ida menginap di sini, tapi kita kan juga punya privasi."

"Aku juga paham, Mas. Tapi aku juga kasihan sama Mak Ida," ucapku memelas.

"Kita boleh kasihan sama orang lain, tapi jangan sampai rasa kasihan itu menjadi beban buat kita."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status