"Eh, Mak Ida," ucapku salah tingkah.
Ku lepas paksa pelukan mas Adit. Namun, Mas Adit sengaja mempererat pelukannya. Malu sekali rasanya dipergoki bermesraan dengan suami. Padahal, kalau dipikir, kan gak dosa juga bermesraan dengan pasangan yang halal. Hi...hi.... Aku senyum-senyum sendiri.
"Reina, kamu malah senyum-senyum. Kalian ini pagi-pagi udah bermesraan aja. Kamu juga Adit, gak punya baju ya, masa ada orang tua cuma pake handuk?" Mak Ida ceramah pagi.
"Iri, nih ye?" Kutekankan kata IRI kepadanya.
"Halah, ngapain juga Mak harus iri sama kalian. Mak udah pernah dulu. Kamu juga, Reina, kalau dinasihatin orang tua, selalu saja ada jawabnya," ucap mak Ida sewot.
"Mak Ida juga ngapain ke rumah orang pagi-pagi, gak pakai salam, lagi?. Ganggu pengantin baru aja," Mas Adit menanggapi santai, melepas pelukannya lalu menuju kamar.
Aku malas menanggapi Mak Ida. Semakin dijawab, semakin panjang urusannya nanti. Jadi ku pilih diam saja, dari pada ada pasar ribut pagi-pagi. Eh, tunggu, pasti kalau Mak Ida kesini ada maunya, tidak mungkin tidak.
"Na, Mak pinjam minyak goreng dulu dong, satu liter aja, Mak mau masak tapi minyak habis," Mak Ida memelas.
Tuh kan, benar juga feelingku. Apa jangan-jangan aku punya indra ke enam ya?. Ah bodo amat. Amat aja enggak bodo.
"Lha tadi kan, Mak ke warung Ratih, kenapa gak sekalian beli minyak?"
"Tadi itu lupa, gara-gara kamu sih nyebelin tadi."
"Kok aku yang disalahin. Harusnya aku yang marah, karena Mak sesuka hati fitnah Reina," emosiku mulai tersulut.
"Fitnah apanya, wong kenyataannya kamu hamil," Mak Ida gak mau ngalah.
"Emang orang ngeyel itu gak ada obatnya," ucapku melirik Mak Ida.
"Udahlah, Na, akui saja kalau kalian memang sudah nyicil duluan. Buktinya kalian kan sering berduaan dirumah ini dulu."
Aku menghela nafas, takutnya emosi meledak dan Mak Ida jadi mangsaku.
"Mak, ada buktinya kalau Reina sama Mas Adit berduaan?"
"Dulu kan Adit sering nganter kamu pulang. Gak mungkin kan kalian gak macam-macam di rumah, apalagi cuma berdua," Mak Ida berkilah.
"Terserah lah, Mak. Tetangga selalu benar kok."
Mak Ida mencebik kesal. Tanpa rasa bersalah, dia melenggang ke dapur.
"Tinggal kasih pinjam minyak seliter aja, banyak omong kamu, Na. Pelit amat jadi orang."
"Astaghfirullah," ucapku dalam hati.
Ini orang otaknya geser di mana ya, sudah minjam, pake ngatain orang pelit segala. Kalau saja bukan budhe sendiri, sudah ku makan hidup-hidup.
"Ini Mak, bawa aja semuanya kalau gak punya malu," sindirku seraya menyodorkan minyak goreng kepadanya.
"Terimakasih, Na," Mak Ida melenggang pergi tanpa menoleh padaku. Tak lupa ia juga mencomot satu buah apel yang ada di atas meja.
"Loh, Mak, kok dibawa semua, Reina masaknya bagaimana?"
Tanpa kuduga, Mak Ida ternyata membawa semua minyak isi lima liter yang baru ku pakai sekali, menggoreng telur tadi pagi. Ya Allah, apa salah dan dosaku sehingga mempunyai budhe seperti ini.
"Suamimu kan banyak uangnya, beli lagi lah," ucapnya seolah tak berdosa
"Sabar Reina, orang sabar di sayang suami," batinku bermonolog.
****
"Mas, mumpung kita masih ada cuti, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?"
Kini kami berdua sedang bersantai sambil menonton televisi setelah acara beberes rumah selesai. Aku meminta cuti seminggu di tempatku mengajar. Mas Adit pun sama.
"Mau jalan kemana, Sayangku?"
"Ke alun-alun Batu aja, Mas. Habis itu langsung ke rumah Mama."
"Bukannya kita udah sering, ya, ke alun-alun?. Gak ada tempat lain gitu?"
"Em, kemana ya enaknya, Mas? Aku berpikir keras.
Memang, selama kami pacaran, alun-alun kota Batu menjadi tempat andalan kita nge-date. Entah kenapa aku tidak ada bosan-bosannya kesana. Aku kangen suasana di sana, beli cilok lalu naik bianglala, rasanya nikmat sekali.
Dari atas ketinggian saat kita naik bianglala, kita bisa melihat keindahan kota Batu di malam hari. Sederhana memang, namun jika ditemani orang tersayang semua terasa istimewa.
"Gak mau bulan madu, Sayang?" Tanyanya memecahkan lamunanku.
"Bulan madu, Mas?" aku menunduk malu, pasti wajahku bersemu merah. Aku senyum-senyum penuh malu, membayangkan apa yang akan kami lakukan pada saat bulan madu.
"Eh, gak usah, Mas. Tiap hari kita kan juga bulan madu," ucapku terbata malu-malu padahal aku mau pake banget.
"Tapi kan, beda Sayang. Masa bulan madu cuma di rumah aja, ada yang gangguin lagi," Mas Adit meraih bahuku.
"Aku ngikut aja deh," jawabku malu-malu tapi mau.
"Siap tuan puteri," mas Adit meraih tanganku lalu menciumnya.
Aku pun terhanyut suasana. Mas Adit memang selalu bisa membuat suasana romantis. Maklumlah, kami sepasang pengantin baru, ibarat cilok, masih panas-panasnya.
Ah, aku jadi ingin makan cilok yang masih mengepul panas.
"Kalian ini, gak bisa kah bermesraan di kamar saja?" lagi-lagi Mak Ida berulah.
"Suka-suka Reina dong, Mak. Inikan rumah Reina." sungutku.
"Susah amat sih bermesraan di sini?" Mas Adit menggerutu.
"Mak, mau perlu apa lagi siang-siang ke sini. Minyak gorengnya sudah habis. Atau mau minta lauk sekalian?" tanyaku seramah mungkin namun hati ini dongkol bukan main.
"Mak bosen di rumah, Na, gak ada teman di rumah."
Aku menghela nafas. Mak Ida memang janda, Pakdhe Rifai, suaminya, sudah meninggal dunia karena sakit stroke yang dideritanya. Kini ia hidup dengan anak dan menantunya di rumah. Kadang aku kasihan melihat Mak Ida yang kesepian. Tapi sering jengkel dengan ulahnya yang semena-mena terhadapku.
"Emang Mbak Arum kemana, Mak?" tanyaku.
"Lagi pergi ke rumah mertuanya, nginap tiga hari katanya."
"Waduh, bakal ada yang gangguin terus dong," ucap Mas Adit lirih namun masih terdengar ditelingaku.
"Hush," aku mencubit pelan perutnya, menyuruhnya diam. Sementara Mas Adit hanya nyengir kesakitan.
"Na, Mak boleh nginap disini gak?"
Duaar.
Ucapan mak Ida bak petir di siang bolong, mengagetkan dan menakutkan.
"Loh, Mak, kok pake acara nginap segala?"
"Cuma sampe Arum pulang, Na. Mak takut tidur sendiri," ucapnya memelas.
Gawat ini, bisa-bisa Mas Adit ngambek.
Ku lihat Mas Adit menghela nafas kasar. Ia berlalu ke kamar tidur. Ku tahu dia pasti jengkel. Mak Ida, sih.
Huft. Kalau sudah begini mau gak mau aku harus mau. Sisi baikku meronta. Karena sebenarnya aku orang baik, hanya saja Mak Ida sering menyakitiku, membuat setan jahat di hatiku muncul. Ha...ha...ha.... Aku tertawa jahat.
Mak Ida satu-satunya saudara Ibu kandungku. Setelah Ibu menghadap sang ilahi setelah dua tahun berjuang melawan kanker payudara, Mak Ida sedikit banyak menggantikan peran Ibuku.
Aku kadang bersyukur mempunyai budhe seperti dia. Beliau perhatian sekali denganku. Tapi lebih sering jengkel dengan sikapnya yang selalu membuat kepalaku pusing.
"Reina tanya Mas Adit dulu, ya, Mak?" jawabku sambil berlalu ke kamar, meninggalkan Mak Ida sendirian.
"Mas, bagaimana?" tanyaku takut-takut.
"Terserah kamu aja," ucapnya tanpa melihatku. Matanya tetap fokus pada gawai.
Ku hela nafas pelan. Ku tahu dia kecewa. Aku pun sama. Sebagai pengantin baru, tentu kami ingin selalu berduaan. Sebenarnya bisa saja kami berdua menghabiskan bulan madu ke suatu tempat, tapi kata keluarga kami harus menunggu acara sepasar dulu.
Acara ini dilaksanakan lima hari setelah berakhirnya pesta perkawinan menurut orang Jawa. Ada pun tujuan dari penyelenggaraan sepasaran pengantin adalah syukuran karena acara pernikahan berjalan dengan lancar.
Jadi, sebelum sepasar, pengantin baru tidak boleh jalan-jalan atau keluar terlalu jauh dulu. Pamali katanya. Orang dulu percaya, akan terjadi hal buruk jika kita sengaja melanggarnya.
Entahlah tradisi itu dimulai kapan. Aku hanya menghormati para orang tua saja. Dalam hati kecilku, kurang begitu percaya mitos seperti itu.
Ah, aku sampai lupa kalau Mas Adit merajuk.
"Mas," kuusap pelan bahunya.
"Sayang, bukannya Mas melarang Mak Ida menginap di sini, tapi kita kan juga punya privasi."
"Aku juga paham, Mas. Tapi aku juga kasihan sama Mak Ida," ucapku memelas.
"Kita boleh kasihan sama orang lain, tapi jangan sampai rasa kasihan itu menjadi beban buat kita."
Aku terdiam. Jawabannya sudah jelas, Mas Adit keberatan Mak Ida menginap disini. Ku tahu, momennya sangat tidak pas. Mas Adit ingin berdua saja. Aku pun tak berani membantahnya.Aku melangkah keluar kamar, tapi Mak Ida sudah tidak ada di tempat semula. Kemana perginya ini orang, cepat sekali. Mana pula tidak pamit lagi. Syukurlah kalau dia sudah pulang.Ah, baiknya aku tidur siang saja. Aku melangkah menuju kamar. Hatiku sudah lega, karena akhirnya mak Ida pulang."Reina, Mak udah bawa baju nih. Mak tidur di kamar kamu, ya?""Tunggu, tunggu. Gak bisa gitu, Mak. Di kamar Reina gak muat kalau bertiga. Kasurku sangat kecil, lagian di sana juga ada hantunya," aku mencoba mencari ide.Biarlah berbohong, kata guru ngaji dulu, kita boleh berbohong, asal tujuannya buat kebaikan. Kali ini aku praktekan berbohong demi kebaikan, tentunya kebaikan diri sendiri dan Mas Adit.&nbs
"Kok bisa?""Ya bisa lah, Mas. Mas Adit sih mengerem mendadak gitu, pasti sudah benjol kepalaku," sungutku kesal."Bukan itu maksudku, kenapa bisa sembuh secepat ini. Bukannya tadi kamu masih lemes?""Aktingku bagus, kan, Mas?""Akting?" Mas Adit menganga gak percaya."Kamu mangap gitu aja masih ganteng, Mas," kekagumanku tak dapat kusembunyikan."Gak lucu," sungutnya kesal."Auw, sakit tahu, Mas. Kenapa sih suka sekali nyubit pipiku," aku manyun."Akting, kamu bilang. Dari tadi aku khawatir tapi ternyata kamu malah akting.""Hehe," aku nyengir kuda."Dasar ratu akting," mas Adit mencebik kesal."Jangan marah, dong, Mas. Aku akting kan demi Mas juga. Kalau aku gak akting sakit, pasti Mak Ida bakalan bermalam di rumah."Mas Adit nampakn
"Mas, jangan masuk dulu," aku bicara takut-takut."Kenapa?" Mas Adit heran."Aku lupa gak bawa buah tangan, Mas.""Santai saja," ucapnya setenang mungkin. Ya iya lah dia tenang, ini kan rumahnya sendiri. Dasar mas Adit.Kami memasuki halaman yang sangat luas. Mas Adit mematikan mesin Mobil, lalu dengan cepat membukakan pintu untukku. Dinginnya kota Batu di malam hari membuatku semakin mulas. Hatiku semakin tak karuan. Bagaimana kalau Mama mertua tak menyukaiku?. Kug erat tangan Mas Adit untuk menghilangkan rasa gugupku. Seolah merasakan apa yang ku rasa, Mas Adit menggenggam erat tanganku."Assalamualaikum, Ma. Aku bawa oleh-oleh buat Mama sama Papa," Mas Adit langsung mengajakku ke ruang tamu, karena pintu rumah dalam keadaan terbuka.Ternyata rumah mas Adit sangat mewah dan megah. Jika dibanding dengan rumahku, tak ada apa-apanya. Mak Ida pasti pingsan kala
Ku cubit perut Mas Adit. Biar tahu rasanya malu sampai ke ubun-ubun itu bagaimana. "Bagus itu," mata Mama berbinar. "Bisa gak kita bahas yang lain aja?" tanyaku kikuk."malu tahu, Mas." "Kalian jangan bingung, nanti biar Mama yang urus semuanyaa. Kalian terima beres saja!" Mama bersemangat. "Kok Mama semangat sekali, ya. Yang bulan madu kan Adit, kenapa Mama yang sibuk." "Diam kamu Adit, kamu mau diakui sebagai anak Mama atau bukan?. Harus nurut sama Mama kali ini," Mama kelihatan serius. "Ya deh, Mamaku Sayang," Mas Adit memeluk mamanya. Harmonis sekali keluarga ini. Aku begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Kehangatan begitu terpancar dari keluarga mas Adit. Meskipun Mama dan Mas Adit seringkali berbeda pendapat, namun mereka tetap selalu menyayangi. ****** "Adit, Mama sudah
Bab 7"Pakai apa ya, Mbok, enaknya nanti?" aku bingung mau pakai apa nanti, karena ku lihat di kamar Mas Adit tidak terlihat koper."Bawa bajunya, Mbak?""Iya, Mbok. Reina panggil Mas Adit apa Mama ya, enaknya?" aku berpikir."Panggil Mas Adit, saja, Mbak?" Mbok Yah memberi usul. "biar saya panggilkan, Mbak.""Terima kasih ya, Mbok.""Mbak Reina ini, sedikit-sedikit bilang terima kasih, Mbak Reina memang baik hati.""Mbok ini, bisa saja."Ku keluarkan baju Mas Adit dari lemari. Ku pilih baju yang sekiranya dipakai nanti selama liburan. Ternyata Mas Adit rapi juga.Bajunya tidak ada yang berantakan di lemari."Sayang, ada apa?" Mas Adit sudah masuk kamar di susul Mbok Yah di belakangnya."Kita bawa baju pakai koper atau tas, Mas?""Kalau barang
"Ayolah, Mas. Masa tega biarin aku pulang sendiri?" aku mulai jengkel."Lihat nanti saja, ya?""Terserah!""Cie, merajuk beneran nih?" Mas Adit malah menggodaku." Gak lucu.""Kamu yang lucu," tersenyum menggoda."Tau ah," ku palingkan wajahku keluar jendela. Kini kami melati alun-alun Batu yang masih sepi.Mas Adit mengarahkan mobilnya menuju Jalan Gajah Mada. Lalu Mas Adit mengambil jalur menuju wisata Selecta."Makin lucu kalau merajuk begitu," candanya membuatku semakin jengkel.Aku terdiam, malas sekali menanggapinya."Bercanda, Sayang. Mas mana tega biarin kamu pulang sendirian, naik bus pula.""Bercandanya gak lucu.""He...he..., maaf deh. Ok?" Mas Adit menggenggam tangan kananku sebagai permohonan maaf.
Mas Adit langsung menghentikan aktifitas makannya. Tatapan tak suka ia tujukan pada seniorku. Sementara aku, masih mencoba mengorek memori, berharap menemukan serpihan nama di masa lalu. Aku benar-benar lupa.Kepalaku mendadak pusing. Namun, wajahnya tak asing. Aku ingat semuanya, sekelebat bayangan masa lalu mendesak hadir kembali. Namun, aku tak berhasil menemukan namanya."Kita sudah selesai, ayo pulang!" Mas Adit menggandeng tanganku paksa."Mas?" aku meminta jawaban. Dengan terseok, aku berdiri.Kenapa tiba-tiba sikap Mas Adit berubah. Apa aku melakukan kesalahan?."Pak, ini uangnya," Mas Adit mengeluarkan selembar rupiah bewarna merah dari dompetnya. Dengan langkah lebar, aku berusaha mengimbangi langkahnya.Aku merasa tak enak dengan kakak seniorku. Dia hanya bengong melihat kami pergi begitu saja."Maaf Mas
"Kamu sudah membuatku marah tadi. Kamu harus menebus kesalahanmu, Yang," ucap Mas Adit serius."Please deh, Pak Dosen.... Aku ini bukan mahasiswimu, aku istrimu. Mentang-mentang dosen hukum, seenaknya sendiri menghukum orang lain. Awas kena karma!" ucapku kesal."Justru karena kamu istriku, Yang. Makanya aku menghukummu.""Sadis kamu, Mas." Mas Adit tersenyum."Sadis mana, aku dengan si Ronald tadi?""Sadis kamu.""Masih saja membela Ronald, awas ya," mas Adit mencubit pipiku gemas."Siapa juga yang membelanya.""Itu tadi buktinya. Ronald yang sudah menghianatimu saja masih di bela.""Aku tidak membelanya, Mas. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.""Ternyata Ronald masih mencintaimu, Yang. Buktinya dia sampe nyamperin tadi.""Sudah deh, jangan mulai