DrtttGawaiku bergetar, tak hanya sekali, namun sudah berkali-kali. Mataku masih sangat lengket, sekedar untuk dibuka, namun karena getarannya sudah sangat mengganggu, terpaksa aku bangun.Ternyata aku tadi malam memasang alarm. Jam di gawaiku, sudah menunjukan pukul empat pagi. Bahkan, adzan juga belum berkumandang. Segera aku bangun, menyiapkan sarapan, karena Mas Adit dan rombongannya, akan pulang pagi ini juga.Tepat setelah aku selesai mandi, adzan shubuh berkumandang. Kutunaikan terlebih dahulu, kewajibanku.Setelah memasak nasi, aku bergegas ke warung Ratna. Di sana lengkap, menjual sembako, sekaligus aneka sayuran. Rencananya, aku mau masak bening bayam dan ayam goreng."Eh, kapan datang, Mbak Reina?" tanya Mak Romlah. "Tadi malam, Mak. Tumben belanja pagi-pagi?" tanyaku heran, karena biasanya dia belanjanya siang, bareng geng rempongnya Mak Ida."Oh, ini mau ngirim orang kerja di sawah, jadi harus masak pagi.""Oh ...," jawabku sambil menyomot seikat bayam."Mbak Reina, oleh
Dengan langkah tergesa, kulangkahkan kaki menuju rumah Mak Ida. Rumah yang hanya berjarak beberapa langkah saja. "Mak, kembalikan makananku!" Gertakku, langsung masuk ke dapurnya lewat pintu samping.Mak Ida yang sedang menata piring, kaget bukan kepalang, melihat kedatanganku. Bahkan, piring yang dipegangnya hampir merosot jatuh."Mana makanan yang Mak ambil tadi? Demi Allah, aku gak ikhlas.""Kamu ini, main nyelonong aja. Gak punya sopan santun. Makanan apa yang kamu tuduhkan?" sengitnya."Jangan pura-pura deh, Mak. Semua makanan di mejaku, tiba-tiba menghilang. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan anda?" tuduhku dengan geram.Rencananya, sayur dan lauk akan kubuat sampai makan siang. Dengan sesuka hatinya, Mak Ida membawa semuanya."Bisa jadi kucing yang makan," belanya tak mau kalah. "Kucing berkepala manusia?" ejekku. Mak Ida mencebik tak suka. "Menghina kamu!" Tunjuknya tepat di mukaku."Jadi betul kan? Gak mungkin juga, kucing bisa menghabiskan ayam dan sayur bersamaan. Lagian,
"Lihat tuh si Reina udah gede aja perutnya, padahal kan baru aja nikah. Jangan-jangan dia udah nyicil duluan," seru Mak Ida."Nyicil bagaimana maksudnya, Mak?" tanya Ratna heran."Maksudnya hamil duluan lah, wong anak jaman sekarang mana tahan, ha...ha...,"suara tawa Mak Ida terdengar membahana."Apalagi suaminya Reina katanya punya hotel dan beberapa villa, di kota Batu. Pasti sering tuh berduaan di sana waktu dia masih kuliah di Malang," Mbak Risma ikut menambahi."Apalagi di rumah Reina kan udah gak ada orang tuanya, pasti mereka bebas berduaan dulu, ya gak?" Ratna menimpali."Kasihan ya, orang tuanya di alam kubur sana, pasti sedih lihat kelakuan anaknya," sahut Mak Ida."Iya," Ratna menyumbang suara.Begitulah suasana warung Ratna setiap hari. Ada saja gosip hangat yang dibicarakan. Dari si A sampai si Z, tak luput dari merek
"Eh, Mak Ida," ucapku salah tingkah.Ku lepas paksa pelukan mas Adit. Namun, Mas Adit sengaja mempererat pelukannya. Malu sekali rasanya dipergoki bermesraan dengan suami. Padahal, kalau dipikir, kan gak dosa juga bermesraan dengan pasangan yang halal. Hi...hi.... Aku senyum-senyum sendiri."Reina, kamu malah senyum-senyum. Kalian ini pagi-pagi udah bermesraan aja. Kamu juga Adit, gak punya baju ya, masa ada orang tua cuma pake handuk?" Mak Ida ceramah pagi."Iri, nih ye?" Kutekankan kata IRI kepadanya."Halah, ngapain juga Mak harus iri sama kalian. Mak udah pernah dulu. Kamu juga, Reina, kalau dinasihatin orang tua, selalu saja ada jawabnya," ucap mak Ida sewot."Mak Ida juga ngapain ke rumah orang pagi-pagi, gak pakai salam, lagi?. Ganggu pengantin baru aja," Mas Adit menanggapi santai, melepas pelukannya lalu menuju kamar.Aku malas menanggapi
Aku terdiam. Jawabannya sudah jelas, Mas Adit keberatan Mak Ida menginap disini. Ku tahu, momennya sangat tidak pas. Mas Adit ingin berdua saja. Aku pun tak berani membantahnya.Aku melangkah keluar kamar, tapi Mak Ida sudah tidak ada di tempat semula. Kemana perginya ini orang, cepat sekali. Mana pula tidak pamit lagi. Syukurlah kalau dia sudah pulang.Ah, baiknya aku tidur siang saja. Aku melangkah menuju kamar. Hatiku sudah lega, karena akhirnya mak Ida pulang."Reina, Mak udah bawa baju nih. Mak tidur di kamar kamu, ya?""Tunggu, tunggu. Gak bisa gitu, Mak. Di kamar Reina gak muat kalau bertiga. Kasurku sangat kecil, lagian di sana juga ada hantunya," aku mencoba mencari ide.Biarlah berbohong, kata guru ngaji dulu, kita boleh berbohong, asal tujuannya buat kebaikan. Kali ini aku praktekan berbohong demi kebaikan, tentunya kebaikan diri sendiri dan Mas Adit.&nbs
"Kok bisa?""Ya bisa lah, Mas. Mas Adit sih mengerem mendadak gitu, pasti sudah benjol kepalaku," sungutku kesal."Bukan itu maksudku, kenapa bisa sembuh secepat ini. Bukannya tadi kamu masih lemes?""Aktingku bagus, kan, Mas?""Akting?" Mas Adit menganga gak percaya."Kamu mangap gitu aja masih ganteng, Mas," kekagumanku tak dapat kusembunyikan."Gak lucu," sungutnya kesal."Auw, sakit tahu, Mas. Kenapa sih suka sekali nyubit pipiku," aku manyun."Akting, kamu bilang. Dari tadi aku khawatir tapi ternyata kamu malah akting.""Hehe," aku nyengir kuda."Dasar ratu akting," mas Adit mencebik kesal."Jangan marah, dong, Mas. Aku akting kan demi Mas juga. Kalau aku gak akting sakit, pasti Mak Ida bakalan bermalam di rumah."Mas Adit nampakn
"Mas, jangan masuk dulu," aku bicara takut-takut."Kenapa?" Mas Adit heran."Aku lupa gak bawa buah tangan, Mas.""Santai saja," ucapnya setenang mungkin. Ya iya lah dia tenang, ini kan rumahnya sendiri. Dasar mas Adit.Kami memasuki halaman yang sangat luas. Mas Adit mematikan mesin Mobil, lalu dengan cepat membukakan pintu untukku. Dinginnya kota Batu di malam hari membuatku semakin mulas. Hatiku semakin tak karuan. Bagaimana kalau Mama mertua tak menyukaiku?. Kug erat tangan Mas Adit untuk menghilangkan rasa gugupku. Seolah merasakan apa yang ku rasa, Mas Adit menggenggam erat tanganku."Assalamualaikum, Ma. Aku bawa oleh-oleh buat Mama sama Papa," Mas Adit langsung mengajakku ke ruang tamu, karena pintu rumah dalam keadaan terbuka.Ternyata rumah mas Adit sangat mewah dan megah. Jika dibanding dengan rumahku, tak ada apa-apanya. Mak Ida pasti pingsan kala
Ku cubit perut Mas Adit. Biar tahu rasanya malu sampai ke ubun-ubun itu bagaimana. "Bagus itu," mata Mama berbinar. "Bisa gak kita bahas yang lain aja?" tanyaku kikuk."malu tahu, Mas." "Kalian jangan bingung, nanti biar Mama yang urus semuanyaa. Kalian terima beres saja!" Mama bersemangat. "Kok Mama semangat sekali, ya. Yang bulan madu kan Adit, kenapa Mama yang sibuk." "Diam kamu Adit, kamu mau diakui sebagai anak Mama atau bukan?. Harus nurut sama Mama kali ini," Mama kelihatan serius. "Ya deh, Mamaku Sayang," Mas Adit memeluk mamanya. Harmonis sekali keluarga ini. Aku begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Kehangatan begitu terpancar dari keluarga mas Adit. Meskipun Mama dan Mas Adit seringkali berbeda pendapat, namun mereka tetap selalu menyayangi. ****** "Adit, Mama sudah