Share

SELALU SALAH
SELALU SALAH
Penulis: Nyla Amatullah

Bab 1

"Lihat tuh si Reina udah gede aja perutnya, padahal kan baru aja nikah. Jangan-jangan dia udah nyicil duluan," seru Mak Ida.

"Nyicil bagaimana maksudnya, Mak?" tanya Ratna heran.

"Maksudnya hamil duluan lah, wong anak jaman sekarang mana tahan, ha...ha...,"

suara tawa Mak Ida terdengar membahana.

"Apalagi suaminya Reina katanya punya hotel dan beberapa villa, di kota Batu. Pasti sering tuh berduaan di sana waktu dia masih kuliah di Malang," Mbak Risma ikut menambahi.

"Apalagi di rumah Reina kan udah gak ada orang tuanya, pasti mereka bebas berduaan dulu, ya gak?" Ratna menimpali.

"Kasihan ya, orang tuanya di alam kubur sana, pasti sedih lihat kelakuan anaknya," sahut Mak Ida.

"Iya," Ratna menyumbang suara.

Begitulah suasana warung Ratna setiap hari. Ada saja gosip hangat yang dibicarakan. Dari si A sampai si Z, tak luput dari mereka. Dan pembawa gosip paling handal tetap dipegang oleh Mak Ida. Mereka akan betah sekali nongkrong di warung Ratna dari pagi sampai tengah hari. Heran aku dibuatnya. Apa dalam hidup mereka hanya memikirkan hidup orang lain?.

Aku memang baru dua hari menikah dengan seorang Adityawan Ardhana, dosen muda di Universitas Brawijaya Malang. Tidak hanya itu, dia dan keluarganya juga mengelola sebuah hotel dan beberapa villa di kota Batu. Tapi, bukan berarti aku dengan gampangnya tidur dengan yang bukan mahrom seperti yang emak-emak katakan, apalagi sampai hamil diluar nikah. Astaghfirullah.

Astaghfirullah. Aku hanya beristighfar dalam hati. Aku memperlambat langkah kaki begitu mendengar emak-emak menggosip diriku. Mau pulang tanggung, warung Ratna sudah di depan mata.

Jujur, hati ini begitu sakit mendengar diri ini difitnah. Aku yang selama ini berusaha menjaga kehormatanku, justru Mak Ida yang menjatuhkanku. Tapi kalau semakin ditanggapi, akan semakin menjadi nanti.

Aku yang niatnya mau belanja ke warung jadi malas. Aku merutuki kesalahanku karena belanja kesiangan, ini jamnya emak-emak komplek ghibah mania di warung Ratna. Untung saja emak-emak yang lain belum datang. Akupun mempercepat langkah menuju warung.

"Ehem," rupanya dehemanku mengejutkan mereka.

"Eh, ada Mbak Reina, mau belanja apa, Mbak?" tanya Ratna salah tingkah. 

"Mau beli pembalut," jawabku sekenanya. Puas hatiku membuat mak Ida dan gengnya bengong.

"Lho bukannya kamu hamil, Na?"

"Kata siapa, Mak?" ku jawab sesantai mungkin, padahal hati ini bergemuruh. 

"Tadi, aku dengar kamu muntah-muntah," mak Ida heran.

"Muntah-muntah kan belum tentu hamil,  Mak," jawabku.

"Jelas hamil lah, si Lina saja kemarin muntah-muntah kaya kamu gitu tiap pagi. Waktu dibawa ke dokter, katanya lagi hamil dua bulan. Langsung pingsan emaknya," mbak Risma menimpali.

"Si Lina anaknya Romlah?" tanya Mak Ida.

"Iya, Mak, siapa lagi. Kelihatannya saja itu anak alim, ternyata gampangan juga," Mbak Risma berucap sambil melirikku.

"Ih, amit-amit ya, anak jaman sekarang," sahut Ratna.

"Coba deh kamu periksa, Na. Pasti kamu hamil," Mak Ida menasihatiku.

Bukannya nasihat yang kudengar, tapi terasa sebuah sindiran. Padahal mbak mereka semua ini punya anak perempuan juga, kenapa gak dijaga ucapannya. Bagaimana coba kalau sampai anaknya hamil diluar nikah, bisa malu sekali pasti.

"Makanya, Na, kalau belum sah jangan mau di gituin duluan. Kalau sudah hamil, apa enggak malu?"

"Digituin gimana maksudnya, Mak?" aku pura-pura gak paham.

"Halah, pura-pura gak tahu, padahal sudah jago," Mak Ida kesal.

"Emang Reina gak tahu lho, Mak. Kan belum pengalaman kaya mbak Arum," aku mengedipkan mata sebelah yang membuat Mak Ida makin jengkel. Kulihat Mak Ida bibirnya mengerucut.

Mbak Arum adalah anak Mak Ida. Umurnya hanya selisih setahun denganku. Dulu kami sama-sama kuliah di Universitas Brawijaya, namun di semester lima, mbak Arum putus kuliah karena hamil di luar nikah dan orang tuanya malu. Lalu mereka secepatnya menikahkan mbak Arum. 

"Na, kamu udah berapa bulan?. Udah periksa ke dokter belum?" Mak Ida memberondongku pertanyaan. 

"Kenapa juga Reina harus periksa Mak, kan emang Reina belum hamil."

"Halah, aku sih gak percaya. Dasar anak zaman sekarang," sungut mak Ida sambil melengos pergi.

"Loh, Mak Ida kan belum di hitung belanjaannya," seru Ratna

"Hutang dulu, nanti aku bayar!" seru Mak Ida merasa tak berdosa.

"Tekor aku, Mak," Ratna frustasi.

"Gak ada seratus ribu juga ini belanjaan, gak usah lebay, nanti rejekimu seret," Mak Ida sok menasehati.

"Iya, seret gara-gara Mak ngutang terus." Ratna terlihat jengkel dengan kelakuan Mak Ida. Mak Ida tanpa merasa berdosa melenggang pergi.

"Ratna, belanjaanku mana?" setelah Mak Ida menghilang.

"Oh ya, lupa. Pembalut yang mana, Na?"

"Yang biasanya, Rat."

"Siap," sambil menyerahkan barangnya padaku.

"Ini uangnya, kembaliannya kasih permen aja, Rat."

"Terimakasih, Na," sambil menyerahkan permen padaku.

"Sama-sama," aku pun bergegas pulang.

"Mbak Risma aku duluan," pamitku

"Iya."

★★★★★

"Assalamualaikum, Mas Adit," ku edarkan pandangan namun tanda-tanda mas Adit tak nampak.

Ah biarlah, aku mau rebahan di kamar dulu. Pusing gara-gara Mak Ida yang menuduhku hamil duluan. Mungkin dia sudah hilang ingatan waktu anaknya jadi bahan gunjingan satu komplek setelah diketahui hamil di luar nikah.

"Wa alaikum salam, makmumku," Mas Adit yang hanya mengenakan handuk langsung ikut rebahan di sampingku. Rupanya dia habis mandi. 

"Bangun-bangun, Mas. Tuh kan jadi basah kasurnya. Mas Adit sih habis mandi langsung tiduran. Aku gak suka ya, ada baju atau handuk basah di atas kasur," omelku.

Pantang bagiku ada pakaian nangkring di atas kasur, apalagi handuk basah. Big No.

"Habisnya kamu pagi-pagi tiduran aja sih, Aku kan jadi tergoda."

"Pagi-pagi pikiranmu jangan mesum, ya," sungutku kesal.

"Siapa sih yang mesum, aku kan cuma ikutan rebahan saja, Sayang," matanya mengerling sebelah.

"Tuh, kan matanya menggoda. Berarti bener, kan?"

"Kalau mau dibenerin, Mas siap, kok," Mas Adit mencolek daguku.

"Daasar," ucapku tertahan.

"Ha...ha..., "Mas Adit tertawa keras.

"Eh Mas, tadi masa di warung ada yang gosipin kalau Reina hamil lho," aku mengubah posisi menjadi duduk.

"Siapa Sayang?"

"Mak Ida sama Ratna," aku mencebik kesal.

"Budhe Ida, maksudnya?"

"Iya, Mas, siapa lagi," bibirku mengerucut.

"Emang Mak Ida bilang gimana?"

"Katanya Reina hamil duluan, karena tadi dengar Reina muntah-muntah," tuturku.

Mas Adit malah tertawa ngakak. 

"Kok malah ngakak sih, Mas?" sungutku kesal. Bukannya menghibur istrinya, malah ngetawain.

"Abisnya lucu aja, aku aja belum ambil jatah."

"Jatah apa, Mas?" tanyaku bingung.

"Pura-pura gak paham nih, ya?"

"Tau ah," aku semakin kesal dibuatnya. 

Memang, selama ini kami belum melakukan malam pertama. Malam pertama kami lalui dengan tidur pulas karena acara akad nikah dan resepsi yang sangat menguras tenaga.

Aku pun keluar kamar, sebal sama Mas Adit. Pagi-pagi udah bikin kesal orang. Sudah tahu aku lagi mode singa, malah godain terus.

Aku menuju dapur, mencuci piring bekas sarapan tadi. Tiba-tiba mas Adit memelukku dari belakang. 

"Astaghfirullah, Reina, Adit. Apa yang kalian lakukan?" Mak Ida berteriak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status