Mag-log in“Kamu datang jauh-jauh ke sini sebenarnya untuk apa,” katanya akhirnya, suaranya serak tapi tegas, “dan bilang dirimu mantan Sagara. Perempuan-perempuan seperti itu banyak.”Dian tidak tersinggung. Ia sudah memperkirakan sambutan seperti ini.“Kalau saya perempuan sembarangan,” jawabnya pelan, “saya tidak akan berdiri di sini sekarang.”Ibu Sagara mendengus kecil. “Semua orang bisa bicara.”Dian mendekat dua langkah. “Tapi tidak semua orang tahu bahwa Sagara selalu membenci hujan sore karena ibunya dulu sering memaksanya pulang saat hujan turun. Tidak semua orang tahu dia menyimpan uang di bawah kasur, bukan di lemari. Dan tidak semua orang tahu, dia ingin menikahi saya sebelum Dias hamil.”"Apa kau bilang? Anakku hamili Dias?" tanya Ibu Sagara. "Itu tidak benar.""Tidak benar atau tidak ingin diketahui publik?" desak Dian.Ibu Sagara mulai penasaran. "Kamu itu sebenarnya siapa?" Kursi itu berderit pelan saat Ibu Sagara bergeser. Tatapannya berubah, bukan percaya, tapi tidak lagi mer
Rumah itu lebih kecil dari yang dibayangkan Dian. Dindingnya kusam, pagar besinya berdecit saat didorong. Bau minyak menyambutnya begitu ia melangkah masuk.Seorang perempuan paruh baya muncul dari balik pintu. Rambutnya disanggul asal, matanya tajam, menilai dari ujung kepala sampai kaki.“Ada wanita disini..Kamu siapa?” tanyanya tanpa basa-basi.Dian menegakkan punggung. “Permisi, Bu. Saya Dian.”Tidak ada reaksi.“Saya… mantan kekasih Sagara.”Kalimat itu membuat tangan perempuan itu berhenti di gagang pintu. Ia menatap Dian lebih lama, kali ini bukan sekadar curiga, melainkan menghitung.“Mantannya Sagara?” ulangnya pelan. “Sagara nggak pernah cerita punya mantan.”“Karena dia pergi begitu saja,” jawab Dian tenang. “Tanpa penjelasan.”Ibu Sagara mendengus. “Kok aneh. Selama hidupnya, yang dia sebut cuma Dias. Dari muda sampai mati.”Dian tersenyum, nyaris iba. “Itu karena Dias selalu menangis di depannya. Perempuan seperti itu memang pandai membuat pria merasa bertanggung jawab.”
Dian berdiri di balik pilar koridor sejak beberapa menit lalu. Awalnya ia ragu untuk mendekat, tapi suara-suara yang meninggi membuat kakinya berhenti melangkah. Ia tak berniat menguping, namun kalimat demi kalimat yang terdengar membuat dadanya mengencang.“Aku juga tidak percaya Gita melakukan itu," sahut Dian.Suara Raja Ayah terdengar lelah, tapi tegas.“Ayah,” sahut Dias cepat, nada suaranya meninggi, “Ayah terlalu mudah dibutakan. Sejak kapan Ayah lebih membela selir yang bahkan tidak tahu diri dengan posisinya?”Ibu Dias menimpali tanpa ragu, “Benar, Raja Ayah. Anak saya ini istri sah, tapi diperlakukan seolah tak berarti. Apa Ayah tidak sayang lagi pada keluarga sendiri?”Wajah Raja Ayah memerah. “Jaga ucapan kalian. Gita merawatku saat aku sakit. Itu bukan hal kecil.”David melirik Gita sekilas, lalu kembali menatap Dias. “Tapi tetap saja, Ayah… itu seharusnya tugas Dias. Kenapa Gita melakukannya tanpa izin?”Kalimat itu jatuh seperti palu.Gita menelan ludah. Tangannya dingi
Begitu mobil berhenti di halaman istana, Gita tak langsung turun. Matanya masih merah, dadanya terasa kosong. David menunggu beberapa detik, lalu membuka pintu untuknya.“Kita masuk,” ucapnya pelan.Langkah Gita terasa berat, seolah setiap pijakan mengingatkan pada kata-kata yang baru saja menghantamnya. Belum sempat mereka melewati pintu utama, Dias sudah berdiri di sana, terlihat rapi, tenang, dengan senyum yang terlalu manis untuk situasi seperti ini. Di sampingnya, ibunya ikut menyunggingkan ekspresi puas yang tak berusaha disembunyikan.“Oh, kalian sudah kembali,” Dias bersuara ringan, matanya langsung tertuju pada wajah Gita yang basah air mata. “Gita, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kok pulang-pulang nangis?”Ibunya ikut mendekat. “Jangan-jangan kebohongannya kebongkar, ya?”Gita hanya menunduk. Tangannya mengepal. Ia ingin bicara, ingin membela diri, tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan.Dias menoleh pada David dan Ratu Ibu. “Yang Mulia, Sayang... aku sudah dengar. Git
Langit mulai mendung ketika mereka bertiga melangkah keluar dari istana. Gita yang sejak tadi dadanya terasa sesak. Ia berjalan di antara David dan Ratu Ibu, langkahnya ragu, dan pikirannya tak henti bertanya-tanya apakah keputusan ini benar.“Gita, kau yakin orang itu mau bicara?” tanya David akhirnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.Gita mengangguk, meski sebenarnya hatinya tak setenang itu. “Terakhir kami bertemu... dia ketakutan. Tapi dia bilang lelah terus dipalak, Baginda.”Ratu Ibu menatap lurus ke depan. “Kalau dia masih punya nurani, dia akan jujur.”Di depan gerbang kecil rumah sederhana itu, Gita berhenti. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu. Butuh beberapa detik sebelum pintu terbuka, memperlihatkan wajah seorang perempuan yang langsung pucat begitu melihat siapa saja yang berdiri di hadapannya.“Permisi, Bu,” Gita membuka suara, lega sekaligus cemas. “Kami hanya ingin bicara sebentar.”Perempuan itu menelan ludah. Pandangannya menyapu David dan Ratu Ibu, lalu kembal
Ayah Dian akhirnya benar-benar melangkah keluar dari istana sore itu. Raut wajahnya serius, matanya masih menyimpan kemarahan yang belum tuntas. Sebelum naik ke kereta, ia berhenti dan menatap Ratu Ibu lama.“Saya titipkan anak saya di sini,” katanya tegas tanpa basa-basi. “Kalau terjadi apa pun pada Dian, saya tidak akan bertanya pada siapa-siapa. Saya langsung datang pada Anda, Ratu.”Ratu Ibu mengangguk, kali ini tanpa senyum. “Saya jamin keselamatannya.”Ayah Dian menoleh ke Dian. “Hati-hati, Nak. Jangan percaya siapa pun terlalu cepat.”Dian mengangguk pelan. “Baik ayah. Ayah juga hati-hati di jalan.”Kereta bergerak menjauh, meninggalkan istana yang rasanya semakin pengap. Dian berdiri diam beberapa detik sebelum akhirnya menarik napas panjang. Ia belum sempat melangkah pergi ketika Dias sudah berdiri di hadapannya.“Dian, aku peringatkan kau untuk jaga jarak dari suamiku!” ucap Dias, tanpa basa-basi. “Aku tidak peduli niatmu apa.”Dian menatap Dias lurus. “Aku tidak pernah bern







