LOGINRuangan itu dipenuhi dan bisik-bisik yang terputus. Ratu Ibu terbaring di dipan, wajahnya pucat, matanya setengah terbuka. Meski tubuhnya lemah, amarahnya terasa nyata, seperti bara yang belum padam.“Apa… apa yang kalian ributkan?” suaranya serak, tapi cukup membuat semua orang terdiam.David menoleh cepat. “Ibu, aku mohon istirahat saja. Jangan bicara dulu,” katanya, tapi nada suaranya gagal menyembunyikan kemarahan yang mendidih. "Biar aku dan Ayah yang menyelesaikan semua ini.Ratu Ibu memaksa membuka mata lebih lebar. Pandangannya menyapu ruangan, Dias, Ibu Dias, Gita, Dian, Raja Ayah, dan Sari yang berdiri gemetar di sudut. “Aku belum mati,” ucapnya pelan. “Dan aku dengar, namaku disebut-sebut.”Sari tersentak mendengar ucapan itu. Lututnya nyaris menyerah. Gita segera meraih lengannya, menahannya agar tidak jatuh. “Tenang ya, Ri. Katakan yang sebenarnya,” bisik Gita, suaranya mantap meski dadanya sendiri berdebar.David melangkah maju. “Ibu jatuh setelah meminum minuman yang di
Sari akhirnya bersuara.Dengan tubuh gemetar dan wajah pucat, sebelum perlahan mengangkat kepalanya. Suaranya nyaris pecah ketika ia berkata,“Saya… saya melakukan itu atas perintah Ratu Ibu untuk membuat minuman tapi ada orang lain yg meminta mencampurkan bahan ke minuman itu.”Ruangan mendadak riuh.“Apa?” David melangkah maju satu langkah. “Apa yang kau katakan, Sari?”Raja Ayah langsung berdiri dari kursinya. “Jaga ucapanmu,” suaranya berat. “Ini tuduhan serius.”Gita menoleh cepat ke Sari. “Sari, kamu yakin dengan yang kamu katakan?”Dias justru tertawa. “Haha, hebat sekali,” katanya sambil bertepuk tangan pelan. “Sekarang Ratu Ibu yang diseret?”Ibunya ikut menyambar, suaranya keras dan tajam.“Jangan sembarang bicara, gadis! Kau tahu apa akibatnya memfitnah Ratu Ibu?”Sari menutup wajahnya dengan kedua tangan.“Saya tidak bermaksud memfitnah,” isaknya. “Saya hanya disuruh mengantarkan minuman. Saya tidak tahu isinya apa. Saya hanya menjalankan perintah.”“Perintah siapa?” tanya
"Raja Ayah,” ucap Gita pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Ratu Ibu?”David menoleh cepat, refleks. “Kenapa kau datang ke istana?”“Aku tidak tahu, Baginda,” jawab Gita jujur. “Aku merasa harus ke istana.”Tabib menoleh ke arah Gita, menilai cepat.“Kau mengerti ramuan, Nak?”Gita mengangguk ragu. “Aku pernah belajar dari tabib desa, hanya dasar.”Raja Ayah menatapnya lama, lalu mengangguk.“Tolong bantu tabib. Apa pun yang bisa kau lakukan.”David hendak berkata sesuatu, tapi tertahan.Di benaknya, kata-kata Dian terngiang: minuman dari pelayan pribadi Gita.Gita mendekat ke ranjang, menekan titik tertentu di pergelangan tangan Ratu Ibu, lalu mengusap punggungnya perlahan agar napasnya sedikit lebih teratur.“Apa yang diminum sebelum ini?” tanya Gita pada Dian, suaranya tetap tenang meski wajahnya tegang.“Teh hangat,” jawab Dian cepat. “Aku tidak meminumnya. Ibu meminumnya sampai habis.”Gita terdiam sesaat. Pandangannya turun ke bibir Ratu Ibu yang mulai kebiruan.“Tabib,” uc
Minuman hangat itu mengepul pelan di atas meja kecil ruang duduk Ratu Ibu. Aroma rempah bercampur madu memenuhi udara, seakan menenangkan, setidaknya terlihat begitu.“Terima kasih, Sari,” ucap Ratu Ibu sambil tersenyum. “Kau selalu tahu apa yang kubutuhkan.”Sari menunduk dalam-dalam. Tangannya gemetar, meski ia berusaha menyembunyikannya di balik lipatan rok.“Silakan diminum, Paduka,” katanya lirih.Dian duduk di seberang, menatap cangkirnya sendiri. Ia mengangkatnya sedikit, mencium aromanya, lalu mengernyit halus.“Maaf ya, Sari. Aku tidak meminumnya, aku tidak terlalu haus,” ucap Dian sopan. “Mungkin nanti saja.”Ratu Ibu tertawa. “Haha, Dian.. Dian. Kau terlalu berhati-hati. Minuman seperti ini aman. Lagi pula rasanya enak. Ayolah diminum.”Ratu Ibu menyesap minuman sekali, lalu dua kali, hingga akhirnya menghabiskannya tanpa sisa.Di sudut ruangan, Ibu Dias yang sejak tadi mengamati dari balik tirai, menunjukkan raut wajah emosi dan kecewa. Matanya menyipit saat melihat Dian
Kekhawatiran mulai menyelimuti Dias sejak pagi. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar, jari-jarinya gemetar setiap kali mendengar langkah pelayan di koridor. Setiap suara terasa seperti pertanda buruk. Bayangan wajah Ratu Ibu yang dingin dan penuh selidik terus muncul di benaknya, disusul kalimat ancaman yang belum diucapkan tapi terasa nyata.Ia tahu, lingkaran mulai menyempit.Sementara itu, di sisi lain istana, Dian mendatangi Gita. Tidak dengan wajah menuduh, tidak pula dengan sikap merendahkan. Ia datang sebagai seseorang yang ingin mengerti dan berbicara dari hati ke hati.“Kamu kelihatan capek, Gita,” ucap Dian pelan, setelah mereka duduk berhadapan di ruang kecil dekat taman belakang. “Bukan cuma capek badan. Kamu kelihatan lebih ke lelah hati.”Gita tersenyum. Senyum yang lebih mirip kebiasaan daripada perasaan.“Capek itu biasa di istana,” jawabnya. “Yang tidak biasa adalah harus terus menahan diri.”Dian menatapnya lama. “Kamu tahu kan, semua yang terjadi sekarang tentan
Ratu Ibu berdiri tegak di hadapan Raja Ayah dan David. Tangannya mengepal, bukan karena marah yang meledak-ledak, tapi karena kemarahan yang sudah terlalu lama ditahan.“Aku yakin,” ucapnya pelan tapi tajam, “Dias terlibat dalam pembunuhan Ibu Sagara. Entah langsung atau tidak. Dan Ibunya, jelas bukan orang biasa.”David langsung menoleh. Wajahnya menegang.“Tidak. Ibu tidak bisa bicara seperti itu tanpa bukti,” katanya cepat. “Dias itu istriku. Aku tau betul Dias, tidak mungkin membunuh.”“Justru karena dia istrimu, David, aku bicara,” balas Ratu Ibu. “Aksesorisnya ditemukan di rumah Sagara. Bukan satu. Dan bukan sebuah kebetulan.”David menggeleng keras. “Tidak, aku tidak percaya! Itu bisa saja dijebak, sama seperti Gita. Semua orang sekarang mudah menuduh tanpa bukti kuat.”Raja Ayah menghela napas panjang. Ia memijat pelipisnya, suaranya lebih rendah ketika bicara.“Ayah tidak ingin menuduh siapa pun tanpa dasar. Tapi ada satu hal yang tak bisa Ayah abaikan.”David menatap ayahnya







