Pagi di istana selalu ramai. Suara dayang yang berlalu-lalang memenuhi lorong, membawa kain, baki makanan, atau pesan dari paviliun ke paviliun.
Gita baru saja selesai sarapan ketika seorang dayang senior, Nyonya Ratna, datang dengan langkah cepat. Perawakannya tinggi, wajahnya tegas, tutur katanya sopan tapi kaku.
“Selir Gita, Baginda Raja memanggil Anda ke balairung pagi ini. Bersiaplah segera.”
Jantung Gita langsung berdegup kencang. Semalam ia hanya melihat raja sekilas di jamuan. Kini, ia harus menghadap langsung? Perasaan cemas bercampur penasaran membuatnya sulit bernapas.
“Apakah… aku melakukan kesalahan?” bisiknya ragu.
Ratna hanya menggeleng. “Lebih baik Anda datang tepat waktu.”
Balairung istana dipenuhi cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela besar. Lantainya berkilau, dindingnya berukir naga dan burung garuda, megah sekaligus menekan.
Raja David duduk di singgasana. Jubah hitam sederhana membungkus tubuhnya, tanpa mahkota, namun wibawanya tak tergantikan. Permaisuri Dias tidak tampak di sisinya, membuat ruangan terasa lebih lega bagi Gita.
“Selir baru sudah datang, Baginda,” ucap prajurit yang mengantar.
David mengangkat kepala, menatap Gita dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tatapannya dalam, tajam, membuat Gita cepat-cepat menunduk.
“Namamu Gita?” suara raja berat dan tenang, namun memberi tekanan.
“Iya, Baginda.” Suaranya bergetar, tangannya ia genggam erat agar tidak terlihat gugup.
“Dari desa kecil di barat?”
“Benar, Baginda.”
Raja terdiam, menilai. “Kudengar kau terpilih tanpa keberatan. Tidak semua gadis rela meninggalkan keluarganya.”
Gita menelan ludah. “Bukan kehendakku, Baginda. Tapi aku tidak berani menolak titah kerajaan.”
Sesaat, tatapan itu melunak—hanya sebentar—lalu kembali dingin. “Kau jujur. Itu lebih baik daripada pura-pura.”
David bersandar santai. “Jika ingin bertahan, jadilah dirimu sendiri. Jangan mencoba cara licik seperti yang lain.”
Kata-kata itu bagai ujian sekaligus peringatan. Gita menunduk dalam. “Saya mengerti, Baginda.”
David melambaikan tangan. “Cukup. Aku hanya ingin tahu siapa yang dibawa masuk kemarin.”
Sepanjang perjalanan pulang ke paviliun, hati Gita masih berdebar. Tak ia sangka Raja David bicara langsung padanya. Meski singkat, tatapan itu seolah menembus jauh ke dalam dirinya. Ia sadar, perasaan ini bisa berbahaya.
Sore hari, kabar pertemuan itu sudah sampai ke telinga permaisuri.
Dias mendengarnya sambil menyipitkan mata. “Baru sehari sudah dipanggil. Gadis desa itu rupanya lebih cepat bergerak daripada yang terlihat.”
Di paviliunnya, Gita termenung. Dayang Sari menuangkan teh hangat dengan hati-hati.
“Anda baik-baik saja, Nyonya?” tanya Sari.
Gita tersenyum samar. “Aku… bingung. Baginda raja menatapku seolah tahu isi kepalaku. Sulit sekali berbohong.”
Sari menahan napas, lalu menunduk. “Hati-hati dengan pikiran seperti itu. Permaisuri bisa tahu dari telinga-telinga istana.”
Gita terdiam. Ia tahu Sari benar. Satu kata saja bisa menjadi senjata.
Malam tiba. Gita berjalan di taman istana, ditemani cahaya bulan purnama. Angin dingin membuatnya merapatkan selendang.
Di ujung jalan setapak, ia terhenti. Raja David muncul, hanya bersama satu prajurit.
Tubuh Gita kaku. Ia segera menunduk. “Ampun, Baginda. Hamba tidak tahu Baginda ada di sini.”
David berhenti. Sorot matanya kali ini lebih tenang, membuat waktu terasa melambat. “Tidak perlu takut.”
Perlahan, Gita mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu, lama. Seolah ada sesuatu yang tak terucap, tapi nyata.
Beberapa detik kemudian, David berbalik. “Pulanglah. Malam terlalu dingin.”
Langkahnya menjauh.
Gita berdiri terpaku, hatinya bergetar. Ia tahu, tatapan pertama itu bukan sekadar kebetulan-melainkan tanda, bahwa badai besar mulai mendekat.
Pagi itu, halaman istana dipenuhi suara burrung yang riuh. Namun hati Gita masih terasa berat. Sejak malam pertunjukan puisi, ia sadar tatapan Permaisuri Dias semakin tajam, meski wajahnya selalu tersenyum di depan semua orang.Sari menuangkan teh hangat ke cangkir. "Nyonya, jangan teralu dipikirkan. Menurut saya, justru karena puisi itu, Baginda makin melihat kelebihan Anda."Gita menggeleng. "Tapi justru itu yang membuat Permaisuri tidak akan diam. Aku hanya ingin hidup tenang, Sari."Sari menatapnya dengan iba. "Di istana, ketenangan itu langka. Yang bisa kita lakukan cuma berhati-hati."-Siang itu, Gita mendapat undangan makan siang di aula kecil bersama beberapa pejabat luar negeri yang berkunjung. Permaisuri Dias hadir sebagai tuan rumah, sedangkan para selir hanya diminta mendampingi.Dias duduk anggun, senyumnya lebar, berbicara fasih dengan tamu. Namun sesekali tatapannya melirik ke arah Gita. Seperti ada pesan tersembunyi di balik matanya: jangan sekali pun mencoba mencuri
Matahari pagi menyinari halaman istana. Burung-burung kecil bertengger di pepohonan, tapi suasana hati Gita justru berat. Sejak kabar Raja David mengunjunginya menyebar, ia merasa setiap langkahnya diikuti tatapan. Ada yang iri, ada yang sinis, dan ada pula yang hanya ingin tahu.Sari menyodorkan kain selendang tipis. "Nyonya, kalau jalan keluar paviliun, lebih baik pakai ini. Setidaknya bisa menutupi wajah dari pandangan yang terlalu tajam."Gita tersenyum lemah. "Apakah aku sudah jadi bahan pembicaraan semua orang, Sari?"Sari menatapnya prihatin. "Ya. Di istana, gosip bisa lebih tajam daripada pedang. Tapi jangan khawatir, Anda tidak sendirian."-Hari itu, Gita dipanggil menghadiri jamuan minum teh bersama beberapa selir lain. Ruangannya indah, dikelilingi jendela besar dengan tirai putih. Aroma teh melati menyebar lembut.Saat Gita masuk, beberapa selir langsung saling berbisik. Selir Ayu, salah satu yang sudah lama tinggal di istana, tersenyum manis tapi matanya penuh sindiran.
Malam terasa lengang di istana. Lampu-lampu minyak berderet di sepanjang koridor, menebarkan cahaya kekuningan yang menimpa lantai marmer. Angin membawa aroma bunga kenanga dari taman dalam.Di paviliunnya, Gita belum bisa tidur. Pikiran tentang peringatan Permaisuri Dias masih berputar di kepalanya. Kata-kata itu terasa seperti duri yang menusuk perlahan.Sari yang sedang melipat kain tidur memperhatikan wajah tuannya. "Nyonya, apa masih memikirkan ucapan Permaisuri?" tanyanya hati-hati.Gita menghela napas. "Sulit untuk tidak memikirkan, Sari. Dia seperti ingin memastikan aku tidak bisa bernapas lega di sini."Sari mendekat, duduk di sampingnya. "Saya tahu Permaisuri keras, tapi Baginda tampak melihat kebaikan Anda. Itu sudah tanda baik."Gita terdiam. Ia tidak bisa menyangkal bahwa reaksi raja David saat mencicipi masakannya tadi siang sedikit menumbuhkan keberanian dalam dirinya. Hanya saja, apakah itu berarti sesuatu? Atau hanya sekadar basa-basi seorang raja?Suara langkah kaki
Pagi itu, matahari baru naik ketika suara ketukan keras terdengar di paviliun Gita. Dayang Sari buru-buru membukakan pintu. Seorang pengawal berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi.“Selir Gita dipanggil ke dapur istana. Permaisuri sendiri yang memberi perintah,” ucapnya singkat.Sari menoleh pada Gita dengan wajah khawatir. “Dapur, Nyonya? Permaisuri biasanya tidak pernah ikut campur urusan dapur.”Gita menghela napas. “Kalau itu perintah, aku harus datang.”Dapur istana jauh lebih besar daripada rumah penduduk desa. Tungku-tungku berderet, asap tipis mengepul dari panci-panci besar, aroma rempah menyelimuti udara. Dayang dan juru masak sibuk memotong sayuran, menumbuk bumbu, atau mengangkat dandang.Di tengah kesibukan itu, Permaisuri Dias berdiri anggun dengan pakaian sutra merah menyala. Penampilannya jelas kontras dengan suasana panas dan berasap.“Ah, selir baru sudah datang,” ucap Dias lembut, namun nada suaranya menyimpan sengatan.Gita segera memberi hormat. “Ampun, Permaisuri
Pagi di istana selalu ramai. Suara dayang yang berlalu-lalang memenuhi lorong, membawa kain, baki makanan, atau pesan dari paviliun ke paviliun.Gita baru saja selesai sarapan ketika seorang dayang senior, Nyonya Ratna, datang dengan langkah cepat. Perawakannya tinggi, wajahnya tegas, tutur katanya sopan tapi kaku.“Selir Gita, Baginda Raja memanggil Anda ke balairung pagi ini. Bersiaplah segera.”Jantung Gita langsung berdegup kencang. Semalam ia hanya melihat raja sekilas di jamuan. Kini, ia harus menghadap langsung? Perasaan cemas bercampur penasaran membuatnya sulit bernapas.“Apakah… aku melakukan kesalahan?” bisiknya ragu.Ratna hanya menggeleng. “Lebih baik Anda datang tepat waktu.”Balairung istana dipenuhi cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela besar. Lantainya berkilau, dindingnya berukir naga dan burung garuda, megah sekaligus menekan.Raja David duduk di singgasana. Jubah hitam sederhana membungkus tubuhnya, tanpa mahkota, namun wibawanya tak tergantikan. Permaisuri
Pagi pertama Gita di istana terasa begitu asing. Ia terbangun di kamar luas berukir emas, tirai putih menjuntai anggun, dan cahaya matahari menembus jendela kaca berwarna. Namun hatinya masih tertinggal di kamar kayu sederhana, tempat ia biasanya mendengar kokok ayam dan suara ibunya memanggil.Suara langkah berderap pelan memecah lamunannya. Dayang-dayang masuk membawa baskom berisi air hangat. Gerakan mereka serentak, penuh aturan.“Selir Gita, bersiaplah. Permaisuri memanggil Anda pagi ini,” ucap salah satu dengan nada sopan, namun tegas.Nama itu—Permaisuri. Hanya mendengarnya saja membuat tubuh Gita bergetar. Ia tahu, permaisuri bukan sekadar istri utama raja. Dialah wanita paling berkuasa di dalam istana setelah baginda.Dengan langkah ragu, Gita mengikuti dayang menuju paviliun permaisuri. Bangunannya menjulang megah, dipenuhi tanaman bunga yang harum. Dua prajurit berdiri di gerbang, tombak mereka berkilau terkena sinar matahari. Gita menunduk dalam-dalam saat melewati mereka,