Home / Romansa / SELIR HATI / Bab 2 - Permaisuri Dias

Share

Bab 2 - Permaisuri Dias

Author: lucyta
last update Last Updated: 2025-09-17 09:12:19

Pagi pertama Gita di istana terasa begitu asing. Ia terbangun di kamar luas berukir emas, tirai putih menjuntai anggun, dan cahaya matahari menembus jendela kaca berwarna. Namun hatinya masih tertinggal di kamar kayu sederhana, tempat ia biasanya mendengar kokok ayam dan suara ibunya memanggil.

Suara langkah berderap pelan memecah lamunannya. Dayang-dayang masuk membawa baskom berisi air hangat. Gerakan mereka serentak, penuh aturan.

“Selir Gita, bersiaplah. Permaisuri memanggil Anda pagi ini,” ucap salah satu dengan nada sopan, namun tegas.

Nama itu—Permaisuri. Hanya mendengarnya saja membuat tubuh Gita bergetar. Ia tahu, permaisuri bukan sekadar istri utama raja. Dialah wanita paling berkuasa di dalam istana setelah baginda.

Dengan langkah ragu, Gita mengikuti dayang menuju paviliun permaisuri. Bangunannya menjulang megah, dipenuhi tanaman bunga yang harum. Dua prajurit berdiri di gerbang, tombak mereka berkilau terkena sinar matahari. Gita menunduk dalam-dalam saat melewati mereka, mencoba menyembunyikan rasa gentarnya.

Di dalam aula, Permaisuri Dias sudah menunggu. Ia duduk di kursi ukir berhias permata, mengenakan gaun sutra merah tua yang memancarkan wibawa. Wajahnya memang cantik, tetapi sorot matanya tajam, menelanjangi siapa pun yang berani menatapnya terlalu lama.

“Jadi, ini gadis desa yang dibawa masuk kemarin?” suara Dias terdengar datar, namun jelas mengandung sindiran.

Gita segera berlutut, menundukkan kepala. “Ampun, Permaisuri. Hamba memang berasal dari desa. Mohon bimbingannya.”

Tawa kecil meluncur dari bibir Dias. Namun tawanya tidak mengandung kehangatan. “Bimbingan? Kau pikir mudah menjadi bagian dari istana? Menjadi selir artinya kau hanya pelengkap, tidak lebih. Jangan pernah bermimpi mendekati raja. Baginda milikku—dan hanya milikku.”

Kata-kata itu menusuk dada Gita. Ia tidak pernah berniat merebut apa pun dari siapa pun, apalagi dari permaisuri. Tapi sejak awal, keberadaannya sudah dianggap ancaman.

“Aku mengerti, Permaisuri,” jawabnya lirih.

Dias berdiri, melangkah mendekat hingga jarak mereka hanya sehelai kain. Tatapannya menancap seperti belati. “Dengarkan baik-baik. Jika kau berani macam-macam, aku akan pastikan kau menyesal dilahirkan ke dunia ini.”

Jantung Gita berdegup kencang. Ia tetap menunduk, menyembunyikan wajahnya, tetapi dalam hati ia tahu—hidup di istana akan penuh badai.

Siang itu, Gita kembali ke paviliunnya dengan langkah goyah. Dayang Sari, yang sejak pagi menemaninya, menatapnya prihatin.

“Selir Gita, jangan takut. Memang begitulah sifat Permaisuri Dias. Beliau tidak suka ada wanita lain di dekat Baginda. Tapi asal Anda berhati-hati, Anda akan selamat.”

Gita menghela napas panjang. “Aku tidak pernah ingin bersaing dengan siapa pun, Sari. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang.”

Sari menunduk hormat, matanya berkaca-kaca. “Hati Anda tulus, Nyonya. Semoga Baginda suatu hari menyadarinya.”

Kata-kata itu meninggalkan hangat sesaat di dada Gita. Namun ia tahu, hangat itu rapuh.

Malam tiba. Suara genderang menggema dari aula utama. Dayang-dayang memberitahu bahwa Raja David mengadakan jamuan makan malam bersama pejabat istana, dan semua selir diperintahkan hadir.

Dengan pakaian biru muda sederhana, Gita memasuki aula yang terang benderang oleh obor dan lampu minyak. Meja panjang dipenuhi makanan mewah: daging panggang, buah segar, minuman berwarna keemasan.

Di sisi raja, Permaisuri Dias duduk anggun, tersenyum penuh kuasa. Selir lain yang lebih lama tinggal di istana duduk berjauhan, menatap Gita penuh selidik.

Gita menunduk memberi hormat. Raja David hanya melirik sekilas, dingin, lalu kembali berbicara dengan pejabat di sampingnya. Tidak ada senyum, tidak ada sambutan.

“Duduklah di sana, jauh dari Baginda. Kau masih baru, belajar dulu aturan istana,” ucap Dias dengan senyum tipis, namun nadanya mengandung perintah.

Gita menurut. Ia duduk di kursi paling ujung. Jamuan berlangsung meriah, penuh gelak tawa, tapi baginya semua terasa hampa. Sesekali ia mencuri pandang ke arah raja. Hanya sekali mata mereka bertemu—tatapan singkat, datar, tanpa makna. Namun tatapan itu cukup membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Malam semakin larut. Sepulang dari jamuan, Gita duduk lama di teras paviliunnya. Angin membawa aroma bunga dari taman istana. Ia memeluk lutut, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit.

Ia sudah tahu sejak awal: permaisuri menganggapnya musuh, raja bahkan tidak menganggapnya, dan selir lain memandangnya penuh iri. Jalan hidup di istana tidak akan pernah mudah.

Namun di balik rasa takutnya, ada keyakinan kecil yang mulai tumbuh. Ia tidak boleh menyerah.

Malam itu hanyalah langkah pertama—langkah kecil yang bisa menuntunnya pada kejayaan… atau menyeretnya ke dalam permainan berbahaya Permaisuri Dias.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SELIR HATI   Bab 81 - Perjalanan di Luar Negeri

    Setelah menempuh perjalanan panjang, David dan Ratu Aruna akhirnya tiba di Eropa. Mereka berdua masuk ke area hotel. David dan Ratu Aruna menginap di hotel yang sama."Akhirnya kita bisa pergi berdua ya, Vid," ucap Aruna. David hanya diam tak membalas ucapan Aruna. David menatap keluar tanpa banyak bicara. Matanya kosong.Aruna melilitkan syal di leher. “Kau masih memikirkan istana?” tanyanya pelan, suaranya menggoda.David tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas, lalu berkata pelan, “Ada banyak hal yang tidak mudah kutinggalkan.”Aruna tersenyum. “Termasuk seseorang?”David menoleh cepat. Ada sesuatu yang sulit diungkapkan di sana, antara rasa bersalah dan kebingungan yang disembunyikan di balik sikap tenang.“Perjalanan ini untuk urusan kerajaan,” jawab David akhirnya. “Jangan memelintirnya jadi hal lain, Aruna.”"Hal lain, apakah kamu berpikir akan ada hal lain?" goda Aruna.Aruna menatapnya lama, seolah mencoba menembus dinding yang David pasang di sekeliling dirinya. “Kau

  • SELIR HATI   Bab 80 - Jarak yang Menjauh

    Kereta kuda yang membawa David dan Aruna perlahan meninggalkan halaman istana. Dari kejauhan, suara roda yang bergesekan dengan tanah terdengar seperti irama yang menyesakkan. Gita berdiri di balkon paviliunnya, hanya bisa menatap punggung Baginda yang makin kecil. Hatinya seperti ditarik paksa, antara ingin menatap lebih lama dan ingin segera memalingkan pandangan.Sari berdiri di belakangnya. “Baginda pasti akan kembali, Nyonya. Jangan terlalu khawatir.”Gita hanya mengangguk. Ia tahu perjalanan itu bukan sekadar urusan kerja. Aruna ikut bersama Baginda, itu saja sudah cukup membuat pikirannya tak tenang.“Kenapa Permaisuri membiarkan Aruna ikut?” gumam Gita lirih.Sari menjawab hati-hati, “Mungkin karena beliau tidak bisa menolak permintaan Baginda.”Gita menatap ke langit yang mulai gelap. Ia tahu alasannya bukan itu. Dias pasti punya rencana lain. Sejak pertengkaran pagi tadi, Gita sadar bahwa amarah Permaisuri belum padam.Sementara itu, di dalam kereta kuda, Aruna duduk bersand

  • SELIR HATI   Bab 79 - Langkah yang Bikin Emosi

    Suasana pagi di istana terasa berbeda. Para pelayan berjalan cepat tapi diam, seolah tahu sesuatu sedang tidak baik-baik saja. Gita berdiri di balkon sisi timur istana, menatap halaman utama yang mulai ramai. Di sana, kereta kerajaan sudah disiapkan. Kuda-kuda putih berjajar rapi, pengawal berbaris dengan wajah tegang. Dan di tengah hiruk pikuk itu, Raja David berdiri di samping Ratu Aruna. Gita menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Ia tahu David akan pergi hari ini, tapi tetap saja hatinya belum siap. Bukan karena perginya David… tapi karena siapa yang pergi bersamanya. Sari, dayangnya, mendekat pelan. “Nyonya, mungkin sebaiknya istirahat di kamar saja.” “Tidak perlu, Sari. Aku baik-baik saja,” potong Gita cepat. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi di depan semua mata istana yang sedang menilai siapa yang paling berhak berdiri di sisi Raja. Dari kejauhan, Gita melihat Aruna mengenakan gaun biru lembut, serasi dengan jubah perjalanan David. Mereka tampak cocok. Sakitnya seperti

  • SELIR HATI   Bab 78 - Api yang Tersulut

    Kabar itu datang pagi-pagi sekali. Raja David akan berangkat ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Gita mendengarnya dari dayang lain bahkan sebelum Sari sempat bicara apa pun. Sejak itu, dadanya terasa sesak, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. Ia duduk di beranda, memandangi halaman istana yang sibuk. Kuda-kuda disiapkan, kereta kerajaan dipoles, dan para pengawal lalu-lalang dengan wajah tegang. Sari datang membawa teh. “Nyonya, apakah kabar keberangkatan Raja itu benar?” Gita menatap cangkir di tangannya. “Kelihatannya iya, Baginda akan ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Tapi aku juga tahu nya dari orang lain.” Sari mendengus. “Kalau Permaisuri Dias dengar, pasti beliau kecewa.” Gita terdiam. “Kecewa karena apa, Sar? Karena Baginda pergi bersama Aruna, atau karena semua orang akan membicarakannya?” Sari menunduk, tak berani menatap tuannya. “Mungkin dua-duanya, Nyonya.” Gita memandangi taman kecil di depan paviliun, bunga-bunga yang baru mekar kini tampak layu tertiup

  • SELIR HATI   Bab 77 - Jarak dan Waktu

    Biasanya, Gita bangun pagi dengan aroma kopi yang disiapkan David atau suara langkahnya di ruang tengah. Tapi kali ini, ia hanya mendengar kicau burung dan tirai yang tertiup angin.David tidak ada disampingnya. Hanya secarik kertas di meja kecil:“Ada urusan di luar istana. Jangan khawatir, aku pulang sore.”Tidak ada sapaan hangat, tidak ada tanda tangan kecil yang biasanya David beri di ujung, kebiasaan kecil yang selama ini jadi tanda cinta.Gita menyentuh kertas itu lama sekali.Sepagian ia menghabiskan waktu di ruang kerja, menata ulang buku-buku yang sebenarnya sudah tersusun rapi.Sari sempat datang membawa sarapan, tapi Gita hanya menyentuh sarapan itu sedikit.“Baginda bilang pulang sore, ya, Nyonya?” tanya Sari hati-hati.“Iya,” jawab Gita singkat.Sari mengangguk, lalu beranjak pergi. Tapi sebelum keluar, ia sempat berbalik. “Kadang kalau kita sayang seseorang, kita juga harus kasih dia ruang buat sendiri, Nyonya.”Gita tersenyum. “Aku tahu, Sari. Tapi ruang itu jangan sam

  • SELIR HATI   Bab 76 - Terlihat Tenang

    Sudah tiga hari sejak Gita mengucapkan pertanyaan itu di balkon. Tiga hari pula David belum benar-benar menjawabnya.Setiap kali ia mencoba membuka pembicaraan, David selalu bilang, “Nanti aja, Git. Aku capek banget hari ini.”Awalnya Gita berusaha memaklumi. Ia tahu pekerjaan David tidak mudah, apalagi setelah kunjungan Ratu Aruna membuat jadwal istana semakin padat. Tapi semakin lama, kata “nanti” terasa seperti tembok yang makin tinggi.Pagi itu, Gita membantu Sari merapikan bunga di taman.“Maaf, mata terlihat kayak kurang tidur, Nyonya,” kata Sari pelan sambil memotong batang mawar.“Nggak apa-apa, cuma kepikiran aja," jawab Gita singkat.“Kepikiran soal Baginda ya, Nyonya?”Gita tak menjawab, tapi ekspresinya sudah cukup menjelaskan.Sari meletakkan gunting bunga dan duduk di bangku batu di dekat situ. “Kadang laki-laki itu gitu, Nyonya, bikin kesel. Kalau lagi banyak pikiran, bukannya cerita, malah memilih diam. Tapi bukan berarti dia berubah.”Gita menatap Sari, bibirnya berge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status