เข้าสู่ระบบPagi itu, matahari baru naik ketika suara ketukan keras terdengar di paviliun Gita. Dayang Sari buru-buru membukakan pintu. Seorang pengawal berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi.
“Selir Gita dipanggil ke dapur istana. Permaisuri sendiri yang memberi perintah,” ucapnya singkat.
Sari menoleh pada Gita dengan wajah khawatir. “Dapur, Nyonya? Permaisuri biasanya tidak pernah ikut campur urusan dapur.”
Gita menghela napas. “Kalau itu perintah, aku harus datang.”
Dapur istana jauh lebih besar daripada rumah penduduk desa. Tungku-tungku berderet, asap tipis mengepul dari panci-panci besar, aroma rempah menyelimuti udara. Dayang dan juru masak sibuk memotong sayuran, menumbuk bumbu, atau mengangkat dandang.
Di tengah kesibukan itu, Permaisuri Dias berdiri anggun dengan pakaian sutra merah menyala. Penampilannya jelas kontras dengan suasana panas dan berasap.
“Ah, selir baru sudah datang,” ucap Dias lembut, namun nada suaranya menyimpan sengatan.
Gita segera memberi hormat. “Ampun, Permaisuri. Ada yang bisa hamba lakukan?”
Dias tersenyum miring. “Tentu saja. Aku ingin melihat kemampuanmu. Katanya kau dari desa, pasti terbiasa bekerja keras. Hari ini, kau yang menyiapkan hidangan kecil untuk Baginda Raja. Anggap saja... ujian pertamamu di istana.”
Dapur seketika hening. Para dayang saling pandang, beberapa berbisik. Semua tahu, menyiapkan hidangan untuk raja bukan tugas ringan. Jika salah sedikit saja, akibatnya bisa fatal.
Sari ikut membantu menyiapkan bahan. “Nyonya, hati-hati. Ini jelas jebakan Permaisuri. Kalau rasa masakan tidak enak, itu bisa dijadikan alasan menjatuhkan Anda.”
“Aku mengerti,” jawab Gita pelan sambil menggulung lengan bajunya. “Tapi aku tidak boleh mundur.”
Ia memilih membuat sup ayam sederhana dengan rempah desa, masakan yang selalu ia buat di rumah. Tangannya cekatan memotong sayur, mengupas bawang, dan menyiapkan kaldu. Meski jantung berdebar, ia berusaha fokus.
Aroma harum perlahan menyebar. Beberapa juru masak yang semula meremehkan mulai melirik penasaran.
Satu jam kemudian, sup ayam sederhana itu selesai. Gita menuangkannya ke mangkuk keramik, lalu meletakkannya di atas nampan.
Dias mendekat, menatap mangkuk itu dengan senyuman penuh arti. “Sederhana sekali. Semoga Baginda tidak kecewa.”
Hidangan itu dibawa ke ruang makan kecil tempat Raja David biasa sarapan. Gita berdiri dengan tangan gemetar, sementara David menatap mangkuk di depannya.
“Apa ini?” tanyanya singkat.
“Sup ayam, Baginda,” jawab Gita nyaris berbisik.
David mengambil sendok, mencicipinya perlahan. Ruangan sunyi. Beberapa detik terasa seperti selamanya.
Akhirnya, David mengangguk kecil. “Tidak buruk.”
Dua kata itu membuat napas Gita lega.
Namun, Permaisuri Dias yang duduk di sisi raja menahan senyum tipis. “Baginda, sup sederhana ini tentu tidak sebanding dengan hidangan para juru masak istana. Saya hanya ingin tahu seberapa jauh kemampuan selir baru.”
David menoleh sekilas. “Rasanya jujur. Itu sudah cukup.”
Dias terdiam sejenak, matanya berkilat.
Sepulang dari ruang makan, Sari meraih lengan Gita. “Nyonya, Anda berhasil! Baginda bahkan mengakui masakan Anda.”
Gita tersenyum samar. “Aku tidak tahu apakah itu benar-benar pujian, atau hanya sekadar kata-kata. Tapi setidaknya aku tidak mempermalukan diriku.”
Namun jauh di dalam hatinya, Gita merasakan sesuatu. Raja yang dingin itu ternyata bisa menghargai hal sederhana.
Sayangnya, kabar cepat menyebar.
“Katanya selir baru bisa memasak, sampai Baginda memuji?”
“Hah, jangan-jangan itu caranya menarik perhatian.” “Kalau Permaisuri tahu, pasti dia makin tidak suka.”Bisik-bisik itu sampai ke telinga Gita. Ia hanya menunduk, menahan diri untuk tidak menanggapi.
Malam harinya, seorang dayang dari paviliun permaisuri datang membawa pesan.
“Permaisuri memanggil Anda sekarang.”
Di ruang pribadinya, Dias duduk anggun sambil memainkan kipas lipat. Tatapannya penuh sindiran begitu melihat Gita.
“Sup ayam?” tanyanya dengan senyum mengejek. “Kau pikir sesuatu yang remeh seperti itu bisa membuat Baginda memperhatikanmu?”
Gita menunduk. “Ampun, Permaisuri. Hamba hanya melakukan perintah. Tidak ada maksud lain.”
Dias berdiri, berjalan mendekat. “Dengar baik-baik. Jangan pernah mengira simpati kecil dari raja akan membuat posisimu aman. Satu langkah salah, kau akan terbuang dari sini tanpa jejak.”
Gita menahan napas, namun ia menguatkan dirinya. “Saya tidak pernah berniat bersaing dengan siapa pun. Saya hanya ingin menjalani takdir saya dengan tenang.”
Dias menatapnya lama, lalu tersenyum dingin. “Kau pintar menata kata-kata. Tapi aku tidak pernah percaya wajah polos.”
Setelah kembali ke paviliunnya, Sari bertanya cemas. “Apa yang dikatakan Permaisuri?”
“Dia memperingatkanku lagi,” jawab Gita lirih. “Tapi aku tidak akan gentar. Selama aku tidak berbuat salah, aku akan tetap berdiri.”
Sari menggenggam tangannya erat. “Saya akan selalu di sisi Anda, Nyonya.”
Gita tersenyum samar. Ia tahu perjalanan ini masih panjang. Istana ini bukan sekadar tempat tinggal megah, melainkan medan ujian.
Malam itu sebelum memejamkan mata, satu hal masih terbayang jelas: tatapan Raja David di ruang makan tadi. Tatapan yang bisa menjadi penguat—atau awal dari sebuah bencana.
Aula istana terasa semakin sempit meski orang-orang mulai menjaga jarak. Udara dipenuhi bisik-bisik, tatapan tajam, dan kemarahan yang ditahan setengah mati. Ayah Dian akhirnya melangkah ke depan, wajahnya memerah menahan emosi.“Cukup,” suaranya berat dan bergetar. “Aku akan membawa putriku pulang malam ini juga.”Ia menoleh ke arah Ratu Ibu, Raja Ayah, dan David bergantian. “Dan istana harus bertanggung jawab. Tragedi ini terjadi saat anakku berada di bawah perlindungan kalian. Aku tidak akan diam melihat Dian dijadikan tumbal.”Belum sempat Ratu Ibu menjawab, suara Ibunya Dias memotong dengan tawa.“Haha, bertanggung jawab?” sindirnya lantang. “Lucu sekali ya, Anda. Seorang ayah malah melindungi anaknya yang jelas-jelas berada di lokasi pembunuhan.”Dias ikut maju setengah langkah, matanya tajam menatap Dian yang masih terduduk pucat. “Kalau memang tidak bersalah,” katanya, “kenapa harus buru-buru dibawa pulang?”Dian tersentak, napasnya memburu. Tangannya gemetar, seolah ingin mem
Aula kecil istana mendadak terasa sempit.Dian berdiri di tengah ruangan dengan wajah pucat, tubuhnya gemetar seperti belum benar-benar sadar di mana ia berada. Matanya kosong, napasnya tersendat. Sejak tubuh Ibu Sagara ditemukan, dunia seolah runtuh di kepalanya, dan kini, semua mata menatapnya seolah ia penjahat.“Dia yang terakhir ada di sana.”Suara itu datang dari Ibunya Dias. Tajam. Tanpa ragu. “Semua orang tahu itu.”Dias melangkah setengah ke depan, berdiri di samping ibunya. “Kami juga tidak ingin percaya,” katanya dengan nada seolah iba, “tapi fakta di lapangan tidak bisa diabaikan.”Dian menoleh cepat. “Aku... aku tidak membunuhnya. Aku tidak tahu apa-apa.”“Sudah jelas kamu ada yang disana, Dian!” potong Dias. “Ibunya Sagara sudah tidak bernyawa saat kamu ditemukan.”Ratu Ibu langsung berdiri. Kursinya bergeser keras. “Cukup, Dias!” Suaranya tegas. “Kalian menuduh Dian tanpa bukti.”Ibunya Dias mendengus. “Hah... bukti apa lagi yang dibutuhkan, Yang Mulia? Dia ada di tempa
Ibu Sagara kembali berdiri di hadapan Ratu Ibu dengan wajah yang jauh dari sikap menantang sebelumnya. Kali ini ketakutan tak lagi bisa ia sembunyikan. Tangannya gemetar, suaranya pecah.“Aku sudah tidak aman, Ratu Ibu,” katanya lirih. “Ibunya Dias benar-benar mengancamku. Dia bilang aku akan dihabisi kalau berani datang ke istana lagi.”Ratu Ibu menatapnya lama, tanpa empati. “Lalu?”“Aku butuh sebuah rumah. Tempat yang aman. Jauh dari mereka berdua,” desak Ibu Sagara. “Yang Mulia mampu melakukannya.”Ratu Ibu menyandarkan punggung. “Kamu salah alamat, Ibu Sagara. Aku tidak bisa membelikan atas sesuatu yang bukan salahku.”Wajah Ibu Sagara menegang. “Aku bisa bicara. Aku tahu banyak.”“Justru itu,” balas Ratu Ibu. “Kalau kamu ingin perlindungan, katakan sekarang. Apa yang sebenarnya disembunyikan Dias? Hubungan dia dengan Sagara. Semuanya.”Ibu Sagara terdiam. Matanya bergerak gelisah. “Yang menghabisi Sagara bukan istana.”Ratu Ibu menyipitkan mata.“Yang seharusnya disalahkan itu D
Malam makin larut ketika Dias gelisah di dalam kamar. Jam dinding sudah lewat tengah malam, tapi ibunya belum juga kembali. Biasanya, seberat apa pun hari berlalu, perempuan itu tak pernah pulang selarut ini tanpa kabar.Dias mondar-mandir, dadanya terasa sempit.“Ibu ke mana ya?” gumamnya.Ia baru duduk di tepi ranjang ketika suara pintu depan terdengar. Langkah kaki tergesa, disusul suara kain diseret. Dias segera keluar kamar.Ibunya terkejut begitu melihat Dias berdiri di ruang tengah.“Dias, kamu belum tidur?”“Ibu darimana saja?” tanya Dias tanpa basa-basi.Ibunya terdiam sesaat. Wajahnya masih tegang, napasnya belum sepenuhnya tenang. “Ada urusan luar.”“Urusan apa sampai pulang tengah malam begini?” suara Dias meninggi. “Ini bukan kebiasaan Ibu.”Ibunya menghela napas. “Huhh... aku menemui Ibu Sagara.”Jantung Dias seolah berhenti berdetak. “Apa? Ibu menemui Ibunya Sagara?”“Ya. Perempuan itu kurang ajar!” kata ibunya penuh amarah. “Berani-beraninya dia mengancam balik aku. Mi
Kecurigaan itu tidak datang tiba-tiba pada David. Ia tumbuh perlahan, dari potongan-potongan kecil yang tak lagi bisa ia abaikan. Tatapan Dias yang terlalu waspada, caranya menghindar setiap kali nama Ibu Sagara disebut, dan kegelisahan yang tak mampu ia sembunyikan meski berusaha tampak tenang.Malam itu, David akhirnya memilih bertanya langsung.“Kita perlu bicara, Dias,” katanya singkat, menghentikan langkah Dias di lorong kamar.Dias menoleh. “Sayang, kamu kenapa serius begitu? Tentang apa?”David menatapnya lama, terlalu lama untuk sebuah pertanyaan biasa. “Tentang Ibu Sagara.”Wajah Dias seketika memucat. “Kenapa dengan dia?”“Kamu tahu persis kenapa.” Nada David merendah, tapi tekanannya justru terasa. “Untuk apa dia datang ke istana? Untuk apa dia menemui ibumu?”Dias terkesiap kecil. “Sayang, aku... aku tidak tahu.”“Kamu yakin tidak tahu?” David melangkah mendekat. “Dias, tidak mungkin seseorang datang sejauh itu, menemui ibumu, lalu diam-diam masuk ke istana kalau tidak ada
Dian mendatangi Ratu Ibu tanpa banyak pengantar. Wajahnya terlihat serius, tidak seperti biasanya yang tenang. Begitu pintu ruang dalam tertutup, Dian langsung bicara.“Ratu Ibu, kenapa Ibu Sagara menemui Ratu Ibu tanpa sepengetahuan saya?” tanya Dian penasaran.Ratu Ibu mengangkat pandangannya perlahan. Tidak terkejut, seolah pertanyaan itu memang sudah ia tunggu. “Jadi kamu sudah tahu, Dian.”Dian mengangguk. “Benar, Ratu Ibu. Saya melihatnya keluar dari sayap barat. Itu bukan jalur tamu biasa.”Ratu Ibu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Dia datang menemuiku membawa tawaran. Katanya, dia memiliki informasi penting tentang Dias dan ibunya. Tapi, dia meminta jaminan perlindungan dari istana.”Dian terdiam sesaat. “Apa? Meminta jaminan?”“Ya, jaminan. Keselamatan dirinya.” Nada Ratu Ibu cukup keras. “Dan sampai sekarang, dia belum mengatakan apa pun terkait Dias dan Ibunya.”Belum sempat Dian menanggapi, David masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak tegang.“Ibu,” katanya.







