Home / Romansa / SELIR HATI / Bab 4 - Ujian Pertama

Share

Bab 4 - Ujian Pertama

Author: lucyta
last update Last Updated: 2025-09-17 09:16:17

Pagi itu, matahari baru naik ketika suara ketukan keras terdengar di paviliun Gita. Dayang Sari buru-buru membukakan pintu. Seorang pengawal berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi.

“Selir Gita dipanggil ke dapur istana. Permaisuri sendiri yang memberi perintah,” ucapnya singkat.

Sari menoleh pada Gita dengan wajah khawatir. “Dapur, Nyonya? Permaisuri biasanya tidak pernah ikut campur urusan dapur.”

Gita menghela napas. “Kalau itu perintah, aku harus datang.”

Dapur istana jauh lebih besar daripada rumah penduduk desa. Tungku-tungku berderet, asap tipis mengepul dari panci-panci besar, aroma rempah menyelimuti udara. Dayang dan juru masak sibuk memotong sayuran, menumbuk bumbu, atau mengangkat dandang.

Di tengah kesibukan itu, Permaisuri Dias berdiri anggun dengan pakaian sutra merah menyala. Penampilannya jelas kontras dengan suasana panas dan berasap.

“Ah, selir baru sudah datang,” ucap Dias lembut, namun nada suaranya menyimpan sengatan.

Gita segera memberi hormat. “Ampun, Permaisuri. Ada yang bisa hamba lakukan?”

Dias tersenyum miring. “Tentu saja. Aku ingin melihat kemampuanmu. Katanya kau dari desa, pasti terbiasa bekerja keras. Hari ini, kau yang menyiapkan hidangan kecil untuk Baginda Raja. Anggap saja... ujian pertamamu di istana.”

Dapur seketika hening. Para dayang saling pandang, beberapa berbisik. Semua tahu, menyiapkan hidangan untuk raja bukan tugas ringan. Jika salah sedikit saja, akibatnya bisa fatal.

Sari ikut membantu menyiapkan bahan. “Nyonya, hati-hati. Ini jelas jebakan Permaisuri. Kalau rasa masakan tidak enak, itu bisa dijadikan alasan menjatuhkan Anda.”

“Aku mengerti,” jawab Gita pelan sambil menggulung lengan bajunya. “Tapi aku tidak boleh mundur.”

Ia memilih membuat sup ayam sederhana dengan rempah desa, masakan yang selalu ia buat di rumah. Tangannya cekatan memotong sayur, mengupas bawang, dan menyiapkan kaldu. Meski jantung berdebar, ia berusaha fokus.

Aroma harum perlahan menyebar. Beberapa juru masak yang semula meremehkan mulai melirik penasaran.

Satu jam kemudian, sup ayam sederhana itu selesai. Gita menuangkannya ke mangkuk keramik, lalu meletakkannya di atas nampan.

Dias mendekat, menatap mangkuk itu dengan senyuman penuh arti. “Sederhana sekali. Semoga Baginda tidak kecewa.”

Hidangan itu dibawa ke ruang makan kecil tempat Raja David biasa sarapan. Gita berdiri dengan tangan gemetar, sementara David menatap mangkuk di depannya.

“Apa ini?” tanyanya singkat.

“Sup ayam, Baginda,” jawab Gita nyaris berbisik.

David mengambil sendok, mencicipinya perlahan. Ruangan sunyi. Beberapa detik terasa seperti selamanya.

Akhirnya, David mengangguk kecil. “Tidak buruk.”

Dua kata itu membuat napas Gita lega.

Namun, Permaisuri Dias yang duduk di sisi raja menahan senyum tipis. “Baginda, sup sederhana ini tentu tidak sebanding dengan hidangan para juru masak istana. Saya hanya ingin tahu seberapa jauh kemampuan selir baru.”

David menoleh sekilas. “Rasanya jujur. Itu sudah cukup.”

Dias terdiam sejenak, matanya berkilat.

Sepulang dari ruang makan, Sari meraih lengan Gita. “Nyonya, Anda berhasil! Baginda bahkan mengakui masakan Anda.”

Gita tersenyum samar. “Aku tidak tahu apakah itu benar-benar pujian, atau hanya sekadar kata-kata. Tapi setidaknya aku tidak mempermalukan diriku.”

Namun jauh di dalam hatinya, Gita merasakan sesuatu. Raja yang dingin itu ternyata bisa menghargai hal sederhana.

Sayangnya, kabar cepat menyebar.

“Katanya selir baru bisa memasak, sampai Baginda memuji?”

“Hah, jangan-jangan itu caranya menarik perhatian.”

“Kalau Permaisuri tahu, pasti dia makin tidak suka.”

Bisik-bisik itu sampai ke telinga Gita. Ia hanya menunduk, menahan diri untuk tidak menanggapi.

Malam harinya, seorang dayang dari paviliun permaisuri datang membawa pesan.

“Permaisuri memanggil Anda sekarang.”

Di ruang pribadinya, Dias duduk anggun sambil memainkan kipas lipat. Tatapannya penuh sindiran begitu melihat Gita.

“Sup ayam?” tanyanya dengan senyum mengejek. “Kau pikir sesuatu yang remeh seperti itu bisa membuat Baginda memperhatikanmu?”

Gita menunduk. “Ampun, Permaisuri. Hamba hanya melakukan perintah. Tidak ada maksud lain.”

Dias berdiri, berjalan mendekat. “Dengar baik-baik. Jangan pernah mengira simpati kecil dari raja akan membuat posisimu aman. Satu langkah salah, kau akan terbuang dari sini tanpa jejak.”

Gita menahan napas, namun ia menguatkan dirinya. “Saya tidak pernah berniat bersaing dengan siapa pun. Saya hanya ingin menjalani takdir saya dengan tenang.”

Dias menatapnya lama, lalu tersenyum dingin. “Kau pintar menata kata-kata. Tapi aku tidak pernah percaya wajah polos.”

Setelah kembali ke paviliunnya, Sari bertanya cemas. “Apa yang dikatakan Permaisuri?”

“Dia memperingatkanku lagi,” jawab Gita lirih. “Tapi aku tidak akan gentar. Selama aku tidak berbuat salah, aku akan tetap berdiri.”

Sari menggenggam tangannya erat. “Saya akan selalu di sisi Anda, Nyonya.”

Gita tersenyum samar. Ia tahu perjalanan ini masih panjang. Istana ini bukan sekadar tempat tinggal megah, melainkan medan ujian.

Malam itu sebelum memejamkan mata, satu hal masih terbayang jelas: tatapan Raja David di ruang makan tadi. Tatapan yang bisa menjadi penguat—atau awal dari sebuah bencana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SELIR HATI   Bab 80 - Jarak yang Menjauh

    Kereta kuda yang membawa David dan Aruna perlahan meninggalkan halaman istana. Dari kejauhan, suara roda yang bergesekan dengan tanah terdengar seperti irama yang menyesakkan. Gita berdiri di balkon paviliunnya, hanya bisa menatap punggung Baginda yang makin kecil. Hatinya seperti ditarik paksa, antara ingin menatap lebih lama dan ingin segera memalingkan pandangan.Sari berdiri di belakangnya. “Baginda pasti akan kembali, Nyonya. Jangan terlalu khawatir.”Gita hanya mengangguk. Ia tahu perjalanan itu bukan sekadar urusan kerja. Aruna ikut bersama Baginda, itu saja sudah cukup membuat pikirannya tak tenang.“Kenapa Permaisuri membiarkan Aruna ikut?” gumam Gita lirih.Sari menjawab hati-hati, “Mungkin karena beliau tidak bisa menolak permintaan Baginda.”Gita menatap ke langit yang mulai gelap. Ia tahu alasannya bukan itu. Dias pasti punya rencana lain. Sejak pertengkaran pagi tadi, Gita sadar bahwa amarah Permaisuri belum padam.Sementara itu, di dalam kereta kuda, Aruna duduk bersand

  • SELIR HATI   Bab 79 - Langkah yang Bikin Emosi

    Suasana pagi di istana terasa berbeda. Para pelayan berjalan cepat tapi diam, seolah tahu sesuatu sedang tidak baik-baik saja. Gita berdiri di balkon sisi timur istana, menatap halaman utama yang mulai ramai. Di sana, kereta kerajaan sudah disiapkan. Kuda-kuda putih berjajar rapi, pengawal berbaris dengan wajah tegang. Dan di tengah hiruk pikuk itu, Raja David berdiri di samping Ratu Aruna. Gita menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Ia tahu David akan pergi hari ini, tapi tetap saja hatinya belum siap. Bukan karena perginya David… tapi karena siapa yang pergi bersamanya. Sari, dayangnya, mendekat pelan. “Nyonya, mungkin sebaiknya istirahat di kamar saja.” “Tidak perlu, Sari. Aku baik-baik saja,” potong Gita cepat. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi di depan semua mata istana yang sedang menilai siapa yang paling berhak berdiri di sisi Raja. Dari kejauhan, Gita melihat Aruna mengenakan gaun biru lembut, serasi dengan jubah perjalanan David. Mereka tampak cocok. Sakitnya seperti

  • SELIR HATI   Bab 78 - Api yang Tersulut

    Kabar itu datang pagi-pagi sekali. Raja David akan berangkat ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Gita mendengarnya dari dayang lain bahkan sebelum Sari sempat bicara apa pun. Sejak itu, dadanya terasa sesak, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. Ia duduk di beranda, memandangi halaman istana yang sibuk. Kuda-kuda disiapkan, kereta kerajaan dipoles, dan para pengawal lalu-lalang dengan wajah tegang. Sari datang membawa teh. “Nyonya, apakah kabar keberangkatan Raja itu benar?” Gita menatap cangkir di tangannya. “Kelihatannya iya, Baginda akan ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Tapi aku juga tahu nya dari orang lain.” Sari mendengus. “Kalau Permaisuri Dias dengar, pasti beliau kecewa.” Gita terdiam. “Kecewa karena apa, Sar? Karena Baginda pergi bersama Aruna, atau karena semua orang akan membicarakannya?” Sari menunduk, tak berani menatap tuannya. “Mungkin dua-duanya, Nyonya.” Gita memandangi taman kecil di depan paviliun, bunga-bunga yang baru mekar kini tampak layu tertiup

  • SELIR HATI   Bab 77 - Jarak dan Waktu

    Biasanya, Gita bangun pagi dengan aroma kopi yang disiapkan David atau suara langkahnya di ruang tengah. Tapi kali ini, ia hanya mendengar kicau burung dan tirai yang tertiup angin.David tidak ada disampingnya. Hanya secarik kertas di meja kecil:“Ada urusan di luar istana. Jangan khawatir, aku pulang sore.”Tidak ada sapaan hangat, tidak ada tanda tangan kecil yang biasanya David beri di ujung, kebiasaan kecil yang selama ini jadi tanda cinta.Gita menyentuh kertas itu lama sekali.Sepagian ia menghabiskan waktu di ruang kerja, menata ulang buku-buku yang sebenarnya sudah tersusun rapi.Sari sempat datang membawa sarapan, tapi Gita hanya menyentuh sarapan itu sedikit.“Baginda bilang pulang sore, ya, Nyonya?” tanya Sari hati-hati.“Iya,” jawab Gita singkat.Sari mengangguk, lalu beranjak pergi. Tapi sebelum keluar, ia sempat berbalik. “Kadang kalau kita sayang seseorang, kita juga harus kasih dia ruang buat sendiri, Nyonya.”Gita tersenyum. “Aku tahu, Sari. Tapi ruang itu jangan sam

  • SELIR HATI   Bab 76 - Terlihat Tenang

    Sudah tiga hari sejak Gita mengucapkan pertanyaan itu di balkon. Tiga hari pula David belum benar-benar menjawabnya.Setiap kali ia mencoba membuka pembicaraan, David selalu bilang, “Nanti aja, Git. Aku capek banget hari ini.”Awalnya Gita berusaha memaklumi. Ia tahu pekerjaan David tidak mudah, apalagi setelah kunjungan Ratu Aruna membuat jadwal istana semakin padat. Tapi semakin lama, kata “nanti” terasa seperti tembok yang makin tinggi.Pagi itu, Gita membantu Sari merapikan bunga di taman.“Maaf, mata terlihat kayak kurang tidur, Nyonya,” kata Sari pelan sambil memotong batang mawar.“Nggak apa-apa, cuma kepikiran aja," jawab Gita singkat.“Kepikiran soal Baginda ya, Nyonya?”Gita tak menjawab, tapi ekspresinya sudah cukup menjelaskan.Sari meletakkan gunting bunga dan duduk di bangku batu di dekat situ. “Kadang laki-laki itu gitu, Nyonya, bikin kesel. Kalau lagi banyak pikiran, bukannya cerita, malah memilih diam. Tapi bukan berarti dia berubah.”Gita menatap Sari, bibirnya berge

  • SELIR HATI   Bab 75 - Pintu yang Tertutup

    Sejak Ratu Aruna datang, suasana istana berubah. Bukan cuma lebih sibuk, tapi juga lebih tegang. Pelayan-pelayan berjalan lebih cepat, seolah takut membuat kesalahan. Setiap ruang terasa penuh bisik-bisik yang berhenti begitu Gita lewat.Ia berusaha bersikap biasa saja. Tersenyum ketika menyapa, berbicara seperlunya, dan mengabaikan rasa tidak nyaman yang muncul setiap kali nama Aruna disebut. Tapi tetap saja, ada sesuatu di dadanya yang terus mengganjal.Pagi itu, Gita berjalan menuju taman kecil di sisi timur istana. Biasanya, tempat itu tenang. Ia suka duduk di sana sambil membaca atau sekadar menikmati udara pagi. Tapi kali ini, langkahnya terhenti di balik semak mawar ketika mendengar suara yang sangat ia kenal.David. Dan… Aruna.Ia tak berniat menguping, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar tawa perempuan itu.“Ternyata taman ini masih sama seperti dulu ya,” kata Aruna dengan nada nostalgia. “Aku pikir semuanya sudah berubah.”“Banyak yang berubah,” jawab David. “Termasuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status