MasukKekhawatiran mulai menyelimuti Dias sejak pagi. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar, jari-jarinya gemetar setiap kali mendengar langkah pelayan di koridor. Setiap suara terasa seperti pertanda buruk. Bayangan wajah Ratu Ibu yang dingin dan penuh selidik terus muncul di benaknya, disusul kalimat ancaman yang belum diucapkan tapi terasa nyata.Ia tahu, lingkaran mulai menyempit.Sementara itu, di sisi lain istana, Dian mendatangi Gita. Tidak dengan wajah menuduh, tidak pula dengan sikap merendahkan. Ia datang sebagai seseorang yang ingin mengerti dan berbicara dari hati ke hati.“Kamu kelihatan capek, Gita,” ucap Dian pelan, setelah mereka duduk berhadapan di ruang kecil dekat taman belakang. “Bukan cuma capek badan. Kamu kelihatan lebih ke lelah hati.”Gita tersenyum. Senyum yang lebih mirip kebiasaan daripada perasaan.“Capek itu biasa di istana,” jawabnya. “Yang tidak biasa adalah harus terus menahan diri.”Dian menatapnya lama. “Kamu tahu kan, semua yang terjadi sekarang tentan
Ratu Ibu berdiri tegak di hadapan Raja Ayah dan David. Tangannya mengepal, bukan karena marah yang meledak-ledak, tapi karena kemarahan yang sudah terlalu lama ditahan.“Aku yakin,” ucapnya pelan tapi tajam, “Dias terlibat dalam pembunuhan Ibu Sagara. Entah langsung atau tidak. Dan Ibunya, jelas bukan orang biasa.”David langsung menoleh. Wajahnya menegang.“Tidak. Ibu tidak bisa bicara seperti itu tanpa bukti,” katanya cepat. “Dias itu istriku. Aku tau betul Dias, tidak mungkin membunuh.”“Justru karena dia istrimu, David, aku bicara,” balas Ratu Ibu. “Aksesorisnya ditemukan di rumah Sagara. Bukan satu. Dan bukan sebuah kebetulan.”David menggeleng keras. “Tidak, aku tidak percaya! Itu bisa saja dijebak, sama seperti Gita. Semua orang sekarang mudah menuduh tanpa bukti kuat.”Raja Ayah menghela napas panjang. Ia memijat pelipisnya, suaranya lebih rendah ketika bicara.“Ayah tidak ingin menuduh siapa pun tanpa dasar. Tapi ada satu hal yang tak bisa Ayah abaikan.”David menatap ayahnya
Dias menutup pintu kamarnya dengan tangan gemetar, seolah menandai kepanikan yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Ia bersandar di daun pintu, napasnya tersengal, dadanya naik turun cepat.“Ibu,” suaranya pecah ketika menoleh. “Gimana kalau mereka tahu? Kalau Ratu Ibu benar-benar yakin, gimana kalau mereka tahu aku dan Ibu yang melakukan pembunuhan Ibu Sagara itu?”“Diam. Jangan bicara apa pun, Dias!” Ibunya memotong tajam. Wajah perempuan itu mengeras, bukan panik, bukan takut, melainkan marah. “Kamu ini kenapa jadi lemah begini?”Dias mendekat, menurunkan suara. “Aksesoris itu… itu memang punyaku. Aku ingat betul. Tidak ada orang lain yang punya. Ratu Ibu menunjukkannya. Kalau Dian dipanggil, kalau dia bicara semuanya, gimana? Ibu, aku takut!”Ibunya mendengus, berjalan mondar-mandir dengan langkah berat. “Kecerobohan kecil. Itu saja.” Ia berhenti tepat di depan Dias. “Kesalahanmu cuma satu: meninggalkan barang. Tapi itu belum bukti.”“Haa, ibu bilang belum bukti?” Dias tertawa, nyaris
Ruang pertemuan kecil di istana terasa berbeda malam ini.. Dias berdiri di satu sisi ruangan, jemarinya saling mencengkeram tanpa sadar. Di sebelahnya, Ibunya duduk dengan punggung tegak, dagu terangkat, seolah datang bukan sebagai tamu yang dipanggil, tapi sebagai orang yang siap bertarung.Pintu terbuka.Ratu Ibu masuk tanpa senyum, tanpa basa-basi.Tangannya membawa sebuah kotak kecil berlapis kain. Langkahnya berhenti tepat di depan Dias.“Aku tak akan berputar-putar,” ucap Ratu Ibu pelan. “Aku menemukan ini di rumah Sagara.”Ia membuka kotak itu..Sebuah aksesoris kecil terbaring di dalamnya. Logamnya berkilau di bawah cahaya lampu. Bentuknya sederhana, tapi sangat dikenal.Napas Dias tercekat. Ia mengenalnya.Ia sangat mengenalnya.“Itu bukan milik kami,” Ibu Dias langsung menyahut, suaranya cepat dan tajam. “Benda seperti itu bisa dimiliki siapa saja.”Ratu Ibu tidak menoleh padanya. Pandangan matanya terkunci pada wajah Dias.“Dias, kau masih ingat ini, bukan?” tanya Ratu Ibu p
Dias berdiri kaku di tengah ruangan. Ibunya melangkah setengah ke depan, seolah ingin melindungi anaknya sekaligus menantang siapa pun yang berdiri di hadapannya.“Kami berdua tetap tidak akan minta maaf,” ucap Ibu Dias lantang. “Kami tidak melakukan kesalahan apa pun.”Raja Ayah memejamkan mata sesaat. Tarikan napasnya berat, jelas menahan amarah dan kekecewaan yang menumpuk. Saat ia membuka mata kembali, sorotnya bukan lagi sekadar tegas, ada luka di sana.“Kalian berdua keras kepala,” katanya pelan tapi menusuk. “Aku tidak pernah meminta kalian mengaku sesuatu yang tidak kalian lakukan. Aku hanya meminta kejujuran dan tanggung jawab.”Dias tertawa. “Haha, tanggung jawab?” Ia menoleh ke David. “Atau maksud Ayah, tanggung jawab versi istana yang selalu memihak selir itu?”David mendongak cepat. “Jaga ucapanmu, Dias!”“Oh, aku menjaga,” balas Dias tajam. “Aku hanya menyebut kenyataan. Dari awal, setiap masalah selalu berujung pada satu nama. Gita.Raja Ayah menggeleng perlahan.“Ini b
Ibu Dias benar-benar tidak terima.Wajahnya memerah, napasnya memburu, dan sorot matanya menatap David tanpa sedikit pun rasa segan. Ia berdiri di sisi Dias, seolah menjadikan tubuh anaknya tameng sekaligus senjata baginya.“Kami diusir istana?” suaranya meninggi. “Setelah semua yang sudah terjadi, kau berani bilang kami harus pergi dari istana ini?”Dias ikut maju setengah langkah. “David,” ucapnya tajam, “ini maksudmu? Kau mau mengusir istrimu sendiri dari hidupmu?”David berdiri kaku. Sorot matanya menyapu wajah Dias, lalu beralih pada Raja Ayah yang sejak tadi menahan diri untuk tidak ikut campur terlalu jauh.“Aku tidak mengusir kalian,” jawab David akhirnya, suaranya berat tapi jelas. “Aku memberi pilihan. Dan pilihan itu adil.”Ibu Dias tertawa sinis. “Haha... adil kau bilang?” Ia menunjuk lantai marmer di bawah kaki mereka. “Adil di istana ini selalu berarti memihak yang punya kuasa. Dan jelas, itu bukan aku.”Raja Ayah menghela napas panjang. “Ibu Dias,” katanya dengan suara







