LOGIN"Raja Ayah,” ucap Gita pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Ratu Ibu?”David menoleh cepat, refleks. “Kenapa kau datang ke istana?”“Aku tidak tahu, Baginda,” jawab Gita jujur. “Aku merasa harus ke istana.”Tabib menoleh ke arah Gita, menilai cepat.“Kau mengerti ramuan, Nak?”Gita mengangguk ragu. “Aku pernah belajar dari tabib desa, hanya dasar.”Raja Ayah menatapnya lama, lalu mengangguk.“Tolong bantu tabib. Apa pun yang bisa kau lakukan.”David hendak berkata sesuatu, tapi tertahan.Di benaknya, kata-kata Dian terngiang: minuman dari pelayan pribadi Gita.Gita mendekat ke ranjang, menekan titik tertentu di pergelangan tangan Ratu Ibu, lalu mengusap punggungnya perlahan agar napasnya sedikit lebih teratur.“Apa yang diminum sebelum ini?” tanya Gita pada Dian, suaranya tetap tenang meski wajahnya tegang.“Teh hangat,” jawab Dian cepat. “Aku tidak meminumnya. Ibu meminumnya sampai habis.”Gita terdiam sesaat. Pandangannya turun ke bibir Ratu Ibu yang mulai kebiruan.“Tabib,” uc
Minuman hangat itu mengepul pelan di atas meja kecil ruang duduk Ratu Ibu. Aroma rempah bercampur madu memenuhi udara, seakan menenangkan, setidaknya terlihat begitu.“Terima kasih, Sari,” ucap Ratu Ibu sambil tersenyum. “Kau selalu tahu apa yang kubutuhkan.”Sari menunduk dalam-dalam. Tangannya gemetar, meski ia berusaha menyembunyikannya di balik lipatan rok.“Silakan diminum, Paduka,” katanya lirih.Dian duduk di seberang, menatap cangkirnya sendiri. Ia mengangkatnya sedikit, mencium aromanya, lalu mengernyit halus.“Maaf ya, Sari. Aku tidak meminumnya, aku tidak terlalu haus,” ucap Dian sopan. “Mungkin nanti saja.”Ratu Ibu tertawa. “Haha, Dian.. Dian. Kau terlalu berhati-hati. Minuman seperti ini aman. Lagi pula rasanya enak. Ayolah diminum.”Ratu Ibu menyesap minuman sekali, lalu dua kali, hingga akhirnya menghabiskannya tanpa sisa.Di sudut ruangan, Ibu Dias yang sejak tadi mengamati dari balik tirai, menunjukkan raut wajah emosi dan kecewa. Matanya menyipit saat melihat Dian
Kekhawatiran mulai menyelimuti Dias sejak pagi. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar, jari-jarinya gemetar setiap kali mendengar langkah pelayan di koridor. Setiap suara terasa seperti pertanda buruk. Bayangan wajah Ratu Ibu yang dingin dan penuh selidik terus muncul di benaknya, disusul kalimat ancaman yang belum diucapkan tapi terasa nyata.Ia tahu, lingkaran mulai menyempit.Sementara itu, di sisi lain istana, Dian mendatangi Gita. Tidak dengan wajah menuduh, tidak pula dengan sikap merendahkan. Ia datang sebagai seseorang yang ingin mengerti dan berbicara dari hati ke hati.“Kamu kelihatan capek, Gita,” ucap Dian pelan, setelah mereka duduk berhadapan di ruang kecil dekat taman belakang. “Bukan cuma capek badan. Kamu kelihatan lebih ke lelah hati.”Gita tersenyum. Senyum yang lebih mirip kebiasaan daripada perasaan.“Capek itu biasa di istana,” jawabnya. “Yang tidak biasa adalah harus terus menahan diri.”Dian menatapnya lama. “Kamu tahu kan, semua yang terjadi sekarang tentan
Ratu Ibu berdiri tegak di hadapan Raja Ayah dan David. Tangannya mengepal, bukan karena marah yang meledak-ledak, tapi karena kemarahan yang sudah terlalu lama ditahan.“Aku yakin,” ucapnya pelan tapi tajam, “Dias terlibat dalam pembunuhan Ibu Sagara. Entah langsung atau tidak. Dan Ibunya, jelas bukan orang biasa.”David langsung menoleh. Wajahnya menegang.“Tidak. Ibu tidak bisa bicara seperti itu tanpa bukti,” katanya cepat. “Dias itu istriku. Aku tau betul Dias, tidak mungkin membunuh.”“Justru karena dia istrimu, David, aku bicara,” balas Ratu Ibu. “Aksesorisnya ditemukan di rumah Sagara. Bukan satu. Dan bukan sebuah kebetulan.”David menggeleng keras. “Tidak, aku tidak percaya! Itu bisa saja dijebak, sama seperti Gita. Semua orang sekarang mudah menuduh tanpa bukti kuat.”Raja Ayah menghela napas panjang. Ia memijat pelipisnya, suaranya lebih rendah ketika bicara.“Ayah tidak ingin menuduh siapa pun tanpa dasar. Tapi ada satu hal yang tak bisa Ayah abaikan.”David menatap ayahnya
Dias menutup pintu kamarnya dengan tangan gemetar, seolah menandai kepanikan yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Ia bersandar di daun pintu, napasnya tersengal, dadanya naik turun cepat.“Ibu,” suaranya pecah ketika menoleh. “Gimana kalau mereka tahu? Kalau Ratu Ibu benar-benar yakin, gimana kalau mereka tahu aku dan Ibu yang melakukan pembunuhan Ibu Sagara itu?”“Diam. Jangan bicara apa pun, Dias!” Ibunya memotong tajam. Wajah perempuan itu mengeras, bukan panik, bukan takut, melainkan marah. “Kamu ini kenapa jadi lemah begini?”Dias mendekat, menurunkan suara. “Aksesoris itu… itu memang punyaku. Aku ingat betul. Tidak ada orang lain yang punya. Ratu Ibu menunjukkannya. Kalau Dian dipanggil, kalau dia bicara semuanya, gimana? Ibu, aku takut!”Ibunya mendengus, berjalan mondar-mandir dengan langkah berat. “Kecerobohan kecil. Itu saja.” Ia berhenti tepat di depan Dias. “Kesalahanmu cuma satu: meninggalkan barang. Tapi itu belum bukti.”“Haa, ibu bilang belum bukti?” Dias tertawa, nyaris
Ruang pertemuan kecil di istana terasa berbeda malam ini.. Dias berdiri di satu sisi ruangan, jemarinya saling mencengkeram tanpa sadar. Di sebelahnya, Ibunya duduk dengan punggung tegak, dagu terangkat, seolah datang bukan sebagai tamu yang dipanggil, tapi sebagai orang yang siap bertarung.Pintu terbuka.Ratu Ibu masuk tanpa senyum, tanpa basa-basi.Tangannya membawa sebuah kotak kecil berlapis kain. Langkahnya berhenti tepat di depan Dias.“Aku tak akan berputar-putar,” ucap Ratu Ibu pelan. “Aku menemukan ini di rumah Sagara.”Ia membuka kotak itu..Sebuah aksesoris kecil terbaring di dalamnya. Logamnya berkilau di bawah cahaya lampu. Bentuknya sederhana, tapi sangat dikenal.Napas Dias tercekat. Ia mengenalnya.Ia sangat mengenalnya.“Itu bukan milik kami,” Ibu Dias langsung menyahut, suaranya cepat dan tajam. “Benda seperti itu bisa dimiliki siapa saja.”Ratu Ibu tidak menoleh padanya. Pandangan matanya terkunci pada wajah Dias.“Dias, kau masih ingat ini, bukan?” tanya Ratu Ibu p







