“et dah! Pergi sana sama Papamu, pulang sekalian sama dia.” ucapku, cemburu.“Hahaha, anak kok kucing? Bikinlah anak beneran. Biar Ayah bisa punya cucu. Udah mulai menua ini.” ucap Ayah.Kami bertatapan, aku menggigit bibir. Aku langsung kembali ke dapur. Ku biarkan Bang Kay membawa kucingku kembali ke Sofa.“InsyaAllah, Pa”. Mohon doanya.” Sahut Bang Kay.“Kenapa Maya belum hamil Kay? “ tanya Ayah.“Eng, kami mau menikmati masa-masa berdua dulu Pa, mau matang secara finansial.” ucap Bang Kay, aku tidak lagi mendengar meongan Lani. Mungkin sudah anteng di pangkuan Bang Kay. Padahal selama bersamaku, dia sering gelisah. Mungkin karena kucing betina, Lani merindukan sosok pria yang selalu memberinya perhatian.“Jangan di tunda-tunda, barangkali karena tidak punya anak kalian sering bertengkar. Masing-masing jenuh, kalau punya anak ‘kan, kita di sibukkan untuk mengurusinya. Sehingga tidak ada waktu dan kesempatan untuk kita bertengkar. Memiliki anak juga dapat menumbuhkan cinta, jika kit
Malam haripun tiba, Bang Kay, Mama, dan Ayah shalat Maghrib di masjid yang tidak jauh dari rumah. Sedangkan aku shalat di rumah ….Seusai shalat Maghrib aku menghidangkan makanan, untuk makan malam. Kuatur rapi nasi, lauk pauk, juice, serta buah-buahan di atas meja makan, juga piring, gelas dan air pencuci tangan. Setelah semua kutata rapi, Mama, Bang Kay, dan Ayah pulang."Sudah siap makan malam May?" tanya Mama, sepulang dari masjid Mama menegurku saat aku sedang mengatur hidangan makan malam di dapur."Sudah Ma." jawabku sembari terus melanjutkan aktifitasku menyusun hidangan."Kalau begitu waktunya kita makan malam."ucap Mama."Panggil Suamimu, ajak makan malam."titah Mama."Baik Ma," ucapku patuh.Aku pergi ke ruang tamu, untuk mengajak Bang Kay makan Malam, Ragu sebenarnya ingin mengajaknya, khawatir Bang Kay berfikir kalau aku sudah memaafkannya, tapi mau tidak mau, aku tidak boleh menunjukkan keras kepala dan keras hatiku di hadapan Mama dan Ayah. Apalagi tadi siang Ayah sudah
“Punya akun sosial apa aja Ma? boleh dong nanti saya add.” Tanya Bang Kay.“Ada Fesbuk dan instagrem, Mama paling aktif di Fesbuk, karena banyak temannya, kan-kawan fesbuk juga baik-baik dan loyal kasih like dan komentar. Jadi tak terlalu merasa kesepian lagi deh. Konten You Tube Mama juga bagus-bagus loh isi nya. Jangan lupa mampir akun You Tube Mama, Like, Share dan Subscribe.” Sahut Mama bersemangat.“Iya Ma, nanti Kaylani cek.” Sahut Bang Kay pendek.“Wah kalau begini ceritanya Ayah mau buat akun media sosial juga, Hanya Ayah yang belum punya akun media sosial disini, siapa tau Ayah bisa jadi artis You Tube juga kayak Mama.” Seloroh Ayah.Aku tersenyum mendengar celotehan 3 orang yang ku cintai ini, apalagi membayangkan nama Fesbuk Mama yang lebay itu, perutku rasa tergelitik membacanya, rasa ingin tertawa lepas seharian. Nama Fesbuk Mama seperti nama Fesbuk anak alay cabe-cabean yang baru mendapat puber tahap awal.“Saya juga jarang buka media sosial Pa, hanya sesekali buka jika
Pukul 04.00 pagi aku terbangun. Untung Bang Kay belum bangun, aku bergegas kekamar. Masih ada waktu untuk mandi sebelum waktu subuh masuk. Aku masuk kekamar mandi untuk mandi. Air terasa sangat dingin menusuk tulang, aku menggigil kedinginan, kurang dari 5 menit aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh gemetar dan gigi gemeretak. Ku taburi bedak ke tubuhku dengan bedak bayi agar hangat, tidak lupa ku oleskan minyak kayu putih di perut, pinggang, ketiak dan telapak kakiku. Setelah menggunakan minyak angin aku merasa tubuhku mulai hangat. Kemudian kugunakan jaket jeansku, tubuhku sekarang benar-benar terasa hangat, segar, nyaman dan bersemangat. Ku rebahkan tubuhku diatas kasur, kemudian.Kuambil gawaiku yang tergeletak disisi bantal. Rencananya,aku akan berselancar didunia maya sampai waktu subuh. Waktu yang hening akan menambah kekhusu’an, tidak hanya ibadah perlu kekhusu’an, online juga perlu kekhusu’an dan ketenangan untuk bisa menghayati setiap kegembiaraan dan keceriaan yang nanti
Ku buka Whatsaap. Di barisan teratas masuk 23 pesan dari Mas Hanafi. Aku paling malas baca pesan yang panjang, apalagi pesan yang banyak. Biasanya setiap pesan yang panjang selalu ku abaikan, begitu juga dengan pesan yang masuk berjejer dari Mas Hanafi, lihat notifikasinya saja udah malas, apalagi bacanya.Pesan Mas Hanafi ku scroll kebawah, hanya pesan terakhir yang ku baca, biasanya pesan terakhir adalah inti dari pesan yang berjejer, pesan yang pertama dan seterusnya itu hanyalah basi.Pesan bagaikan sebuah buku, halaman awalnya pendahuluan dan daftar isi, pertengahannya isi, dan bab terakhir adalah kesimpulan, satu dua lembar bab terakhir inilah inti sebuah buku yang tebal membosan, itulah mengapa saat sekolah aku selalu paling cepat dalam membaca sebuah buku, karena aku tidak pernah membaca isinya, aku hanya membaca kesimpulannya, dengan membaca kesimpulan sebuah buku aku bisa tau isi sebuah buku secara garis besar, dan itu cukup untuk mengantarkanku menyandang juara umum selama
“Assalamualaikum.” Suara Ayah terdengar lantang.“Waalaikumsalam.” Aku dan Mama menjawab serentak.Pintu depan terdengar terbuka, disusul munculnya wajah Ayah dan Bang Kay di ruang makan. Aku bergegas membawakan kopi aren keruang makan, Ayah dan Bang Kay telah duduk manis di kursi, ku suguhkan kopi aren dihadapan Ayah dan Bang Kay.“Ayo Kay minum kopinya. Ini kopi nama nya kopi aren.” Ayah mengajak Bang Kay minum.“Wah kopi bermerk ya Yah? Aromanya sangat wangi.” Puji Bang Kay sembari menghirup asap yang keluar dari gelas kopi.“Sruuuuut.” Bang Kay menyeruput kopinya.“Enak sekali yah, kopi produk mana ini?” Bang Kay takjub dan penasaran.“Ini kopi biasa Kay, Kopi yang dimasak dengan air nira aren. Jadi tanpa air dan tanpa gula, enak dan sehat.” Ayah mulai promosi.“Bisa bikin bisnis baru ni Yah. Jualan air nira atau buat kebun aren.” Seru Bang Kay.“Ya jika kamu minat boleh saja, nanti bapak kenalkan dengan pemilik kebun aren diprovinsi ini. Diprovinsi kita ini hanya ada satu kebun a
Makan usai. Aku dan Mama kembali sibuk mengurus urusan dapur. Bang Kay dan Ayah berangkat ketempat kerja masing-masing. Mama menyalakan mesin cuci dan bergerak kekamarnya. Mama pasti akan kembali eksis dimedia sosial. Aku tak mau melongo sendiri. Aku masuk kamar dan melanjutkan online yang tertunda.[Siang ini ada dirumah?] W-a Mas Hanafi masuk.[Ya Mas, pagi dirumah saja, siang dirumah saja dan malam dirumah aja] selorohku, menirukan iklan covid 19.[Bagaimana kalau kita keluar? Makan siang diluar sama Mas?] balas Mas Hanafi.[Nggak ada duit. Buang- buang duit makan di luar] balasku. Aku berusaha beralasan menghindar.[Ditraktir … nanti Mas jemput kerumah ya.] pesan Mas Hanafi lagi.“Duh ini Mas kok maksa banget, sih?” benakku.[Jangan Mas, nanti Ayah dan Mama marah. Enggak sopan punya tamu cowok] aku menolak halus.[Yaudah, nanti aku kerumah Maya untuk bertemu Ayah dan Mama Maya aja, nggak ketemu Maya.] Mas Hanafi berkelit.[Jangan Mas, kan ga kenal, apa ga malu?]balasku.[Ngapain m
Pramusaji datang membawa hidangan yang aku dan Mas Hanafi pesan,“Silahkan dinikmati hidangannya Mbak, Mas …”ucap Pramusaji itu ramah.“Ya, terimakasih,” balasku tak kalah ramah. Kulihat hidangan di depanku sejenak. Jika kutaksir harganya mencapai hampir 500.000. Semaha itu? bagaimana tidak? sedangkan teh kosong saja harganya mencapai 75.000.“Ini nih rumah makan orang Kaya, pantesan orang kaya jarang ada yang berlemak”. Aku membathin, tidak cocok sekali harga semahal itu, dengan menu yang sangat sedikit.“Pemilik rumah makan ini keterlaluan, pelit bin medit. Mau dapat keuntungan sebanyak-banyaknya nih,” benakku.Aku merasa pemilik rumah makan mewah ini, tidak sedang menjual harga, tapi hanya menjual nama, kemasan, dan pelayanan. “Orang-orang kaya ini Kok kayak ga mikir gitu ya, seharusnya kalau mau makan ya cari tempat makan yang bener-bener menjual makanan, bukan cuma jual merk doang.” Benakku.“Loh, kok termenung? Ayo dimakan …” ucap Mas Hanafi mengagetkan lamunanku.“I, iya Mas, s