Beranda / Romansa / Sentuhan Berbahaya Kakak Tiriku / 3. Mantanku menjadi kakak tiriku

Share

3. Mantanku menjadi kakak tiriku

Penulis: Qingcheng
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-14 12:51:47

Langit sore di atas Hotel Aurelline berwarna keemasan. Dari kejauhan, gedung kaca bertingkat itu berkilau seperti istana.

Cahaya matahari memantul di permukaan dindingnya, sementara mobil-mobil tamu berhenti satu per satu di pelataran marmer.

Cassandra berdiri di depan cermin besar di kamar ganti, menatap refleksi dirinya yang sudah mengenakan gaun peach lembut yang menempel anggun di tubuhnya.

Gadis itu menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang berdebar.

Hari ini ayahnya menikah lagi. Dan lelaki yang dulu dia cintai kini berdiri sebagai “kakak tirinya”.

“Cassie, kamu sudah siap?” suara lembut Lilian yang kini menjadi ibu tirinya, terdengar dari balik pintu.

Cassandra menoleh cepat, menegakkan bahunya. “Iya, tante.”

Lilian tersenyum lembut saat masuk. Perempuan itu tampak sangat cantik dalam balutan gaun pengantin putih.

“Cantik sekali.”

“Makasih, tante. Tante juga sangat cantik dan begitu cocok mengenakan gaun pengantin.” Puji Cassandra, tersenyum tipis.

“Jangan panggil tante. Panggil mama.” Lilian berucap dengan nada lembut, menatap teduh gadis di hadapannya.

“Iya, tan—eh, mama.” Ucap Cassandra tergagap membuat Lilian terkekeh pelan.

“Ayo, sayang.”

“Iya, tante.” Cassandra mengangguk, mengikuti langkah wanita itu dengan berat menuju ballroom, tempat pernikahan Alex dan Lilian yang akan dilaksanakan sebentar lagi.

Para tamu undangan sudah hadir, beberapa dari mereka tertawa, menyesap anggur, bahkan ada yang duduk tenang di kursinya.

Musik lembut dari orkestra mengalun di udara, menambah momen khidmat di acara besar itu.

Cassandra menyapu sekeliling, matanya bergerak liar, terlihat seperti sedang mencari seseorang, sampai detik berikutnya pandangannya terkunci pada sosok pria yang baru saja keluar dari ruang ganti, berjalan tegap penuh kharisma bersama ayahnya.

Rexandra begitu gagah dan rupawan dalam balutan jas hitam, rambutnya disisir rapi ke belakang menonjolkan rahang tegasnya yang kokoh.

Cassandra refleks memalingkan wajah kala tatapannya bertemu dengan netra gelap milik Rexandra.

“Cassie, mama tiba-tiba saja gugup.” Genggaman tangan Lilian semakin erat di tangan Cassandra. Wanita itu terlihat gugup dan tegang.

“Mama tidak usah tegang. Sebentar lagi, hanya sebentar lagi mama dan papa menikah.” Cassandra mengusap lembut punggung tangan Lilian, tersenyum hangat meski hatinya jelas gelisah saat masa lalunya—Rexandra, kini akan menjadi kakak tirinya.

“Makasih, sayang. Mama sekarang lebih tenang.”

“Iya, Ma. Ayo, Ma. Semua orang sudah menunggu.”

Lilian mengangguk, melanjutkan langkah dengan Cassandra di sampingnya. Mereka berjalan pelan menuju altar, begitu juga dengan Rexandra dan Alex.

Mereka mengantarkan pasangan itu ke altar. Pandangan keduanya kembali bertemu, kali ini lebih intens.

Rexandra menatap Cassandra dengan senyum khasnya.

“Hallo, adik.” Sapanya ramah, memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah, tampak sangat cantik. “Adik sangat cantik.”

“Hm, makasih.” Jawab Cassandra pendek, memalingkan wajah, sambil membantu meletakkan tangan Lilian di lengan Alex.

Rexandra yang melihatnya terkekeh pelan, dan dengan jahil menahan gadis itu.

“Rexa, jangan jahil sama adik kamu.” Tegur Lilian kala melihat wajah Cassandra memerah kesal.

“Kapan aku jahil, Ma?” Elak Rexandra, segera melonggarkan tangan, membuat Cassandra bergerak mundur di belakang Lilian.

“Cassie … maaf, ya? Rexa ini memang seperti itu, suka jahil.”

“Iya, Ma. Enggak apa-apa.”

Suara pendeta memanggil. Lilian dan Alex berjalan pelan ke arahnya. Momen sakral pun dimulai. Alex dan Lilian mengikrarkan janji suci mereka.

Semua tamu undangan bertepuk tangan, termasuk Cassandra yang kini duduk di meja keluarga.

Gadis itu menunduk kala semua orang terlarut dalam momen bahagia itu. Dia hanya menatap kosong ke arah minuman di depannya, lalu meneguknya sekali.

Dari kejauhan Rexandra terus mengamati dengan tatapan yang membuat Cassandra kikuk.

“Dia kenapa ngeliatin aku terus?” Gumamnya kesal, merubah posisinya jadi miring ke kanan, memunggungi pria itu.

“Cassie.”

Tiba-tiba suara familiar itu menyapa. Cassandra menoleh cepat, menatap pria yang kini berdiri di hadapannya.

“Ervan?”

“Kenapa sendirian?” Tanyanya lembut.

“Enggak apa-apa.”

“Kenapa murung gitu?” Ervan duduk di sebelah Cassandra, menatap lekat gadis itu. “Apa kamu tidak suka punya mama baru?”

“Bukan begitu.” Jawab Cassandra, melirik sekilas pada pria yang berdiri di kejauhan, Rexandra, yang menatapnya tajam.

“Terus kenapa?”

“Enggak apa-apa. Aku mungkin belum terbiasa aja.”

“Nanti juga terbiasa. Sekarang kamu punya mama baru, kamu gak bakal kesepian lagi.” Ervan tersenyum, lalu tangannya terangkat, merapikan helaian rambut Cassandra yang terjatuh di bahu.

Dari kejauhan, Rexandra mencengkeram gelas wine di tangannya, nyaris remuk. Urat-urat lengannya menonjol, buku jarinya memutih, bahkan sorot matanya gelap, dingin, dan tajam.

Pria itu memperhatikan setiap gerakan tangan Ervan pada Cassandra.

“Sialan!” Desisnya tajam.

Saat Cassandra berjalan meninggalkan pria itu, Rexandra pun dengan cepat meletakkan gelas wine nya di atas meja, mengikuti langkah gadis itu.

Cassandra berjalan pelan di lorong panjang kamar kecil dekat ballroom. Sepatu haknya mengetuk lantai dengan irama ritmis.

Gadis itu segera masuk ke dalam, menatap pantulan dirinya di cermin.

“Sekarang papa sudah menikah. Dan wanita yang dinikahinya itu mamanya Rexa.” Gumamnya pelan, menatap wajahnya sendiri. “ Rileks, Cassie. Rexa itu cuma masa lalu dan sekarang dia jadi kakak tiri kamu. Kamu juga udah punya pacar.”

Gadis itu menunduk, menyalakan keran air, membasuh tangannya, lalu kembali menatap dirinya.

“Oke, Cassie. Semangat!”

Cassandra mematikan keran air, lalu berjalan membuka pintu kamar mandi dengan pandangan menunduk.

Saat kakinya baru saja akan keluar, tiba-tiba sebuah tangan menarik pergelangan tangannya, membuatnya tersentak, mengangkat pandangan dengan mata terbelalak.

“Rexa—” Cassandra terkejut, hampir kehilangan keseimbangan hingga tubuhnya terbentur lembut ke dinding.

Bruk!

“Rexa, kamu apa-apaan! Lepaskan aku!”

Rexandra tak menjawab. Sebaliknya pria itu menempelkan kedua tangan di samping wajah Cassandra, mengungkung tubuh gadis itu. Tatapannya dingin, menyorot tajam ke arahnya.

“Siapa pria itu?” Tanyanya tanpa basa-basi, suaranya rendah, namun jelas menahan emosi.

“Apa-apaan sih kamu, aku gak ngerti. Sekarang lepaskan, Rexa!”

“Jawab dulu. Siapa pria yang menyentuhmu tadi?”

“Tidak ada pria yang menyentuhku.”

“Pria tadi? Yang memakai jas abu-abu. Kamu diam saja saat dia menyentuh rambutmu. Siapa pria itu?”

"Kenapa kamu penasaran?"

"Jawab aja, apa susahnya, huh?"

"Kenapa aku harus jawab? Apa untungnya buat kamu? Kamu tanya itu dalam posisi sebagai kakak, atau ... hal lain?"

Rexa terdiam sejenak, ketika Cassandra melontarkan pertanyaan tersebut.

Lalu Cassandra kembali melanjutkan. "Kalau sebagai posisi kakak, kamu gak perlu khawatir—dia pria baik, gak akan nyakitin aku. Kalau karena sebaliknya, kamu tidak perlu tahu urusan aku ... karena kita udah gak ada hubungan apa-apa. Sekarang lepaskan aku.”

Tapi Rexandra tetap masih di posisinya, justru makin mengungkung tubuh mungil itu dan menekan kedua tangan kecilnya.

“Rexa, lepaskan aku! Jangan berlebihan.”

“Aku tidak suka pria lain menyentuhmu.”

“Atas dasar apa? Kamu tidak punya hak mencampuri urusan aku.” Cassandra menatapnya tajam, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rexandra.

“Tidak punya hak?” Rexandra menyeringai miring, mendekat sedikit. Tatapan mereka bertabrakan—panas, dekat, dan menegangkan. “Benarkah?”

Napas Rexandra terdengar pelan tapi berat, dan Cassandra bisa merasakan detaknya berpacu cepat.

“Lepas, Rexa!” ucap Cassandra tegas, menatap nyalang. “Jangan melewati batas dan jangan ikut campur urusanku. Kamu hanya kakak tiriku sekarang.”

Kata itu menusuk, membuat Rexandra terdiam dengan ekspresi yang sulit diartikan. Satu tangannya turun dari dinding hingga Cassandra bisa melepaskan diri darinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
yeni mulyani
baru kali ini baca novel tentang kaya gini kak biasanya alur kaya gini gk suka tapi karna kak Qing yg nulis jadi aku baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sentuhan Berbahaya Kakak Tiriku   103

    Cassandra terduduk tegak tapi rapuh di kursi sebuah ruangan yang dipenuhi bau antiseptik dan dengung mesin yang tak pernah benar-benar mati. ICU. Di hadapannya, Alex terbaring tak bergerak, dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya, dan monitor jantung di samping ranjang yang memantulkan garis hijau naik-turun dengan irama yang teratur. Sudah dua minggu. Dua minggu sejak dokter mengatakan bahwa Alex koma, Cassandra tak pernah melewati sedetikpun untuk menjaga pria itu. Gadis itu menatap Alex dengan mata sembabnya, wajah yang pucat dan juga lelah. Sembari menggeser kursinya sedikit lebih dekat, Cassandra meraih tangan dingin ayahnya dengan sangat lembut. “Pa ….” Gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Air matanya kembali menetes, membasahi pipi pucatnya itu. “Aku di sini.” Tapi tak ada jawaban. Tak ada juga gerakan. Dada Cassandra terasa sesak, hatinya begitu perih seperti dikoyak-koyak melihat keadaan ayahnya saat ini. “Pa, bangun.” Lirihnya dengan bib

  • Sentuhan Berbahaya Kakak Tiriku   102.

    Cassandra menangis pilu, wajahnya sudah sembab, matanya memerah, dan tubuhnya goyah setelah mendengar perkataan sang dokter yang memvonis ayahnya, Alex, koma. Rexandra yang berdiri di sampingnya langsung berjongkok di hadapan gadis itu, merengkuh tubuh ringkihnya ke dalam pelukan. “Xa, Papa koma, Xa. Papa koma.” Suara Cassandra bergetar lirih, tangisnya makin kencang, bahunya berguncang hebat, dan napasnya tersengal, seolah udara di lorong rumah sakit itu tak lagi cukup untuknya. Dan Rexandra tidak bisa melakukan apa-apa lagi, selain memeluknya lebih erat, mencoba menyalurkan ketenangan yang bahkan tak dia miliki sendiri. “Xa, semua gara-gara kita. Harusnya kita nggak memulai hubungan ini. Harusnya kita nggak seperti ini!” Raungnya sambil mencengkram dadanya sendiri, menekan sesak yang merayap. “Hubungan kita nggak salah, Cassie.” Ucap Rexandra pelan tapi tegas, masih dalam posisi memeluk gadis itu, dagunya bertumpu di puncak kepalanya. “Kita saling mencintai. Dan itu bukan dos

  • Sentuhan Berbahaya Kakak Tiriku   101.

    “Huh,” Cassandra menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak, tapi dia tetap memaksakan langkah. Sekali lagi dia menatap Rexandra, sebelum akhirnya membuka pintu ruang VIP itu. Klik. Semua kepala menoleh. Termasuk Alex. Ekspresi pria paruh baya itu berubah seketika. Wajahnya yang tadi tampak lelah mendadak mengeras, sorot matanya menajam, menghantam Cassandra dan Rexandra yang berdiri berdampingan di ambang pintu. “Mau apa kalian kesini, hah?!” Bentaknya menggelegar. Suaranya naik setengah oktaf. “Mas, jangan marah. ” Lilian cepat-cepat mendekat, tangannya mengusap lengan Alex dengan lembut, mencoba meredam api kemarahan di dada pria itu. “Tolong, nanti jantungmu kambuh lagi.” ​"Biarkan saja!" Sentak Alex kasar, mengibaskan tangan istrinya. "Biar mereka puas melihatku mati!” “Pa …,” Cassandra melangkah maju dengan ragu, tangannya gemetar di udara, mencoba menjangkau ayahnya. Namun— “Berhenti di situ, Cassandra!” Cassandra tersentak, seluruh tubuhnya bergetar hebat,

  • Sentuhan Berbahaya Kakak Tiriku   100.

    Setelah meminta Rexandra memasang kamera tersembunyi di setiap sudut ruang VIP tempat Alex dirawat, perlahan-lahan kegelisahan di dada Cassandra mereda. Tidak sepenuhnya hilang—tentu saja tidak. Namun setidaknya kini dia bisa melihat, bisa mengawasi, bisa memastikan ayahnya masih bernapas dengan tenang di sana. Gadis itu duduk berselonjor di atas ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran empuk, sebuah laptop bertengger di atas pahanya. Layar itu menampilkan sosok Alex yang kini sudah sadar, mengenakan baju rawat berwarna pucat, tengah menghabiskan sarapannya dengan gerakan pelan dan hati-hati. Bibir Cassandra melengkung tipis, membentuk senyum kecil, hangat, dan rapuh. Sudah hampir dua minggu lamanya dia hanya bisa memandangi ayahnya lewat layar dingin itu. Dua minggu menahan rindu. Dua minggu menelan cemas. Dua minggu menahan diri agar tidak menangis setiap kali melihat wajah pria yang paling dia sayangi itu. Melihatnya secara langsung tentu akan jauh lebih menenangk

  • Sentuhan Berbahaya Kakak Tiriku   99.

    “Keberadaan kalian cuma bakal bikin Papa kalian makin parah!” Kata-kata itu menghujam lurus ke dada Cassandra, seperti pisau yang ditancapkan tanpa ampun. Gadis itu terisak pelan. Matanya merah dan sembab, kelopak matanya terasa perih, namun tak ada lagi air mata yang jatuh. Seolah semua tangisnya sudah terkuras habis di rumah sakit tadi. Kini yang tersisa hanya rasa sakit yang tumpul tapi terus berdenyut di dalam dada. “Papa masih terbaring, kondisinya kritis, dan aku bahkan nggak boleh menemuinya.” Pikirannya kalut. Jantungnya berdetak tak beraturan, dipenuhi rasa cemas yang menggerogoti perlahan. Lebih menyakitkan lagi, bayangan wajah Lilian terus menghantui—tatapan penuh kecewa, dingin, dan marah. Tatapan yang jauh sekali dari kesan yang dia kenal. “Mama bahkan benci aku. Atau … Mama mungkin terlalu kecewa sampai nggak mau lihat aku.” Cassandra meringkuk di atas ranjang, memeluk lututnya sendiri. Pandangannya kosong menatap keluar jendela, memperhatikan hujan yan

  • Sentuhan Berbahaya Kakak Tiriku   98.

    Mobil itu melaju menjauh, meninggalkan jejak debu tipis di halaman rumah. “Pa … Papa ….” Suara Cassandra meredup menjadi isak, tubuhnya meronta sia-sia dalam pelukan Rexandra. Sementara tangan mungilnya yang gemetar, mencengkeram hoodie pria itu kuat-kuat, seolah hanya itu satu-satunya pegangannya agar dia tidak runtuh sepenuhnya. “Rexa, papa Rexa. Ayo susul papa.” Desak cassandra, jemarinya menarik hoodie itu, sambil matanya menatap kosong ke arah jalan tempat mobil itu menghilang. Melihat bagaimana gadisnya menangis, meraung, dan meronta seperti itu, sesuatu dalam diri Rexandra retak. Rahangnya mengeras hingga ototnya menonjol tegas. Napasnya memburu, dadanya naik turun kasar. Dan tangan yang memeluk Cassandra bergetar—bukan ragu, melainkan amarah yang ditekan mati-matian. “Jangan nangis lagi. Kita ke rumah sakit sekarang. Tapi please, jangan nangis gini.” Kata Rexandra, tangannya memegang wajah Cassandra dengan lembut, menyeka basah di pipinya, lalu menarik Cassa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status