LOGINCassandra meneguk ludah, jemarinya mencengkeram gaunnya makin erat, napasnya tertahan kala hembusan napas hangat Rexandra menyapa tengkuknya.
Kepala gadis itu tersentak ke belakang, refleks menjauhkan wajahnya, membuat Rexandra tertawa kecil melihatnya. “Nice to meet you, Cassandra. Atau harus aku panggil Cassie?” Rexandra mengulurkan tangan, berdiri tegap di depannya. Cassandra diam seribu bahasa. Lidahnya tiba-tiba saja kelu. “Cassie, sapa kakakmu.” Ujar Alex, memandang putrinya yang masih diam mematung tanpa berkata apapun. Cassandra pun mengangkat tangannya ragu, menjabat tangan kakak tirinya itu. “Cassandra.” Sapanya singkat tanpa menatap mata pria itu. Buru-buru dia menarik tangannya, tapi Rexandra justru menahannya membuat gadis itu mengangkat pandangan. “Lepas!” “Kenapa buru-buru sekali, Cassie.” Goda Rexandra tersenyum jahil. “Lepasin tangannya.” “Tidak ingin menyapa kakak lebih lama?” Cassandra hanya menatapnya tak suka tanpa menjawab, membuat Rexandra melonggarkan genggamannya saat melihat wajah merah padam gadis itu. “Ayo, masuk. Jangan terlalu lama di luar. Di luar dingin.” Ajak Alex, dia melingkarkan tangannya di pinggang Lilian, menoleh ke arah Rexandra dan Cassandra. Cassandra segera menurunkan tangannya, berjalan cepat menghindari Rexandra. Mereka berjalan ke ruang makan dimana berbagai hidangan lezat sudah tersaji disana, termasuk Bouillabaisse—Sup ikan Perancis kesukaan Cassandra. Alex sudah duduk berhadapan dengan Lilian dan Rexandra terduduk tegak di sebelah Lilian. Sementara Cassandra masih berdiri kaku di ambang pintu ruang tamu. “Sayang, ayo duduk.” Titah Alex, menepuk kursi di sebelahnya. Cassandra melirik sekilas ke arah Rexandra, lalu mengangguk patuh, berjalan pelan ke sisi kursi sebelah Alex dan berhadapan dengan Rexandra. “Bagaimana? Tadi kamu sudah berkenalan dengan Rexa?” Tanya Alex, menatap putrinya lekat. “Hm. Sudah, Pa.” Jawab Cassandra singkat, mengangkat pandangan, menatap sebentar pria itu sebelum kembali menunduk, fokus pada hal lain. Rexandra terkekeh melihat ekspresi gadis itu. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya, senyum yang dulu bisa membuat dada Cassandra berdebar, tapi kini justru membuat napasnya tercekat. “Bagus.” Suara Alex menggema ringan. “Jadi yang duduk di hadapan kamu ini namanya Rexandra. Dia putra tunggalnya Lilian. Dan Rexa ini, baru saja kembali dari Amerika beberapa minggu lalu, setelah menyelesaikan studi magisternya.” “Oh. Emm.” Cassandra hanya mengangguk, tersenyum canggung. “Selamat datang, Kak Rexa.” Ucapnya nyaris tak terdengar, menatap piring porselen di depannya dan beberapa hidangan utama yang sudah tersaji rapi di meja makan. Aroma rempah langsung menguar menusuk hidungnya. Rexandra menahan tawa pelan. “Kak, ya?” suaranya berat, rendah, namun terdengar menggoda. “Dulu kamu sering panggil sa— “ “Uhuk.” Cassandra terbatuk, ekspresinya panik setengah mati. Alex segera menuangkan air minum, memberikannya cepat ke Cassandra. “Sayang, kamu kenapa udah tersedak? Padahal kita belum makan.” “Pedas, Pa. Bumbunya pedas.” Dalih Cassandra, menatap hidangan di meja makan, dan buru-buru meneguk minumannya hingga tandas. Rexandra hanya diam memperhatikan dengan senyum yang tak luntur. “Cassie ini … apakah tidak suka makan pedas? Sampai dia terbatuk?” Tanya Lilian, menatap ke arah Cassandra dengan khawatir. “Justru Cassie paling suka makan pedas.” Jawab Rexandra santai, sambil menatap ke arah gadis itu dengan senyum tipis yang nyaris tak kentara. Cassandra langsung terbatuk pelan, buru-buru meneguk airnya lagi. “Uhuk—uhuk!” Lilian yang duduk di seberang meja spontan menoleh cepat, alisnya naik. “Kamu tahu dari mana Cassie suka pedas?” tanyanya dengan nada penuh heran, pandangannya berpindah dari Cassandra ke putranya. Alex, yang sejak tadi menatap putrinya khawatir kini beralih menatap Rexandra dengan ekspresi nyaris sama. “Iya, itu benar, tapi … bagaimana kamu tahu, Rexa?” Cassandra langsung panik, wajahnya memucat, dan kedua tangannya meremas gaunnya di bawah meja. Rexandra yang melihat ekspresi itu tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, jemarinya mengetuk lembut meja kayu. “Karena …” Keringat dingin membasahi pelipis Cassandra, tubuhnya menegang. “Hanya menebak saja.” Ucap Rexandra, membuat Cassandra menghela napas lega, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Oh begitu. Om kira kamu sama Cassie sudah saling mengenal.” Alex tersenyum, lalu menatap Cassandra lekat. “Sayang, apakah selera kamu sudah berubah? Bukannya suka makan pedas?” Cassandra menggeleng. “Aku udah gak suka makan pedas, Pa.” “Ya sudah, sekarang makan yang tidak pedas. Untung saja Bouillabaisse-nya dibuat tidak pedas. Cobain sayang.” “Iya, Pa.” Cassandra tergugup, mengalihkan pandangan pada makanan. “Oh, sekarang Cassie sudah tidak suka makan pedas, ya?” Tanya Rexandra, tatapannya begitu lekat. “Kalau begitu, nanti kakak buatkan makanan yang gak pedas buat kamu.” “Kamu bisa masak, Rexa?” Tanya Alex antusias, matanya berbinar hangat. “Tentu. Rexa ini sangat jago memasak, Mas.” Lilian menimpali dengan senyum tulus. “Nanti kamu harus cobain masakannya Rexa, termasuk juga Cassie. Ya, sayang?” Ucapnya menoleh pada Cassandra. “Iya, tante.” Jawab Cassandra pendek. “Baguslah.” Alex tersenyum kecil. “Mas sudah tidak sabar ingin mencicipi masakan Rexa.” “Nanti aku buatkan Om, sekalian buat Cassie.” Tatapan Rexandra terarah pada Alex, tersenyum ramah, lalu mengalihkannya pada Cassandra yang hanya diam menunduk. “Jadi, Rexa,” ujar Alex sambil menyendok makanan. “Kamu ini ambil jurusan apa di MIT?” “Master of Science in Computer Science ditambah proyek riset di MIT Game Lab.” “Oh. Berarti nanti prospek kerjanya apa?” Tanya Alex, mengerutkan kening penasaran. “Game Developer, Om.” “Oh mengembangkan game, ya?” “Rexa ini sudah memenangkan beberapa kontes develop game loh mas.” Sahut Lilian dengan nada penuh bangga. “Benarkah?” Alex menatap Rexandra dengan berbinar. “Kamu benar-benar hebat, Rexa.” “Biasa aja, Om.” Suara Rexa tenang, senyumnya tetap tak pernah luntur. Tatapannya terus terarah pada Cassandra. “Kalau begitu, kita makan dulu, keburu dingin.” Ajak Alex, menoleh pada Cassandra yang terus diam. “Sayang, kenapa diam terus?” “Enggak apa-apa, Pa.” “Ayo makan.” Cassandra mengangguk, mengambil sup ikan di hadapannya. Karena posisinya lebih dekat ke Rexandra, gadis itu sedikit kesusahan. Rexandra pun dengan cepat meletakkan sup itu di depan Cassandra. “Bilang kalau kesusahan Cassie. Kakak bisa bantu.” “Makasih.” Cassandra menyendok sup itu, berusaha fokus pada makanannya, tapi pandangan Rexa tampak menelanjangi membuatnya gugup. Tangan gadis itu pun gemetar ketika mengambil sendok. Dia mencoba menghindari tatapan itu dengan menatap ke arah mangkuk sup, tapi gerakannya justru tergesa. Cairan panas tiba-tiba tumpah dari sendok, menetes di punggung tangannya. “Akh!” Cassandra tersentak pelan, sup panas itu menciprati kulitnya. Lilian langsung panik. “Sayang! Tangan kamu!” Alex ikut berdiri, tapi sebelum siapa pun bergerak lebih jauh, Rexandra sudah lebih dulu mendekat. Gerakannya cepat, refleks, dan tergesa. Tangannya menangkap pergelangan tangan Cassandra, lembut namun kuat. “Sini,” katanya dengan nada rendah. Pria itu menatap luka merah di kulit halus gadis itu, lalu menatap matanya. “Masih panas?” Cassandra menatapnya balik, jantungnya tiba-tiba melonjak. “A-aku baik-baik saja,” Rexa masih tak melepaskan tangannya, ibu jarinya menyentuh sisi kulit yang memerah. Gerakan itu membuat Cassandra tersentak kecil dengan napas memburu. “Rexa,” panggil Lilian panik, “Biar tante ambil salep—” Cassandra buru-buru menarik tangannya. “Enggak perlu, tante. Aku cuma perlu air dingin.” Gadis itu berdiri cepat. “Aku ke dapur sebentar,” “Biar tante temani—” “Enggak usah, aku baik-baik aja,” potong Cassandra cepat, tersenyum tipis, dan berjalan tergesa menuju dapur sebelum Lilian sempat menahan. “Om, Ma.” Rexandra mendorong kursinya hingga menimbulkan suara decit yang cukup nyaring. “Biar aku liat luka Cassandra dulu.” “Iya, Sayang.” Pria itu berjalan cepat, menyusul langkah Cassandra yang kini sudah berdiri di depan wastafel, memegangi pergelangan tangannya dan membasuhnya di bawah air keran yang mengalir. Tatapannya terarah pada kemerahan di punggung tangannya. Napasnya masih berat. Baru saja gadis itu hendak mengambil tisu dari samping, suara langkah perlahan terdengar dari belakang. Rexandra tiba-tiba berdiri tepat di belakang tubuh Cassandra dalam jarak yang nyaris tanpa celah membuat gadis itu menegang. “K-kamu kenapa kesini?” Tanyanya berusaha tenang meski tergagap. “Sakit?” suara Rexa rendah, dalam, mengalihkan topik. Cassandra menunduk, masih membasuh tangannya. “Udah mendingan.” Tiba-tiba, tangan Rexa menyentuh pergelangan tangannya, membuat gadis itu menoleh, tatapan mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat. “Kalau kamu buru-buru, malah bisa melepuh,” bisiknya tepat di telinga gadis itu. Cassandra sempat mematung, jantungnya berdebar tak karuan. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah, menatap air yang terus mengalir, tak berani menatap wajah pria itu. “Aku udah bilang, aku bisa sendiri.” Rexa mendekat sedikit. Jarak mereka nyaris tak ada. Aroma sabun dari tangannya bercampur dengan wangi parfum maskulin pria itu. Wangi yang dulu begitu dia kenal. “Bisa sendiri?” Rexa berbisik pelan. “Bukannya paling suka ngandelin aku?” Cassandra memejamkan mata. “Tolong, jangan mulai.” Rexandra tertawa kecil. “Aku cuma nanya.” Sebelah tangan Cassandra mengepal di samping tubuh, wajahnya memanas, tubuhnya kaku. “Setelah selesai dibasuh, nanti olesin salep.” “Gak usah peduli. Aku bisa sendiri.” “Harus dikasih salep.” Kata Rexandra, meraih tangan Cassandra yang terluka, meniup-niup pelan. Cassandra menoleh lagi, menatap pria yang begitu fokus meniup tangannya. “Kenapa bisa tumpah?” Tanya Rexandra di sela mengoles salepnya. “Gugup karena aku liatin?” Pria itu mengangkat pandangan, menatap wajah cantik Cassandra, wajah yang begitu dia kenal. Tatapannya lalu turun ke bibir, memandangnya cukup lama, membuat Cassandra terkejut, lalu mundur satu langkah. “Aku harus ganti baju,” katanya terburu-buru, lalu berjalan cepat keluar. Rexandra hanya berdiri di sana, menatap punggung gadis itu dengan senyum tipis yang muncul di wajahnya. Beberapa saat kemudian setelah makan malam selesai, Cassandra turun dengan pakaian baru. Alex dan Lilian sedang duduk di sofa, tampak berbincang hangat. “Cassie, bagaimana? Masih sakit?” tanya Lilian panik, segera berdiri dan menghampiri gadis itu, menatap punggung tangannya yang terluka. “Enggak kok, Tante. Sudah mendingan.” Jawab Cassandra sopan. “Maaf udah bikin panik.” Drttt! Tiba-tiba ponsel milik Lilian bergetar. Wanita itu menunduk, melirik layar ponselnya yang menyala terang. Lilian mengangkat pandangan, menatap Cassandra lembut. “Sayang, tante angkat telepon dulu.” “Iya, tante.” “Mas. Aku angkat telepon dulu.” “Iya.” Alex mengangguk, masih duduk dengan secangkir kopi di tangannya. Kini di ruangan itu hanya ada Alex dan Cassandra. Alex menatap putrinya lekat, tersenyum penuh makna. “Bagaimana, sayang? Tante Lilian bukankah sangat baik? Dia akan menjadi ibu yang baik untuk kamu. Dan Rexa, dia akan menjadi kakak kamu. Bukankah keluarga kita akan sangat lengkap sekarang?” Cassandra terdiam sejenak, tak langsung menjawab pertanyaan ayahnya. Sebaliknya, dia memejamkan mata, terlihat menahan sesuatu. Lalu perlahan matanya kembali terbuka. “Papa, aku … aku enggak setuju,” ucapnya spontan. Ekspresi Alex langsung berubah. Rexandra yang baru selesai menyesap rokoknya dan hendak kembali ke dalam menghentikan langkah kala mendengar perkataan gadis itu. “Cassie,” Alex terkejut bukan main, matanya membulat. “Kenapa tiba-tiba tidak setuju?” “Aku hanya tidak setuju papa menikah dengan tante Lilian.” Suara Cassandra mulai bergetar. Alex tiba-tiba menunduk. Tangannya meraih dadanya dengan ekspresi kesakitan. “Ah—” “Pa!” Cassandra langsung berlari, menahan tubuh ayahnya yang hampir jatuh dari sofa. “Sayang …,” katanya pelan, “Papa cuma … ingin punya keluarga utuh lagi.” Alex menatap Cassandra dengan napas tersengal. Cassandra memegang tangan dingin Alex dengan erat. “Jangan ngomong dulu, Pa.” Tapi Alex hanya tersenyum lemah, matanya basah. “Kamu setuju, ya? Setuju dengan pernikahan ini?” Cassandra menahan air mata, menggenggam tangan ayahnya lebih kuat, lalu detik berikutnya gadis itu pun mengangguk. “Iya, Pa. Aku setuju. Papa boleh nikah sama tante Lilian.” Ucapnya sambil memandang khawatir sang ayah.“Rexa?” Rexandra menoleh, hingga netra elangnya bertemu dengan mata indah Cassandra. “Halo, adik.” Suara Rexandra rendah, dalam, serak. Wajahnya tenang, dan sebuah senyum miring tersungging di bibirnya. “Ng—ngapain kamu di sini?” suara Cassandra naik setengah oktaf. Alisnya berkerut tajam. Rexandra menoleh perlahan, tatapannya santai. “Nongkrong.” Jawabnya pendek. Cassandra pun memutar bola matanya, mendekat dengan tangan terlipat di dada. “Jangan bohong. Apa kamu ngikutin aku?” Tanyanya penuh selidik. Rexandra mengangkat sebelah alis, lalu berdiri perlahan, mencondongkan tubuh, membuat jarak mereka hanya sejengkal. Cassandra langsung mundur setengah langkah. “Aku lagi nongkrong. Boring di rumah. Kenapa sepede itu bilang aku ngikutin? Atau pengen diikutin?” “E—engga.” Cassandra tergugup, menahan napas. Rexandra yang melihat terkekeh pelan. “Tadi di parkiran,” ucap Rexa rendah. “Kamu ngehindar dicium cowok kamu?” Cassandra langsung membelalakan mata. “Kamu masih bila
Cassandra membeku. Bibirnya kaku, matanya terbelalak lebar. Napasnya tertahan di tenggorokan. Gadis itu bisa merasakan hangat dan tekanan dari bibir Rexandra yang menempel di bibirnya—tebal, kuat, dan terlalu dekat. Detik berikutnya, tubuhnya bereaksi tanpa berpikir. “Mmph!” Cassandra mendorong keras dada pria itu dan menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga. “Shhh ….” Rexandra mendengus tertahan. Kakinya mundur setengah langkah, terpaksa melepaskan tautannya. Setetes darah segar mengalir di sudut bibirnya, ulah Cassandra. Namun bukannya marah, Rexandra justru tersenyum miring. “Kamu gila!” Cassandra memegang bibirnya sendiri, wajahnya merah padam karena marah dan kesal. “Gila?” Rexandra mengulang perkataan Cassandra dengan santai. “Kita sekarang itu kakak-adik, Rexa!” Rexandra menyeka darah di bibirnya dengan ibu jari, menatapnya tenang. “Kakak-adik? Kita bahkan nggak sedarah.” Nada bicaranya rendah dan dalam, menusuk langsung ke dada Cassandra. Cassandra memalingkan
Cassandra menelan ludah, menatap layar ponsel dengan senyum terpaksa, sementara detak jantungnya beradu dengan suara hujan di luar. Dan saat dia menutup panggilan, lampu tiba-tiba menyala terang — menyoroti mereka berdua yang duduk terlalu dekat, napas beradu, jarak hanya sejengkal. "Rexa!" Cassandra mendorong kuat tubuh Rexandra, membuat tubuh pria itu terhuyung, nyaris jatuh. "Jangan macam-macam!" Tekannya menatap pria itu dengan wajah merah campuran malu dan marah, lalu berlari ke arah walk in closet kala menyadari tubuhnya hanya berbalut kimono pendek yang terlalu minim itu. Duk! Pintu walk in closet ditutup keras. Cassandra menjatuhkan tubuhnya di lantai, memegangi dadanya yang bergemuruh keras, jantungnya hampir melonjak keluar. "Cassie, enggak bisa kaya gini. Rexa itu kakak tirimu." Malam itu, Cassandra segera menutup pintu kamar, memastikan kamar itu terkunci agar Rexandra tidak bisa masuk. Gadis itu tertidur meski awalnya matanya susah terpejam. Dan keesokan har
“S-siapa?” Tanya Cassandra lagi, perlahan mendekat dengan dada berdebar kencang, menatap bayangan tinggi di balik tirai jendela yang samar tapi jelas. Gadis itu refleks menahan napas, menggigit bibirnya keras karena gugup. “Siapa—” Belum sempat Cassandra menyelesaikan kalimatnya, bayangan itu bergerak cepat. Suara langkah berat terdengar, pintu jendela yang tak dikunci tertutup perlahan, lalu sosok itu muncul. “Cassie.” Suara itu rendah, tenang, tapi membuat tengkuknya meremang. Rexandra. Berdiri di depannya dengan wajah yang sebagian tertutup gelap, tapi sorot matanya tajam. Cassandra yang setengah panik refleks melangkah mundur terlalu cepat, hingga kakinya tersandung tepi karpet, membuatnya menubruk kursi dan nyaris kehilangan pegangan. “Cassie!” Ucap Rexandra panik. Kakinya yang panjang bergerak cepat seperti bayangan, meraih pinggang Cassandra, sebelum tubuh gadis itu jatuh ke lantai. Gerakan itu cepat—refleks, tapi justru membuat situasi makin gila. Tub
Pintu kamar terbuka tiba-tiba membuat Cassandra refleks menoleh, napasnya terhenti di tenggorokan. Liora, sahabatnya, berdiri di ambang pintu dengan mata membulat kala melihat Cassandra yang terbaring di atas kasur dengan seorang pria di atas tubuhnya. Posisi mereka terlalu dekat untuk disebut wajar, terlihat hampir berciuman. Cassandra refleks membuka mata, mendorong tubuh Rexandra hingga terjungkal ke belakang. Duk! “Kamu apa-apaan, Rexa!” Panik Cassandra dengan wajah memerah panas. “Cassie …,” suara Liora tercekat. “Kamu—itu siapa?” Cassandra langsung berdiri terburu-buru, wajahnya setengah panik. “Kamu selingkuh?” tanyanya dengan mata menyipit curiga. “Bukan seperti yang kamu pikir!” serunya cepat, rambutnya sedikit berantakan. “Dia kakak aku.” Liora menatap bergantian antara Cassandra dan pria itu, yang kini berdiri dengan santainya, merapikan kemeja putihnya. Aura karismatiknya membuat Liora terpukau. “Kakak?” suara Liora nyaris bergetar. “Iya. Jawab Cassandra c
Ruang resepsi hotel mewah itu mulai lengang. Sisa wangi mawar putih dan parfum tamu masih menggantung di udara, bercampur dengan senyum lelah para keluarga yang baru saja mengantarkan Alex dan Lilian ke mobil untuk bulan madu.Cassandra berdiri di depan kaca besar di lorong hotel, mengenakan dress satin warna gading yang memeluk tubuhnya dengan lembut. Rambutnya digulung rapi, beberapa helai terlepas di sisi wajah, membingkai ekspresi tenangnya yang nyaris beku.Di ponselnya, notifikasi masuk dari Ervan, kekasihnya. “[Aku udah di depan, Cassie. Aku antar kamu ke asrama.]”Gadis itu mendesah pelan, lalu perlahan mengetik pesan balasan untuk kekasihnya itu. Tak berselang lama, ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari Ervan. Jemarinya dengan cepat menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu. “Cassie, kamu dimana?” Tanya Ervan, terduduk di kursi kemudi mobilnya sembari menatap bangunan hotel mewah di sampingnya. “Aku lagi nunggu mama sama papa dulu, Van. Tunggu bentar, ya.”







