Share

Keramas

Author: Siska_ayu
last update Last Updated: 2021-10-07 10:53:28

Pov Fajar

Berduaan dengan yang bukan mahram itu ternyata memang benar sangat besar bahayanya. Pantas saja agama sudah  mewanti-wanti agar jangan pernah mendekati zina. Mendekatinya saja sudah dilarang. Apalagi sampai melakukannya. Karena terkadang tanpa niat pun, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan.

Ya, seperti yang aku alami saat ini. Sedikitpun aku tidak berniat untuk berbuat sejauh itu dengan Rina. Tapi karena kesempatan dan keadaan yang begitu mendukung, membuatku terperosok ke dalam jurang kenistaan. Aku khilaf, aku kalap.

Aku telah merampas yang bukan hakku. Bahkan dia masih berstatus istri Doni, yang juga temanku.

Setelah h*sratku tertunaikan, aku terkulai lemas. Napas Rina pun terdengar masih terengah-engah. Wanita berkulit sawo matang itu terlihat segera merapikan bajunya dan mulai mengancingkannya satu demi satu. Juga merapikan kembali jilbab yang bahkan masih melekat di kepalanya.

"Maafkan aku. Aku tidak pernah berniat berbuat sejauh ini denganmu. Maafkan aku yang telah lancang padamu." Aku berkata pelan sambil merapikan bajuku yang berantakan. Aku benar-benar malu.

Aku mengusap wajah dengan kasar. Sadar kalau aku dan Rina sudah membuat kesalahan besar, bahkan teramat besar. Kami sudah mengkhianati pernikahan kami masing-masing.

"Mas, tentang saja. Aku jamin tidak akan ada orang yang tau dengan apa yang sudah terjadi barusan. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita," ujar Rina seolah menenangkanku yang memang terlihat sangat gelisah.

Aku hanya mengangguk lemah.

Bayangan Ayu dan Putra sedang tertawa bahagia menari-nari di pelupuk mata. Kebersamaan kami yang begitu bahagia semakin terlihat nyata dalam bayangan itu. Rasanya aku tidak sanggup kalau suatu saat harus kehilangan mereka karena dosa yang telah aku lakukan. Tapi kini semuanya sudah terlanjur terjadi. Aku terlanjur telah mengkhianatinya. Aku terlanjur mengkhianati pernikahan suci kami.

Kringgg Kringggg kringggg

Panggilan telepon membuyarkan lamunanku. Kuambil benda pipih itu dari dalam tas kerja yang disimpan di jok sebelah. Ternyata Ayu yang menelepon. Dia pasti khawatir karena aku belum pulang dan aku juga tidak mengabarinya.

Aku mengabaikan panggilan itu tanpa berniat mengangkatnya. Aku belum sanggup berbicara dengannya. Hatiku masih begitu berdebar. Masih belum percaya dengan apa yang telah kulakukan barusan.

"Ayo pulang," ucapku pada Rina sambil membuka pintu mobil dan pindah kembali ke depan untuk mengemudi.

Aku mengemudi dengan perasaan kacau. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Menyelami perasaan bersalah pada pasangan masing-masing. Andai waktu bisa diputar, aku ingin semua ini tidak pernah terjadi. Aku telah melakukan dosa yang sangat besar. Aku telah berzina. Aku begitu kotor, aku begitu hina.

Aku telah mengkhianati Ayu. Aku juga telah mengkhianati Doni. Aku menyakiti mereka. Semoga saja apa yang Rina katakan tadi benar. Kalau semua ini hanya akan menjadi rahasia kami berdua.

"Mas stop mas, sudah sampai," ucap Rina sambil menepuk bahuku pelan.

"Oh iya, maaf." Aku menginjak pedal rem.

"Makasih, ya mas. Hati-hati pulangnya. Jangan sambil ngelamun," pesan Rina sambil membuka pintu mobil dan segera turun.

Bagaimana aku bisa konsentrasi menyetir kalau pikiranku kemana-mana. Pikiranku benar-benar kacau. Bagaimana tidak, ini untuk pertama kalinya aku menyentuh tubuh wanita lain, wanita yang begitu haram untukku.

Meski begitu, aku tetap melajukan mobilku. Menyusuri jalanan menuju rumahku. Tempat orang yang begitu ku sayangi menunggu.

Kriingg kringg kringgg

Lagi-lagi gawaiku berbunyi. Itu pasti Ayu lagi. Aku segera menepikan mobil ke pinggir untuk mengangkat telepon dari Ayu.

"Assalamu'alaikum, Mas. Kamu, kok, belum pulang? Kamu juga enggak ngabarin aku. Biasanya juga kalau telat suka ngabarin dulu. Aku khawatir, Mas." Ayu memberondongku dengan pertanyaan sesaat setelah aku mengangkat teleponnya.

Aku menarik napas dalam agar sedikit tenang, berharap rongga dada yang sesak terisi kembali dengan sedikit oksigen.

"Wa'alaikum salam, Sayang. Ini Mas sudah di jalan kok. Maaf Mas tadi ada meeting, sibuk banget jadi enggak sempat ngabarin. Maaf ya?" jawabku berbohong.

"Oh gitu ya, Mas? Ya sudah enggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja. Enggak tau kenapa perasaanku ga enak. Aku takut terjadi apa-apa kalau Mas enggak ada ngabarin," ucapnya lagi dengan nada cemas.

"Mas, baik-baik saja, kok, Sayang. Kamu ga usah khawatir. Kamu mau titip apa?" tanyaku.

"Ga usah, Mas. Aku masak opor ayam kampung kesukaanmu. Aku juga bikin bolu pandan keju," jawabnya.

"Ya sudah kalau gitu, Mas lanjut jalan lagi ya, biar cepat sampai. Tolong siapkan air hangat buat Mas mandi," pintaku.

"Siap, Mas. Hati-hati dijalan." Sambungan pun terdengar terputus.

Aku kembali menancap gas. Membelah jalanan yang licin bekas guyuran air hujan. Mencoba menenangkan hati. Sambil terus berdoa agar Ayu tidak pernah curiga apalagi mengetahui apa yang sudah dilakukanku dengan Rina.

***

Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Aku pijit klakson mobil agar Ayu tau aku sudah datang.

Ayu terlihat keluar dari rumah. Berdiri di depan pintu sambil tersenyum, menungguku turun dari mobil. Wanita yang sudah menemaniku selama delapan tahun itu mengenakan home dress  merah muda selutut dengan sedikit motif bunga-bunga. Rambutnya di ikat ke atas. Cantik sekali.

Bergegas aku turun dan segera menghampirinya sambil mengucapkan salam. Seperti biasa, dia akan mengulurkan tangannya untuk mencium tanganku. Dengan ragu aku pun mengulurkan tanganku. Tangan kotor yang beberapa saat yang lalu telah menyentuh wanita lain selain istriku.

"Capek ya, Mas?" tanyanya sambil mengambil tas kerja dari tanganku.

"Yuk, masuk. Aku sudah siapkan teh hangat. Air hangat untuk mandi juga udah siap," lanjutnya lagi.

Hatiku serasa tercabik. Di sini dia menungguku dengan setia, tapi di luar aku justru mengkhianatinya.

"Maafkan aku, istriku. Ampuni aku," gumamku dalam hati sambil berjalan mengikutinya masuk ke dalam rumah.

Di dalam basuhan air hangat aku menangis tergugu. Menangisi kebodohanku yang telah mengkhianati Ayu. Aku mulai membasuh tubuhku. Namun sebelumnya aku berwudu dahulu. Aku ingin bersuci dari hadas besar yang telah bersetubuh.  Tapi apa mungkin mandi junubku di terima. Sementara aku melakukannya dengan wanita lain, bukan dengan wanita yang telah halal untukku.

Aku basuh jengkal demi jengkal tubuhku yang hina. Tubuh yang telah berbagi peluh dengan wanita lain.

Setelah selesai mandi, aku keluar kamar mandi hanya dengan berbalut handuk.

"Tumben kamu keramas lagi, Mas? Bukankah tapi pagi sudah keramas?" tanya Ayu yang ternyata sedang memperhatikanku. Bersidekap kedua tangannya di dada sambil bersender di pinggir ranjang.

"I-Iya, dek. Kepala mas gatel. Soalnya tadi siang kan panas banget, gerah," jawabku tergagap sambil pura-pura membuka pintu lemari yang ada di sebelah ranjang tidur kami untuk menutupi kegugupanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENTUHAN HARAM SUAMIKU   Extra part

    Sentuhan Haram SuamikuExtra part"Bagaimana para saksi? Sah?""Sah."Riuh terdengar kata 'sah' dari semua orang yang berada di ruangan besar bercat nuansa putih tersebut.Di depan sana, Mas Fajar terlihat masih gagah dan tampan dengan balutan jas hitam senada dengan celana yang dikenakan. Tangannya terlihat berkali-kali mengusap sudut matanya yang mulai basah. Ketegangan yang tadi begitu tergambar jelas dari wajahnya, kini berangsur hilang berganti kelegaan dan keharuan.Gadis 20 tahun yang duduk di sampingku, meremas pelan tanganku, lalu menggenggamnya erat. Aku menoleh, dia tersenyum simpul sambil mengusap jejak air mata yang tadi sempat jatuh di pipi.Ya, gadis itu bernama Fitri. Anak ketiga dariku dan Mas Fajar. Dua bulan setelah liburan berdua bersama Mas Fajar, aku dinyatakan hamil. Sungguh anugrah yang luar biasa. Menambah keharmonisan keluarga kami yang sebelumnya memang telah kembali harmonis.Di sisi yang lain,

  • SENTUHAN HARAM SUAMIKU   Akhir kisah ini

    Sentuhan Haram SuamikuSelalu ada harapan ketika kita masih mengingat Alloh. Aku selalu yakin, Rob-ku akan selalu memberikan jalan yang terbaik untuk hamba-Nya.Aku dan Neni terus menjaga Mas Fajar bergantian. Neni sempat pulang dulu tadi siang untuk membawa baju ganti untuknya sekaligus untukku. Juga keperluan lainnya selama kami berada di RS. Sesekali aku melakukan video call dengan ibu dan anak-anak. Melepaskan kerinduan yang menggelayut dalam dada.Tak lupa aku selalu berbisik tepat di telinga Mas Fajar yang sedang melawan maut, untuk berjuang agar bisa kembali bersama di tengah-tengah keluarga kecil kami. Selalu kubisikkan kata-kata penyemangat untuknya. Berharap meskipun dia belum sadar, tapi mampu mendengar apa yang kukatakan.Setiap selesai salat 5 waktu di masjid RS yang letaknya tak begitu jauh dari ruang ICU, tak henti-hentinya aku mengiba, tak hentinya aku merayu pada sa

  • SENTUHAN HARAM SUAMIKU   Kritis

    Sentuhan Haram SuamikuAroma kayu putih samar terendus penciumanku. Perlahan aku membuka mata. Kepala masih sedikit terasa pusing."Yu, kamu kenapa?" Ibu terlihat cemas. Tangan beliau terus saja menggosok kakiku.Pertanyaan ibu membuatku mengingat telepon yang baru saja aku terima."Mas Fajar, Bu." Aku menangis meraung-raung."Fajar, kenapa?" tanya ibu panik."Mas Fajar kecelakaan."Aku terus saja menangis, tak mempedulikan adanya anak-anak yang memperhatikan dengan mimik tak mengerti."Astaghfirullah, Yu. Terus sekarang gimana? Di mana?" tanya ibu lagi."Tadi polisi bilang, Mas Fajar sudah dibawa ke RS Mitra Husada.""Kamu tenang. Tarik napas dalam-dalam, istighfar. Kamu harus ke sana sekarang. Tapi kami harus tenangkan diri dulu," ujar Ibu.Aku pun menurut. Aku mengucap istighfar berkali-kali. Menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan."Ini sudah malam, Bu

  • SENTUHAN HARAM SUAMIKU   Kecelakaan

    Sentuhan Haram Suamiku"Kamu tidak tau, betapa kesepiannya aku setiap hari sendirian di rumah. Apalagi kalau anak-anak sudah tidur. Sementara kamu juga belum pulang. Harus sama siapa aku bercerita, Mas? Coba lihat kembali ponselmu, apa kamu sering mengirimkan pesan untukku? Jarang bukan? Kalau bukan aku duluan yang mengirimkan pesan, sekedar untuk bertanya, apa Mas sudah makan siang atau belum." Aku berbicara dengan nada lumayan tinggi, meluapkan emosi yang selama ini terpendam.Air mata terus saja berjatuhan. Membasahi pipi yang tadi sempat dipoles bedak.Mas Fajar memegang kedua bahuku, merengkuh tubuhku dalam pelukannya."Maafkan aku, ya, Dek. Semua ini memang salahku. Aku belum bisa membahagiakanmu. Hanya luka dan air mata yang selalu aku berikan padamu. Maafkan aku, jika perhatianku padamu berkurang akhir-akhir ini," ucap Mas Fajar dengan suara parau. Tubuhnya masih memeluk tubuhku. Kurasakan guncangan dari tubuhnya. Ternyata dia ikut m

  • SENTUHAN HARAM SUAMIKU   Kecemburuan Fajar

    Sentuhan Haram Suamiku"Kamu nggak usah khawatir, aku baik-baik saja. Semua itu hanya masa lalu. Suamiku hanya sedang khilaf waktu itu. Tapi bukan berarti dia suami yang tidak baik. Toh tidak ada manusia yang benar-benar sempurna." Akhirnya aku menjawab setelah aku bisa mengontrol hatiku menjadi lebih stabil."Syukurlah kalau begitu. Semoga suamimu tidak lagi menyakiti wanita baik sepertimu. Kalau kamu merasa tersakiti lagi, jangan ragu untuk pergi. Ingat, di luar sana masih banyak yang mengidamkan wanita baik dan setia sepertimu, termasuk aku." Ucapan Bambang membuatku merasa sedikit tak nyaman. Aku jadi salah tingkah. Takut kalau ternyata Bambang benar-benar masih mengharapkanku."Aku pulang dulu, ya. Sudah lewat waktu duhur ini." Aku melirik jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan. "Anak-anak juga sebentar lagi sudah waktunya tidur siang," lanjutku lagi.Bambang mengangguk ragu. Dari wajahnya masih tergambar jelas kecemasan.

  • SENTUHAN HARAM SUAMIKU   Perhatian Bambang

    Sentuhan Haram Suamiku[ Jangannnn][ Memangnya kenapa kalo aku ke rumahmu?][ Ya ... ga apa-apa sih, nggak enak aja sama tetangga. Kecuali lagi ada suamiku di rumah.][ Ogah, ah. Suamimu kan ga suka sama aku.]Ya, memang benar. Mas Fajar memang ga suka sama Bambang. Teringat kejadian beberapa belas tahun lalu, saat aku masih kuliah. Bambang yang sedang pulang ke kota ini, memintaku menemaninya mencari buku di mall dekat kampusku kuliah. Sore, sekitar pukul empat sore setelah habis mata kuliah, aku pun menemani Bambang sesuai permintaannya. Setelah buku yang dicari Bambang ditemukan, dia mengajakku untuk makan terlebih dahulu di food court yang ada di lantai tiga mall terbesar di kotaku itu. Entah dapat informasi dari mana, ternyata Mas Fajar mengetahuinya. Malam itu malam Minggu. Mas Fajar menemuiku dan menanyakan langsung padaku. Aku menjawabnya dengan jujur, toh aku dan Bambang hanya teman, dan kami tidak melakukan apapun. Tapi Mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status