Share

Keramas

Pov Fajar

Berduaan dengan yang bukan mahram itu ternyata memang benar sangat besar bahayanya. Pantas saja agama sudah  mewanti-wanti agar jangan pernah mendekati zina. Mendekatinya saja sudah dilarang. Apalagi sampai melakukannya. Karena terkadang tanpa niat pun, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan.

Ya, seperti yang aku alami saat ini. Sedikitpun aku tidak berniat untuk berbuat sejauh itu dengan Rina. Tapi karena kesempatan dan keadaan yang begitu mendukung, membuatku terperosok ke dalam jurang kenistaan. Aku khilaf, aku kalap.

Aku telah merampas yang bukan hakku. Bahkan dia masih berstatus istri Doni, yang juga temanku.

Setelah h*sratku tertunaikan, aku terkulai lemas. Napas Rina pun terdengar masih terengah-engah. Wanita berkulit sawo matang itu terlihat segera merapikan bajunya dan mulai mengancingkannya satu demi satu. Juga merapikan kembali jilbab yang bahkan masih melekat di kepalanya.

"Maafkan aku. Aku tidak pernah berniat berbuat sejauh ini denganmu. Maafkan aku yang telah lancang padamu." Aku berkata pelan sambil merapikan bajuku yang berantakan. Aku benar-benar malu.

Aku mengusap wajah dengan kasar. Sadar kalau aku dan Rina sudah membuat kesalahan besar, bahkan teramat besar. Kami sudah mengkhianati pernikahan kami masing-masing.

"Mas, tentang saja. Aku jamin tidak akan ada orang yang tau dengan apa yang sudah terjadi barusan. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita," ujar Rina seolah menenangkanku yang memang terlihat sangat gelisah.

Aku hanya mengangguk lemah.

Bayangan Ayu dan Putra sedang tertawa bahagia menari-nari di pelupuk mata. Kebersamaan kami yang begitu bahagia semakin terlihat nyata dalam bayangan itu. Rasanya aku tidak sanggup kalau suatu saat harus kehilangan mereka karena dosa yang telah aku lakukan. Tapi kini semuanya sudah terlanjur terjadi. Aku terlanjur telah mengkhianatinya. Aku terlanjur mengkhianati pernikahan suci kami.

Kringgg Kringggg kringggg

Panggilan telepon membuyarkan lamunanku. Kuambil benda pipih itu dari dalam tas kerja yang disimpan di jok sebelah. Ternyata Ayu yang menelepon. Dia pasti khawatir karena aku belum pulang dan aku juga tidak mengabarinya.

Aku mengabaikan panggilan itu tanpa berniat mengangkatnya. Aku belum sanggup berbicara dengannya. Hatiku masih begitu berdebar. Masih belum percaya dengan apa yang telah kulakukan barusan.

"Ayo pulang," ucapku pada Rina sambil membuka pintu mobil dan pindah kembali ke depan untuk mengemudi.

Aku mengemudi dengan perasaan kacau. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Menyelami perasaan bersalah pada pasangan masing-masing. Andai waktu bisa diputar, aku ingin semua ini tidak pernah terjadi. Aku telah melakukan dosa yang sangat besar. Aku telah berzina. Aku begitu kotor, aku begitu hina.

Aku telah mengkhianati Ayu. Aku juga telah mengkhianati Doni. Aku menyakiti mereka. Semoga saja apa yang Rina katakan tadi benar. Kalau semua ini hanya akan menjadi rahasia kami berdua.

"Mas stop mas, sudah sampai," ucap Rina sambil menepuk bahuku pelan.

"Oh iya, maaf." Aku menginjak pedal rem.

"Makasih, ya mas. Hati-hati pulangnya. Jangan sambil ngelamun," pesan Rina sambil membuka pintu mobil dan segera turun.

Bagaimana aku bisa konsentrasi menyetir kalau pikiranku kemana-mana. Pikiranku benar-benar kacau. Bagaimana tidak, ini untuk pertama kalinya aku menyentuh tubuh wanita lain, wanita yang begitu haram untukku.

Meski begitu, aku tetap melajukan mobilku. Menyusuri jalanan menuju rumahku. Tempat orang yang begitu ku sayangi menunggu.

Kriingg kringg kringgg

Lagi-lagi gawaiku berbunyi. Itu pasti Ayu lagi. Aku segera menepikan mobil ke pinggir untuk mengangkat telepon dari Ayu.

"Assalamu'alaikum, Mas. Kamu, kok, belum pulang? Kamu juga enggak ngabarin aku. Biasanya juga kalau telat suka ngabarin dulu. Aku khawatir, Mas." Ayu memberondongku dengan pertanyaan sesaat setelah aku mengangkat teleponnya.

Aku menarik napas dalam agar sedikit tenang, berharap rongga dada yang sesak terisi kembali dengan sedikit oksigen.

"Wa'alaikum salam, Sayang. Ini Mas sudah di jalan kok. Maaf Mas tadi ada meeting, sibuk banget jadi enggak sempat ngabarin. Maaf ya?" jawabku berbohong.

"Oh gitu ya, Mas? Ya sudah enggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja. Enggak tau kenapa perasaanku ga enak. Aku takut terjadi apa-apa kalau Mas enggak ada ngabarin," ucapnya lagi dengan nada cemas.

"Mas, baik-baik saja, kok, Sayang. Kamu ga usah khawatir. Kamu mau titip apa?" tanyaku.

"Ga usah, Mas. Aku masak opor ayam kampung kesukaanmu. Aku juga bikin bolu pandan keju," jawabnya.

"Ya sudah kalau gitu, Mas lanjut jalan lagi ya, biar cepat sampai. Tolong siapkan air hangat buat Mas mandi," pintaku.

"Siap, Mas. Hati-hati dijalan." Sambungan pun terdengar terputus.

Aku kembali menancap gas. Membelah jalanan yang licin bekas guyuran air hujan. Mencoba menenangkan hati. Sambil terus berdoa agar Ayu tidak pernah curiga apalagi mengetahui apa yang sudah dilakukanku dengan Rina.

***

Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Aku pijit klakson mobil agar Ayu tau aku sudah datang.

Ayu terlihat keluar dari rumah. Berdiri di depan pintu sambil tersenyum, menungguku turun dari mobil. Wanita yang sudah menemaniku selama delapan tahun itu mengenakan home dress  merah muda selutut dengan sedikit motif bunga-bunga. Rambutnya di ikat ke atas. Cantik sekali.

Bergegas aku turun dan segera menghampirinya sambil mengucapkan salam. Seperti biasa, dia akan mengulurkan tangannya untuk mencium tanganku. Dengan ragu aku pun mengulurkan tanganku. Tangan kotor yang beberapa saat yang lalu telah menyentuh wanita lain selain istriku.

"Capek ya, Mas?" tanyanya sambil mengambil tas kerja dari tanganku.

"Yuk, masuk. Aku sudah siapkan teh hangat. Air hangat untuk mandi juga udah siap," lanjutnya lagi.

Hatiku serasa tercabik. Di sini dia menungguku dengan setia, tapi di luar aku justru mengkhianatinya.

"Maafkan aku, istriku. Ampuni aku," gumamku dalam hati sambil berjalan mengikutinya masuk ke dalam rumah.

Di dalam basuhan air hangat aku menangis tergugu. Menangisi kebodohanku yang telah mengkhianati Ayu. Aku mulai membasuh tubuhku. Namun sebelumnya aku berwudu dahulu. Aku ingin bersuci dari hadas besar yang telah bersetubuh.  Tapi apa mungkin mandi junubku di terima. Sementara aku melakukannya dengan wanita lain, bukan dengan wanita yang telah halal untukku.

Aku basuh jengkal demi jengkal tubuhku yang hina. Tubuh yang telah berbagi peluh dengan wanita lain.

Setelah selesai mandi, aku keluar kamar mandi hanya dengan berbalut handuk.

"Tumben kamu keramas lagi, Mas? Bukankah tapi pagi sudah keramas?" tanya Ayu yang ternyata sedang memperhatikanku. Bersidekap kedua tangannya di dada sambil bersender di pinggir ranjang.

"I-Iya, dek. Kepala mas gatel. Soalnya tadi siang kan panas banget, gerah," jawabku tergagap sambil pura-pura membuka pintu lemari yang ada di sebelah ranjang tidur kami untuk menutupi kegugupanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status