Pov Fajar
Menyembunyikan sebuah dosa besar itu ternyata tidak mudah. Perasaan cemas dan bersalah terus saja menghantuiku.
"Mas, solat dulu sana. Habis itu baru kita makan," ucap Ayu sambil berjalan hendak keluar kamar setelah melihat aku selesai berpakaian.
Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.
Gegas aku hamparkan sajadahku. Berdiri tegak untuk melakukan kewajibanku kepada Rob-ku. Solatku kali ini terasa benar-benar tidak khusuk. Pikiranku kacau. Bayangan perbuatan kotorku terus berkelebat. Dalam hati kecilku aku menduga-duga, apakah solat orang kotor sepertiku akan diterima. Sementara beberapa saat sebelumnya aku telah berbuat dosa yang sangat besar.
Meski dengan perasaan tak menentu, aku tetap menyelesaikan solatku. Kuangkat kedua tangan, menengadahkan wajahku menghadap Rob-ku. Memohon ampunan sebesar-besarnya atas dosa besar y
Pov FajarSelama beberapa hari aku berusaha terus menghindar dari Rina. Aku pun tidak pernah mengantarnya pulang lagi. Meski masih sering ku lihat dia duduk di pinggir jalan menunggu angkot seperti biasa. Tapi aku coba abaikan dan tak memperdulikannya.Rina memang pernah beberapa kali mengirim pesan padaku.[ Yang, masih sibuk ]Begitu isi pesannya. Entahlah apa maksudnya. Mungkin dia ingin meminta aku mengantarnya pulang lagi. Tapi dia merasa canggung untuk berkata langsung. Aku lebih memilih mengabaikan pesannya tanpa sedikitpun berniat membalas.Tapi ternyata pesan itu lupa dihapus karena aku terburu-buru pulang. Dan pesan itu terbaca oleh Ayu yang memang sering meminjam ponselku. Aku dan Ayu memang tidak pernah mengunci ponsel kami. Sehingga kami bebas membukanya satu sama lain.Ayu marah, menangis, mendiamkanku sampai berhari-hari lamanya, meskipun aku sudah berkali-kali meminta maaf dan menjelaskan kalau itu hanya salah f
Dering alarm dari gawaiku terdengar menjerit-jerit, mengganggu tidurku yang terasa baru beberapa menit. Entah jam berapa aku tertidur. Mungkin hanya sekitar 2 jam, kurang lebih. Membuat kepalaku terasa sakit dan berat.Kulirik jam dinding yang tergantung di kamar Putra, ternyata sudah pukul tiga. Mau tidak mau aku cepat-cepat bangun untuk segera menyiapkan makanan untuk sahur.Kupercepat langkah untuk mematikan alarm agar tidak menggangu tidur Putra. Aku mencari sumber suara alarm itu, lupa menyimpannya dimana. Dan ternyata tergeletak di kursi ruang tamu. Lekas aku mematikannya.Dengan sedikit terhuyung aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Basuhan air wudhu terasa begitu menyejukkan di kulitku.Kugelar sajadah untuk menunaikan salat malamku. Mengadu kepada Rob-ku atas semua masalah yang sedang aku alami. Biasanya manusia akan lebih khusuk dan dek
Aku harus kuat. Aku enggak boleh lemah. Untuk apa aku menangisi orang yang sudah tega menyakitiku. Aku harus fokus untuk masa depanku dan anakku. Aku masih punya Putra sebagai semangat dan kekuatanku.Kuatur napas baik-baik, menghirupnya lalu mengembuskannya. Beberapa kali. Kuusap jejak air mata di kedua pipi, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.Kubasuh wajah dengan air agar mataku tidak terlalu bengkak. Mengambil wudhu untuk melakukan sholat dhuha dan kembali menumpahkan semua segala sesak di dadaku hanya pada Rob-ku.Selesai salat bergegas aku menuju ke meja rias, sedikit memoleskan bedak diwajahku yang terlihat menyedihkan karena terlalu banyak menangis.Aku ingin sekali bercerita, tapi tidak tau harus bercerita kepada siapa. Rumahku memang dekat dengan rumah orang tuaku, tapi sekarang ibuku sedang pergi keluar kota untuk menemui ayah yang bekerja di sana. Jika aku bercerita kepada orang lain, aku takut aib rumah ta
Malam ini aku tidak bisa tidur. Mata ini rasanya sulit sekali untuk terpejam. Sementara Putra yang ada di sampingku, sudah tidur dengan lelapnya. Meskipun banyak drama yang harus aku hadapi sejak buka puasa tadi.Putra terus saja menanyakan ayahnya kenapa belum pulang. Terpaksa aku berbohong. Aku bilang kalau Bu Yati, mertuaku sedang sakit. Jadi Mas Fajar menginap di sana untuk beberapa hari.Putra juga enggan pergi tarawih kalau tidak sama ayahnya."Putra mau pergi tarawih sama ayah, Bun, kalau enggak sama ayah, Putra di rumah saja!" rengeknya manja sambil melipat kedua tangannya di dada."Kan ada bunda yang nemenin Putra? Berangkat sama ayah ataupun bunda sama saja. Yang penting niat kita kan ibadah. Sayang lho, tarawih itu kan cuma di bulan Ramadhan saja. Lagian nanti kan di masjid banyak teman-teman Putra," bujukku sambil berjongkok dan mengusap wajahnya dengan lembut.
Matahari terlihat sudah menampakkan sinarnya. Cahayanya begitu hangat masuk ke dalam rumahku melalui kaca jendela yang sudah terbuka tirainya sedari tadi.Sementara aku masih berada di tempat tidur, lengkap dengan selimut yang masih membelit tubuhku. Biasanya setelah solat subuh dan bertadarus, aku langsung berkutat dengan segala rutinitasku. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian, menyapu dan mengepel lantai. Tapi entah kenapa hari ini rasanya aku malas untuk mengerjakan apapun. Kepalaku rasanya pusing. Perutku juga mual. Ah, ini pasti gara-gara aku tidur lagi setelah subuh. Bukankah setelah subuh itu harusnya jangan tidur lagi? Begitu yang aku tahu menurut kesehatan.Dengan berat aku mulai menurunkan kakiku. Menapakkan kedua kakiku ke dasar lantai yang justru masih terasa dingin di kulit. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan hari ini. Selain mengerjakan pekerjaan rumahku, aku juga harus membersihkan rumah
Duduk di kursi sambil memainkan jari-jari tanganku untuk sedikit meredakan ketegangan. Sementara Bidan Leni terlihat sedang menunggu hasil dari test pack itu dengan terus memegangnya dan memperhatikannya. "Selamat ya, Ibu ternyata positif hamil," ucap Bidan Leni sambil menyerahkan benda pipih kecil berwarna putih biru tersebut. Aku menerima benda itu, sedikit tertegun melihat dua garis merah di alat tes kehamilan itu. "Silakan naik ke sini, Bu!" lanjut Bidan Leni sambil menepuk ranjang pasien yang terletak tak jauh dari mejanya. Aku mulai menghampiri dan berbaring di atas ranjang tersebut. Bidan Leni kemudian memeriksa perutku dengan sedikit menekannya. Dan kembali memeriksa tensi darahku. "Sudah, Bu. Ibu duduk kembali ya!" ujar Bidan Leni yang kembali duduk di kursinya. Aku pun mengikutinya dan duduk berhadapan dengan Bidan Leni. "Usia kehamilan Ibu sepertinya masih sangat muda. Diperkirakan mungkin masih se
SENTUHAN HARAM SUAMIKUBab 15Pov FajarSudah tiga hari aku tidak pulang ke rumahku. Rasanya kangen sekali pada Ayu juga Putra. Entah apa yang akan kurasakan kalau sampai aku harus benar-benar berpisah dengan Ayu. Sepertinya aku tidak akan sanggup. Tidak bertemu tiga hari saja, rasanya bagaikan tiga tahun.Aku tahu kesalahanku sangat fatal. Sudah menyakiti Ayu dan mengkhianati pernikahan kami. Tapi aku benar-benar tidak ingin berpisah dengannya. Aku sangat mencintainya. Aku tidak tahu harus bagaimana agar Ayu sudi memaafkanku dan memberikan kesempatan kedua kepadaku.Setiap hari aku mencoba mengirim pesan pada Ayu. Tapi tak pernah di responnya walaupun Ayu membukanya. Apa Ayu sangat membenciku sekarang? Ah, pertanyaan macam apa ini. Sudah pasti dia sangat membenciku."Pak Fajar, tolong di selesaikan dengan segera ya, berkas-berkas ini!" Perkataan Yuni, asisten atasanku membuyarkan lamunanku sambil menyimpan setumpuk berkas di meja kerjaku.
Aku mengintip dari jendela kamar. Ternyata memang benar, Mas Fajar yang datang. Rasanya aku belum siap untuk bertemu dengannya. Melihat kembali wajahnya membuat hatiku terasa tersayat lagi. Luka ini masih begitu basah.Mas Fajar terlihat turun dari mobilnya. Menggunakan kemeja biru dongker dengan sedikit garis-garis putih terlihat sangat pas dengan kulitnya yang putih. Kemeja itu hadiah ulang tahun dariku beberapa bulan yang lalu. Sayang, ketampanan yang membuat hatiku dulu luluh telah dicicipi wanita lain.Mas Fajar terlihat menggendong Putra yang sudah menyambut kedatangannya. Mencium wajah anak yang hampir mirip dengannya itu berkali-kali. Terlihat jelas sekali kerinduan yang sama-sama dirasakan ayah dan anak tersebut."Assalamu'alaikum."Terdengar derap langkah Mas Fajar mulai memasuki rumah dengan mengucap salam. Hening. Aku terdiam. Bukan tak ingin menjawab salamnya. Tapi aku lebih memilih menjawab salamnya cukup dalam hatiku.