Home / Urban / SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT / Keputusan di ujung jurang

Share

SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT
SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT
Author: Nola N.

Keputusan di ujung jurang

Author: Nola N.
last update Last Updated: 2025-10-22 22:55:12

​Elara menatap layar monitor di ruang tunggu rumah sakit dengan pandangan kosong. Jantungnya berdenyut mengikuti irama garis datar pada mesin ECG ibunya.

​Rasio biaya operasi vs sisa tabungan: 15:1.

​Ayahnya telah meninggal dua bulan lalu, meninggalkan tumpukan utang dan ibunya dengan kondisi jantung kritis yang membutuhkan operasi bypass segera. Elara, dengan gaji asisten pribadi direktur pemasaran di Chandra Group, tahu ia berada di ambang kehancuran. Ia butuh keajaiban, atau setidaknya, sebuah keajaiban uang.

​"Nona Elara?"

​Seorang dokter muda menghampirinya, wajahnya menunjukkan simpati yang tulus. "Kami tidak bisa menunda lebih lama, Nona. Jantung Ibu Elara memburuk. Kami butuh uang muka hari ini juga. Setidaknya setengah dari total biaya."

​Dunia Elara seolah runtuh. Setengah dari total biaya. Lima ratus juta. Ia tidak memilikinya.

​Elara bangkit, bergegas ke kantornya, Lantai 30, tanpa peduli ia terlambat. Ia langsung menemui Direktur Pemasaran, Pak Herman, pria tua yang baik hati, yang sudah ia layani dengan setia selama dua tahun.

​"Pak Herman, saya mohon, saya butuh pinjaman. Sebesar apa pun," pinta Elara, tanpa basa-basi. Ia tidak pernah memohon, tapi kali ini ia putus asa.

​Pak Herman menghela napas panjang di balik mejanya. "Elara, saya tahu kondisi ibumu, dan saya turut prihatin. Tapi pinjaman dari perusahaan sebesar itu mustahil. Apalagi untuk level staf seperti kamu."

​Harapan Elara meredup. Ia menunduk.

​"Namun..." Pak Herman menjeda, suaranya mengecil. "Ada satu jalan."

​Elara mendongak cepat, matanya memohon. "Apa pun, Pak."

​"Tuan Ares. Dia... dia sedang mencari cara untuk melunasi utang masa lalu perusahaan dan dirinya sendiri. Dia bisa melunasi semua utangmu. Bukan pinjaman, Elara. Tapi... kesepakatan."

​Napas Elara tercekat. Ares Dirgantara? CEO Chandra Group. Pria yang dielu-elukan, ditakuti, dan terkenal kejam dalam urusan bisnis dan pribadi.

​"Kesepakatan apa?" tanya Elara, tenggorokannya tercekat.

​Pak Herman melihat jam tangannya dengan gugup. "Aku sudah atur. Dia menunggumu di ruang rapat utama Lantai 45. Sekarang juga. Jangan tanya aku detailnya. Tapi jika kamu putus asa, dia adalah jawabanmu. Ambil atau tinggalkan, Elara. Jangan sia-siakan kesempatan ini."

​Elara tidak berpikir dua kali. Ia tidak punya waktu untuk moralitas. Ada nyawa ibunya yang dipertaruhkan. Ia meraih tasnya dan bergegas menuju lift eksklusif.

​Lantai 45 terasa dingin dan sunyi. Elara berjalan menuju ruang rapat utama. Aroma parfum maskulin yang mahal sudah tercium dari luar pintu. Ia mengetuk.

​"Masuk," suara Ares yang dalam dan berwibawa langsung menyambutnya.

​Elara masuk. Ruangan itu gelap, hanya menyisakan lampu sorot kecil di atas meja marmer panjang. Ares sudah duduk di ujung meja, siluet tubuh tingginya terlihat menawan dengan setelan jas dark grey. Dia tidak menatap Elara. Dia hanya fokus pada segelas whiskey di depannya.

​"Duduk, Elara Putri," perintah Ares.

​Elara duduk di kursi terdekat. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, tapi karena harapan yang mematikan.

​Ares meletakkan gelasnya, lalu akhirnya mendongak. Mata birunya yang dingin menusuk Elara. Tatapan itu menelanjangi Elara, membuat Elara merasa semua kelemahannya terlihat.

​"Herman sudah menjelaskan situasimu. Ibumu sakit. Utangmu banyak," kata Ares, nadanya datar, seolah membahas laporan keuangan. "Aku benci orang yang datang padaku dengan masalah. Tapi aku suka orang yang bisa memberikan solusi."

​Ares mengeluarkan sebuah amplop tebal dari saku jasnya dan melemparkannya ke atas meja. Amplop itu meluncur pelan, berhenti tepat di depan Elara.

​"Di dalamnya ada cek. Jumlah yang cukup untuk menutupi semua biaya ibumu, dan utang-utangmu. Tentu saja, itu bukan gratis," lanjut Ares, menyeringai tipis.

​Elara menatap amplop itu, kemudian ke wajah Ares. "Apa yang Anda inginkan, Tuan?"

​Ares bersandar di kursinya, memasang ekspresi predator. "Aku ingin kau menandatangani dua kontrak. Pertama, kau menjadi asisten pribadiku, bekerja eksklusif hanya untukku. Kedua, untuk malam ini. Malam ini, kau bukan asisten. Kau akan menjadi pelarianku."

​Kata "pelarian" itu terasa seperti tamparan. Elara tahu apa maksudnya. Ares menginginkan tubuhnya, sebagai imbalan atas nyawa ibunya. Keputusan itu salah, sangat salah, tetapi Elara mengingat tatapan mata ibunya di rumah sakit.

​"Saya... saya tidak bisa, Tuan. Ini tidak profesional," tolak Elara, meskipun suaranya bergetar.

​Ares hanya tertawa kecil, tawa yang menusuk. Ia meraih gelas whiskey dan menyesapnya. "Profesional? Apa profesionalitasmu bisa membayar operasi jantung? Kau datang ke sini mencari nyawa, Elara. Dan aku menawarkan nyawa ibumu, dengan imbalan satu malam."

​Ares mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya membakar. "Aku tidak memaksamu, Elara. Tapi ingatlah, jika kau pergi sekarang, ibumu mungkin tidak akan melewati hari esok."

​Elara menatap amplop tebal yang berisi keselamatan ibunya. Ia menatap Ares, yang gairah dinginnya kini terpampang jelas. Ia menarik napas dalam-dalam, mengubur harga dirinya jauh di dalam.

​"Baik, Tuan Ares. Saya setuju. Satu malam," Elara berbisik, memejamkan mata, membiarkan jurang itu menelannya. delapan malam. Gedung Chandra Group menjulang gagah di tengah gemerlap Jakarta yang tak pernah tidur. Di lantai tiga puluh, Elara masih sibuk di mejanya. Jemarinya menari lincah di atas keyboard, menyelesaikan presentasi terakhir yang diminta oleh Direktur Pemasaran. Udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk kulit, tapi Elara sudah kebal. Lembur adalah sahabat karibnya sejak setahun bekerja di sini, demi gaji yang cukup untuk cicilan rumah sakit ibunya dan biaya sekolah adiknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Sandiwara Di Atas Kemewahan

    ​Elara berdiri mematung di tengah suite Presiden yang mewah di The Peninsula. Aroma laut dan kemewahan yang mahal memenuhi udara. Di hadapannya, Ares baru saja mengunci pintu kamar tamu, secara efektif memaksanya untuk berbagi kamar utama.​"Anda tidak punya hak melakukan ini, Tuan Ares," ujar Elara, suaranya berusaha tegas, meskipun ia tahu protesnya tidak ada gunanya.​Ares melepaskan blazernya, berjalan santai menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Pelabuhan Victoria yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi Hong Kong. "Hak? Kau lupa, Elara? Hakku kuberikan padamu dalam bentuk cek yang menyelamatkan ibumu. Kau tidak punya hak untuk menuntut apa pun selain kepatuhan."​Ares berbalik, seringainya meremehkan. "Lagipula, bagaimana aku bisa meyakinkan Tuan Leo bahwa kita adalah pasangan yang harmonis jika kau kabur ke kamar sebelah setiap malam? Aku perlu melatihmu. Physical proximity adalah bagian dari sandiwara ini."​Elara mengepalkan tangan. Ia harus melawan, tetapi

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Penanda Tangan Di tempat Asing

    ​Elara menghabiskan waktu dua jam yang diberikan Ares dalam keadaan syok. Ia tidak bisa bergerak dari meja tempat ia didudukkan. Tunangan Palsu. Status baru itu terasa lebih berat dan konyol daripada label Asisten Pribadi di kartu ID-nya. Ares telah mendorongnya ke dalam peran yang tak hanya mengikat fisiknya, tetapi juga reputasi sosialnya. ​Ia akhirnya memaksa dirinya bangun, memungut kalung perak ibunya yang patah dari lantai marmer. Kalung itu terasa dingin dan rapuh di tangannya, seperti sisa-sisa harga dirinya. ​Ketika ia berjalan ke kamar tidur utama, ia melihat kamar itu sangat luas, didominasi warna gelap dan pemandangan kota. Sebuah tas koper mewah sudah tersedia di atas ranjang king size. ​Elara mendekat. Di dalamnya, sudah tersedia paspor darurat, dokumen perjalanan, dan satu set pakaian yang Ares siapkan untuknya. Pria itu benar-benar mengendalikan setiap aspek kehidupannya, bahkan logistiknya. Ia merasa marah, namun rasa amarahnya tertutup oleh kepanikan. Hong Kong.

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Pertempuran kenikmatan

    Pengakuan Elara di ruangan kaca itu memicu respons yang eksplosif dari Ares. Ia telah mengakui bahwa ia milik Ares, dan kemenangan itu membuat Ares menyeringai puas, sebuah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada akuisisi bisnis mana pun.​"Bagus, Elara," kata Ares, suaranya dalam dan penuh hasrat. "Aku suka wanita yang jujur dengan perasaannya. Dan kebencianmu... itu hanya akan membuatku semakin bersemangat untuk membuatmu melupakannya dengan sentuhanku."​Ares menarik tubuh Elara lebih dekat. Sentuhannya kini menjadi lebih intens, menuntut, dan tanpa ampun. Elara merasakan semua kontrol dirinya menghilang. Sentuhan Ares terasa familiar, dan tubuhnya yang lelah melawan kini mulai menyerah. Ia tahu ia membenci Ares karena telah memaksanya, tetapi bagian gelap dalam dirinya mulai mengakui bahwa ia menginginkan sentuhan kuat dan dominasi itu. Ini adalah kenikmatan yang lahir dari keputusasaan, dan ia takut mengakui betapa adiktifnya hal itu.​Ares merobek gaun sutra di bahu Elara, s

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Permainan di ruang kaca

    ​Ares menarik Elara menjauh dari meja makan, membawanya ke sebuah ruangan di sudut penthouse. Ruangan itu seluruhnya berdinding kaca, menghadap langsung ke kota di bawah. Cahaya bulan menerangi ruangan itu, menciptakan siluet yang dramatis.​"Mengapa kita ke sini, Tuan?" tanya Elara, suaranya tercekat. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia harus terus melawan melalui kata-kata.​"Melihat pemandangan, tentu saja," jawab Ares, nadanya sarkastis. "Dan merayakan betapa jauhnya kita bisa jatuh bersama."​Ares menyudutkan Elara di dekat dinding kaca, di mana pemandangan kota terlihat seperti lukisan. Ia tidak menyentuh Elara, tetapi auranya sangat mengintimidasi.​"Aku akan memberimu dua pilihan, Elara," kata Ares. "Malam ini, kau bisa memilih untuk melayaniku sebagai asisten yang patuh, atau sebagai wanita yang menginginkanku."​Elara terdiam. Pilihan itu jebakan. Jika ia memilih yang pertama, Ares akan tetap menggunakan kuasanya untuk memaksanya. Jika ia memilih yang kedua, ia mengakui

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Gaun hitam dan penghancuran emosional

    ​Malam itu, pukul 20.30.​Elara berdiri di depan cermin, di dalam kamar mandi kantor Lantai 45. Gaun hitam satin yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahannya, melainkan karena beban kehinaan. Itu adalah gaun termahal dan paling terbuka yang pernah ia kenakan. Potongan V-neck rendah dan belahan paha tinggi itu terasa seperti kostum yang dipaksakan. Ia merasa seperti trofi yang dipoles untuk dipamerkan dan dikonsumsi.​"Ini demi Ibu," bisik Elara pada dirinya sendiri, menguatkan hati. Ia mencoba menghubungi ibunya, memastikan kondisinya stabil pasca-operasi. Laporan bahwa ibunya sudah pulih memberinya sedikit kedamaian, pengingat bahwa semua kehinaan ini ada tujuannya.​Pukul 21.00. Elara sampai di penthouse Ares. Ia disambut oleh pintu yang terbuka otomatis. Ares sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan celana bahan gelap dan kemeja silk hitam yang sedikit terbuka di dada. Ia terlihat santai, namun auranya tetap dominan dan berbahaya.​"Kau terlambat dua menit," kata Ares, ta

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Asisten dengan belenggu sutera

    Pagi hari, pukul 07.00.​Elara terbangun di sofa mewah penthouse Ares, dengan aroma cologne mahal yang tersisa di bantal sutra. Semalam suntuk Ares tidak kembali. Rasa lelah dan ketegangan membuat tidurnya nyaris tidak berkualitas. Ia segera menuju kamar mandi utama. Di sana, ia menemukan amenities mewah dan bahkan satu set pakaian baru—kemeja putih rapi, rok pensil hitam, dan blazer elegan—yang ukurannya pas. Ares benar-benar menyiapkan segalanya, seolah ia mempekerjakan model pribadinya.​Setelah merapikan diri, Elara menemukan notes baru di atas meja dapur marmer.​Aku akan menjemputmu. 08.00. Jangan terlambat.​— Ares.​Tak ada pilihan. Elara hanya punya waktu sepuluh menit untuk sarapan buah yang sudah tersedia dan mengatur mentalnya. Ia merasa seperti boneka yang jadwalnya diatur tanpa ampun.​Tepat pukul 08.00, Ares muncul di pintu penthouse, wajahnya terlihat letih karena begadang semalam, namun auranya tetap sekuat baja.​"Kau berani sekali meninggalkan markasku sendirian," s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status