"Pesanan kamu banyak sekali, Ci. Apa perlu bantuan Ibu?" tanya Ibu saat melihatku yang tengah sibuk membungkus pesanan online ini.Memang hari ini jauh lebih banyak paketan daripada kemarin. Tuhan memberikan rezeki halal yang melimpah sehingga bisa buat tambahan nanti untuk upacara pernikahanku. Inilah caraNya mengujiku saat dirumahkan dari pekerjaan yang sudah hampir aku geluti tiga tahun ini lalu menjadi hampir pekerjaan utama. "Nggak usah, Bu. Suci sanggup melakukannya sendiri. Lagian juga ini sudah selesai, sebentar lagi kurir juga datang," tolakku halus, bukannya tidak mau dibantu, tapi Ibu sendiri jauh lebih sibuk untuk mempersiapkan segalanya.Tak berselang lama, datanglah si kurir. Cekatan kami bekerja sama dalam hal online ini. Setelah selesai aku membaringkan tubuh di atas kasur lantai yang berada di depan televisi. Punggung yang kaku merasa ingin dilepaskan dengan segera, berguling ria dan bersenandung kecil membuat hati ini seolah sedang terbang tinggi ke langit dengan sa
Mungkin akal sehatnya telah hilang dan tercabut dari hatinya. Bersikap baik dan wajar saja sudah tidak dilakukan sama sekali terhadap kami yang justru sebagai saudara tertua dari istrinya itu.Bukankah keluarga itu harus saling menghormati satu sama lain? Lalu apakah ini? Rasanya begitu geram dan ingin menjambak mereka, tapi tak mungkin aku lakukan. Aku masih waras."Kamu terlalu angkuh untuk tidak memberi tahu kami jika besok akan ada pesta pernikahan di rumahmu, kenapa? Kamu takut jika nanti ada kejadian buruk yang menimpamu lalu kami melihatnya?" Berkacak pinggang dengan mata melotot ke arahku dia berucap lantang."Ada masalah?" Aku masih santai menanggapi ucapan kasar yang membuat hati terluka itu. "Kamu, kalian yang akan ada masalah nanti. Kita lihat saja!" bentaknya nyaring memekakkan telinga.Aku menggeleng pelan lalu meninggalkan dia yang masih setia berdiri di tempatnya dengan posisi yang masih sama. Mata membulat dengan napas memburu bagaikan seekor hewan pemangsa yang kela
Aku memberi minum untuknya, berharap semoga amarah yang membelenggu jiwa segera pergi sejauh mungkin dan Ayah akan kembali tenang. Sungguh aku kasihan jika melihat keadaan Ayah yang marah, karena kesehatannya akan terganggu jika emosi itu bangkit dan mendidihkan darahnya. 🔥🔥 Setiap sore aku selalu menyapu di halaman rumah, dedaunan kering yang berjatuhan menjadikannya tempat seperti pembuangan sampah. Kotor. "Ci, yakin kamu mau menikah dengan lelaki pilihan Mbah Darma? Dia lho bukan lelaki baik-baik, suka mabuk, judi dan main wanita. Kalau aku jadi kamu maka akan menolak perjodohan itu!" Tiba-tiba Bi Salimah datang menghampiriku yang sedang membersihkan selokan yang penuh dengan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon mangga didepan rumah ini.Sebenarnya aku enggan sekali meladeni wanita yang aneh ini, tapi rasanya kalau tidak dilawan akan ada sesuatu yang hilang. Mungkin inilah saatnya aku berani berkata lagi setelah sekian purnama kami tidak beradu mulut. "Kok tahu?" ketusk
Iring-iringan pengantin datang setelah aku duduk di pelaminan seorang diri. Wajah-wajah sumringah terpancar saat kedua keluarga saling bertemu dan menerima semua seserahan. Namun, raut wajah keluarga Lek Santoso seolah sinis dan menghina setelah semua tamu duduk di tempatnya masing-masing.Tak ku hiraukan mereka maupun hatinya, karena sejauh ini hanya kebahagian kami yang lebih penting. Acara ijab qobul pun lancar di ikrarkan oleh Mas Yanuar tanpa mengulang. Tangis bahagia menyambut dunia baru ku penuh haru biru. Kini aku resmi menjadi seorang istri dan bagian dari keluarga Mas Yanuar. Beribu kalimat doa dilantunkan dari keluarga besar untuk pernikahan ini semoga langgeng dan berkah. Lalu acara pun berlanjut ke hiburan, meski tak terlalu megah dan ramai seperti pada umumnya, tapi hati ini sudah teramat sangat bahagia. Senyum sumringah selalu ku ukir ketika para tamu mengucap selamat untuk kami berdua di pelaminan. Hingga tiba saatnya kejadian yang tak pernah aku bayangkan terjadi. K
"Nggak orang kaya kok tamunya banyak, pasti dapat beras dan gula puluhan karung mereka." Bi Salimah bersuara dengan gigi bergemeletuk. "Aku juga heran, kenapa mereka bisa mempunyai tamu sebanyak itu. Padahal Kakak kamu itu nggak pernah main ke warung-warung untuk ngobrol dengan para lelaki di sana. Kok bisa-bisanya tamu datang hingga malam sampai berjubel seperti itu!" balas Lek Santoso. "Alah, paling juga itu tamunya Mbah Darma, tahu sendiri, 'kan, lelaki tua itu terlalu sayang sama mereka. Padahal anak cacat seperti itu apa istimewanya kok selalu diberikan tempat khusus," gerutu Bi Salimah lagi. "Kamu ngapain disini? Mau maling?" Suara Julia mengagetkanku, sontak jantung ini semakin kencang berdetak.Langkah kaki pasangan suami istri itu terdengar mendekat dan belum ada hitungan detik semua mata tertuju padaku seperti hendak menguliti diri ini. Julia yang berdiri dengan bersedekap dada memandang sinis ke arahku yang berdiri di dekat lemari penyekat ruang, lalu mata mereka berpind
Ibu yang berada di sampingku langsung menepuk pundak ini keras. Beliau mendelik tajam, tapi senyum manis tetap terukir indah di sudut bibirnya. Wanita terhebat yang aku miliki di dunia ini."Istri kamu ini memang kurang sajen, jangan lupa nanti malam biar Ibu siapkan sajennya supaya tidak ngelantur kalau bicara!" Ibu berlalu meninggalkan kami berdua yang tertawa mendengar perkataannya itu. Sungguh Ibu adalah wanita hebat, bisa bercanda kala hati sedang terluka demi menutupi sesuatu yang suatu saat suamiku yang telah menjadi bagian dari keluarga ini mengetahui kenyataan tentang arti dari sebuah saudara. Saudara yang seharusnya saling menghormati, menghargai dan mencintai harus berjarak kala harta benda adalah sebuah tolak ukur untuk mengakui bahwa itu keluarga. "Memang ada keluarga seperti itu? Aku lihat saat kita menikah kemarin sikap mereka kayak nggak suka, ada apa? Eh, maaf sih jika aku bertanya terlalu jauh," tanya Mas Yanuar membuka percakapan."Harta benda menjadi hal utama ba
Pasangan pengantin baru masih disematkan para tetangga jika kami lewat, seperti pagi ini. Kala matahari masih malu-malu untuk memperlihatkan wujudnya aku dan Mas Yanuar menikmati udara pagi dengan jalan santai bersama. Angin yang masih bersih karena polusi yang membuat udara kotor saling bertemu itu membuat para orang tua ataupun ibu hamil jalan-jalan pagi sekalian olahraga. Sambil bercerita dan tertawa kami begitu bahagia sama seperti mereka."Pengantin baru biasanya wangi ini," kelakar Bu Susi, wanita setengah baya yang berjalan bersama suaminya menyapa kami."Memangnya pengantin lama nggak wangi, Bu?" balasku yang membuat suaminya ikut tertawa. "Bisa saja kamu, Suci. Oh, iya, aku pesan gamis yang kemarin sudah ada belum, soalnya mau dipakai hari Minggu besok?" "Sudah ada, Bu. Nanti saya antar saja ke rumah Ibu Susi, ya." Beliau mengangguk dan berlalu melanjutkan jalan santainya. Tangan ini digenggam erat oleh Mas Yanuar, terasa menghangat hingga relung hati. Indahnya mempunyai
Bapak mertua mengangguk dan memastikan kalau dalam keluarga ini baik dan menerima aku tulus. Hati ini menghangat, tanpa terasa air mata pun mengalir deras membasahi pipi yang dipoles dengan pewarna pipi yang tipis. "Yanuar, sebentar lagi kamu akan panen, apakah tidak sebaiknya datang kesana sekalian menikmati indahnya pemandangan!" tukas Bapak mertua yang membuat dahiku berkerut. "Pemandangan apa, Pak? Jangan mau Dek Suci, panas. Nanti kulitnya gosong, sudah di rumah saja sama kita mumpung kita disini dan menikmati liburan, iya, 'kan, Mel?" jawab Mbak Tania dengan mengerlingkan satu matanya. Mbak Melisa mengangguk setuju lalu dia mengajakku duduk di lantai bersama dengan anak-anak mereka."Nak Suci, Lek kamu yang bicara kemarin itu memang kurang baik yang hubungan kalian, kok, menghina kami karena tidak membawa motor atau mobil saat lamaran?" tanya Bapak mertua yang membuat wajah ini seketika memerah.Semua pandangan tertuju padaku, pun dengan Mas Yanuar, mata tajam itu menyorot pe