Aku memberi minum untuknya, berharap semoga amarah yang membelenggu jiwa segera pergi sejauh mungkin dan Ayah akan kembali tenang. Sungguh aku kasihan jika melihat keadaan Ayah yang marah, karena kesehatannya akan terganggu jika emosi itu bangkit dan mendidihkan darahnya. 🔥🔥 Setiap sore aku selalu menyapu di halaman rumah, dedaunan kering yang berjatuhan menjadikannya tempat seperti pembuangan sampah. Kotor. "Ci, yakin kamu mau menikah dengan lelaki pilihan Mbah Darma? Dia lho bukan lelaki baik-baik, suka mabuk, judi dan main wanita. Kalau aku jadi kamu maka akan menolak perjodohan itu!" Tiba-tiba Bi Salimah datang menghampiriku yang sedang membersihkan selokan yang penuh dengan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon mangga didepan rumah ini.Sebenarnya aku enggan sekali meladeni wanita yang aneh ini, tapi rasanya kalau tidak dilawan akan ada sesuatu yang hilang. Mungkin inilah saatnya aku berani berkata lagi setelah sekian purnama kami tidak beradu mulut. "Kok tahu?" ketusk
Iring-iringan pengantin datang setelah aku duduk di pelaminan seorang diri. Wajah-wajah sumringah terpancar saat kedua keluarga saling bertemu dan menerima semua seserahan. Namun, raut wajah keluarga Lek Santoso seolah sinis dan menghina setelah semua tamu duduk di tempatnya masing-masing.Tak ku hiraukan mereka maupun hatinya, karena sejauh ini hanya kebahagian kami yang lebih penting. Acara ijab qobul pun lancar di ikrarkan oleh Mas Yanuar tanpa mengulang. Tangis bahagia menyambut dunia baru ku penuh haru biru. Kini aku resmi menjadi seorang istri dan bagian dari keluarga Mas Yanuar. Beribu kalimat doa dilantunkan dari keluarga besar untuk pernikahan ini semoga langgeng dan berkah. Lalu acara pun berlanjut ke hiburan, meski tak terlalu megah dan ramai seperti pada umumnya, tapi hati ini sudah teramat sangat bahagia. Senyum sumringah selalu ku ukir ketika para tamu mengucap selamat untuk kami berdua di pelaminan. Hingga tiba saatnya kejadian yang tak pernah aku bayangkan terjadi. K
"Nggak orang kaya kok tamunya banyak, pasti dapat beras dan gula puluhan karung mereka." Bi Salimah bersuara dengan gigi bergemeletuk. "Aku juga heran, kenapa mereka bisa mempunyai tamu sebanyak itu. Padahal Kakak kamu itu nggak pernah main ke warung-warung untuk ngobrol dengan para lelaki di sana. Kok bisa-bisanya tamu datang hingga malam sampai berjubel seperti itu!" balas Lek Santoso. "Alah, paling juga itu tamunya Mbah Darma, tahu sendiri, 'kan, lelaki tua itu terlalu sayang sama mereka. Padahal anak cacat seperti itu apa istimewanya kok selalu diberikan tempat khusus," gerutu Bi Salimah lagi. "Kamu ngapain disini? Mau maling?" Suara Julia mengagetkanku, sontak jantung ini semakin kencang berdetak.Langkah kaki pasangan suami istri itu terdengar mendekat dan belum ada hitungan detik semua mata tertuju padaku seperti hendak menguliti diri ini. Julia yang berdiri dengan bersedekap dada memandang sinis ke arahku yang berdiri di dekat lemari penyekat ruang, lalu mata mereka berpind
Ibu yang berada di sampingku langsung menepuk pundak ini keras. Beliau mendelik tajam, tapi senyum manis tetap terukir indah di sudut bibirnya. Wanita terhebat yang aku miliki di dunia ini."Istri kamu ini memang kurang sajen, jangan lupa nanti malam biar Ibu siapkan sajennya supaya tidak ngelantur kalau bicara!" Ibu berlalu meninggalkan kami berdua yang tertawa mendengar perkataannya itu. Sungguh Ibu adalah wanita hebat, bisa bercanda kala hati sedang terluka demi menutupi sesuatu yang suatu saat suamiku yang telah menjadi bagian dari keluarga ini mengetahui kenyataan tentang arti dari sebuah saudara. Saudara yang seharusnya saling menghormati, menghargai dan mencintai harus berjarak kala harta benda adalah sebuah tolak ukur untuk mengakui bahwa itu keluarga. "Memang ada keluarga seperti itu? Aku lihat saat kita menikah kemarin sikap mereka kayak nggak suka, ada apa? Eh, maaf sih jika aku bertanya terlalu jauh," tanya Mas Yanuar membuka percakapan."Harta benda menjadi hal utama ba
Pasangan pengantin baru masih disematkan para tetangga jika kami lewat, seperti pagi ini. Kala matahari masih malu-malu untuk memperlihatkan wujudnya aku dan Mas Yanuar menikmati udara pagi dengan jalan santai bersama. Angin yang masih bersih karena polusi yang membuat udara kotor saling bertemu itu membuat para orang tua ataupun ibu hamil jalan-jalan pagi sekalian olahraga. Sambil bercerita dan tertawa kami begitu bahagia sama seperti mereka."Pengantin baru biasanya wangi ini," kelakar Bu Susi, wanita setengah baya yang berjalan bersama suaminya menyapa kami."Memangnya pengantin lama nggak wangi, Bu?" balasku yang membuat suaminya ikut tertawa. "Bisa saja kamu, Suci. Oh, iya, aku pesan gamis yang kemarin sudah ada belum, soalnya mau dipakai hari Minggu besok?" "Sudah ada, Bu. Nanti saya antar saja ke rumah Ibu Susi, ya." Beliau mengangguk dan berlalu melanjutkan jalan santainya. Tangan ini digenggam erat oleh Mas Yanuar, terasa menghangat hingga relung hati. Indahnya mempunyai
Bapak mertua mengangguk dan memastikan kalau dalam keluarga ini baik dan menerima aku tulus. Hati ini menghangat, tanpa terasa air mata pun mengalir deras membasahi pipi yang dipoles dengan pewarna pipi yang tipis. "Yanuar, sebentar lagi kamu akan panen, apakah tidak sebaiknya datang kesana sekalian menikmati indahnya pemandangan!" tukas Bapak mertua yang membuat dahiku berkerut. "Pemandangan apa, Pak? Jangan mau Dek Suci, panas. Nanti kulitnya gosong, sudah di rumah saja sama kita mumpung kita disini dan menikmati liburan, iya, 'kan, Mel?" jawab Mbak Tania dengan mengerlingkan satu matanya. Mbak Melisa mengangguk setuju lalu dia mengajakku duduk di lantai bersama dengan anak-anak mereka."Nak Suci, Lek kamu yang bicara kemarin itu memang kurang baik yang hubungan kalian, kok, menghina kami karena tidak membawa motor atau mobil saat lamaran?" tanya Bapak mertua yang membuat wajah ini seketika memerah.Semua pandangan tertuju padaku, pun dengan Mas Yanuar, mata tajam itu menyorot pe
"Assalamualaikum, benar ini rumah Mbak Suci?" tanya seorang lelaki dengan dandanan rapi saat aku sibuk mengemas barang-barang pesanan online."Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" jawabku dengan sedikit memicingkan mata."Ini, Mbak!" Lelaki itu menyodorkan sepucuk kertas dan memberikan instruksi kepada temannya yang di luar. Bergegas aku bangkit dari duduk dan mendekati dia yang berdiri di depan pintu. Sontak mata ini membulat karena melihat sebuah kendaraan roda dua diturunkan. Motor berwarna merah itu tampak gagah kala sudah berdiri di teras rumah. Kupandangi tanpa kedip meski tatapan dari kedua lelaki di depanku seakan menatap balik dengan penuh kebingungan.Ibu yang di dalam sedang menyuapi Mas Agus pun turut serta keluar dan melihat aku yang memucat. Mata kami saling beradu sesaat lalu mengedikkan kedua bahu bersamaan."Dari mana, ya, Mas?" tanyaku kebingungan."Dari suami anda, Mbak. Mas Yanuar," jawabnya dengan mengangguk sopan.Tak kujawab lagi ucapan petugas dealer itu, berg
"Assalamualaikum, Pak Budi!" Salam seseorang membuat aku dan Ibu segera bangkit dari duduk. Ibu yang menemaniku membungkus pesanan online segera bangkit dan menuju pintu. Berdiri seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan kumis tebalnya."Benar ini rumahnya Pak Budi? Perkenalkan saya Sandi, kolektor barang antik dan tua. Saya mendapatkan informasi kalau sepeda Bapaknya akan dijual, benar?" tanya Pak Sandi saat memperkenalkan diri. Lelaki dengan senyum ramah itu terlihat berbinar matanya kala mengatakan sepeda tua yang kami miliki serta melihat besi berkarat itu bersandar di pojok dalam rumah."Benar ini rumahnya Pak Budi, beliau adalah suami saya, tapi apa memang mau di jual? Maaf, soalnya kami tidak tahu menahu, Pak," jelas Ibu yang tampak kebingungan sama seperti diriku.Aku mempersilahkan tamu itu untuk masuk dan duduk, menjelaskan maksudnya yang belum kami ketahui. Kalau Ayah mau menjualnya, kenapa tidak bermusyawarah dulu sama kami? Padahal jika ada sesuatu apapun beliau akan b