Share

Bab 3 LEK KANDAR

Author: Anna Janitra
last update Last Updated: 2023-02-28 21:24:46

Rumah Bi Salimah sejak pagi tadi kelihatan ramai, banyak saudara datang ke kediamannya. Mobil dan motor terparkir di halaman rumahnya yang luas.

Aku yang melihat mendadak menjadi tidak enak hati, jantungku seolah merasakan akan terjadi sesuatu yang diluar kehendak. Namun, aku berusaha menepisnya. Alangkah baiknya jika berpikir posyandu jernih, supaya sesuatu yang tidak terduga nanti pun akan baik.

"Kok ramai banget, ada apa, ya?" tanah Ibu yang aku jawab dengan mengedikkan kedua bahu.

"Andai ada acara keluarga, pasti kita akan diundang. Apa mungkin karena hal kemarin jadi mereka tidak mengundang kita?" tanya Bapak dengan mata masih memandang keluar.

"Sudah, Pak. Biarkan saja, kalau mereka masih menganggap Bapak ada pasti akan datang kemari untuk berbicara. Namun, kalau tidak, tolong Bapak nggak usah ikut campur. Diam saja di rumah!" tegasku.

Bukannya aku ingin menjadi anak durhaka yang membentak orang tuanya seperti itu, hanya saja aku nggak mau kejadian kemarin menjadikan luka ini kembali terbuka.

Belum usai kami saling berbicara, serombongan orang datang berduyun-duyun ke kediaman kami. Ada saudara-saudara Bapak yang memang sejak pagi tadi berkunjung ke rumah Bi Salimah.

"Assalamualaikum, Kang," sapa Lek Kandar, adik bungsu Bapak yang terlihat gagah dan bersih itu.

Maklum, dia adalah orang berada dan sudah matang dalam hal finansial. Usahanya sebagai kontraktor menjadikan dirinya harus terlihat sempurna di manapun berada.

Meski Lek Kandar dan istrinya Lek Widi orang mampu, tapi tidak segan mereka melakukan hal sopan terhadap Bapak juga ibu. Bercengkrama sejenak dan bertanya hal yang terjadi kemarin.

"Ada masalah apa dengan mereka, Kang?" tanya Lek Kandar hati-hati, aku tahu dari nadanya dia takut jika Bapak tersinggung akan ucapan yang telah dipertanyakan.

"Oh, mereka sudah bercerita. Baguslah, jadi tidak perlu aku panjang lebar menjelaskan." Bapak menjawab dengan menyantap Mas Agus nanar.

"Malu, Kang jika harus bertengkar dengan saudara hanya karena masalah sepele."

Aku menoleh ke arah Lek Kandar, sontak mataku membulat tidak terima jika hal kemarin disebutnya sepele. Menghina orang sakit, tapi di anggap sepele? Oh, tidak, ini tidak bisa dibiarkan.

"Mereka bilang apa sama sampean, Lek?" tanyaku dengan memperbaiki posisi duduk.

"Hanya karena kalian mau utang buat makan lalu Bapakmu marah-marah dan memaki tak karuan. Kang, bilang sampean butuh berapa, biar aku yang bantu." Lek Kandar mengambil dompetnya dan meletakkan uang berwarna merah di atas meja.

Dadaku bergemuruh, aku memandangnya pasangan suami istri itu dengan nyalang. Terserah penilaian mereka yang akan menyebutku sombong atau durhaka, sungguh aku nggak peduli.

"Ambil semua uang itu, Lek. Kami nggak butuh!"

"Suci!" bentak Bapak. "Ambil uangku itu Kandar, aku masih banyak uang seperti kepunyaanmu. Aku adalah Kakak kandungmu, seharusnya kamu percaya apa yang aku katakan, bukan dia."

Gigi Bapak bergemeletuk, sedang Ibu beberapa kulirik beliau menyeka air matanya. Sedih.

"Kang, aku tidak bermaksud menyinggung kalian. Namun …."

"Dia menghina Agus. Dia merendahkan anakku, mencaci-maki karena cacat. Pantas tidak?" teriak Bapak.

"Tapi, tadi mereka bilang …" Kini Lek Widi yang bersuara, tapi terhenti karena tangisan Ibu yang semakin tergugu.

Kami semua terdiam, bahkan kedua orang itu pun ikut tidak bersuara. Entah ucapan macam apa yang dimasukkan ke dalam otak adik dari Bapakku itu.

Bapak meninggalkan mereka masuk ke kamar lalu Ibu pun menyusulnya. Aku enggan bersuara, pandanganku tertuju pada seseorang yang duduk dengan memainkan kedua jarinya di kursi roda. Mas Agus.

Andai dia sehat pasti akan menjaga kami dari perbuatan buruk manusia gila seperti Santoso dan anak istrinya.

Lek Kandar mendekati Mas Agus, berbicara setengah berbisnis, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas.

"Gus, andai ada yang menyakiti keluargamu, doakan mereka menjadi lebih buruk dari kamu, Nak!" Lek Kandar mengelus punggung tangan Mas Agus yang menatapnya nanar.

"Mas, nggak baik berbicara seperti itu!" balas Lek Widi yang ikutan mendekati Mas Agus.

Bukannya menjawab, Lek Kandar justru menangis di depan Kakak lelakiku itu. Tangisannya pun mengundang air mataku turut keluar membasahi pipi.

🖤🖤🖤

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 165 TAMAT

    Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 164 LULUH

    “Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 163 KACAU

    “Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 162 KAGET

    Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 161 KERAS KEPALA

    “Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent

  • SEPEDA TUA WARISAN KAKEK    BAB 160 HATI

    Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status