Share

Bab 3 LEK KANDAR

Rumah Bi Salimah sejak pagi tadi kelihatan ramai, banyak saudara datang ke kediamannya. Mobil dan motor terparkir di halaman rumahnya yang luas.

Aku yang melihat mendadak menjadi tidak enak hati, jantungku seolah merasakan akan terjadi sesuatu yang diluar kehendak. Namun, aku berusaha menepisnya. Alangkah baiknya jika berpikir posyandu jernih, supaya sesuatu yang tidak terduga nanti pun akan baik.

"Kok ramai banget, ada apa, ya?" tanah Ibu yang aku jawab dengan mengedikkan kedua bahu.

"Andai ada acara keluarga, pasti kita akan diundang. Apa mungkin karena hal kemarin jadi mereka tidak mengundang kita?" tanya Bapak dengan mata masih memandang keluar.

"Sudah, Pak. Biarkan saja, kalau mereka masih menganggap Bapak ada pasti akan datang kemari untuk berbicara. Namun, kalau tidak, tolong Bapak nggak usah ikut campur. Diam saja di rumah!" tegasku.

Bukannya aku ingin menjadi anak durhaka yang membentak orang tuanya seperti itu, hanya saja aku nggak mau kejadian kemarin menjadikan luka ini kembali terbuka.

Belum usai kami saling berbicara, serombongan orang datang berduyun-duyun ke kediaman kami. Ada saudara-saudara Bapak yang memang sejak pagi tadi berkunjung ke rumah Bi Salimah.

"Assalamualaikum, Kang," sapa Lek Kandar, adik bungsu Bapak yang terlihat gagah dan bersih itu.

Maklum, dia adalah orang berada dan sudah matang dalam hal finansial. Usahanya sebagai kontraktor menjadikan dirinya harus terlihat sempurna di manapun berada.

Meski Lek Kandar dan istrinya Lek Widi orang mampu, tapi tidak segan mereka melakukan hal sopan terhadap Bapak juga ibu. Bercengkrama sejenak dan bertanya hal yang terjadi kemarin.

"Ada masalah apa dengan mereka, Kang?" tanya Lek Kandar hati-hati, aku tahu dari nadanya dia takut jika Bapak tersinggung akan ucapan yang telah dipertanyakan.

"Oh, mereka sudah bercerita. Baguslah, jadi tidak perlu aku panjang lebar menjelaskan." Bapak menjawab dengan menyantap Mas Agus nanar.

"Malu, Kang jika harus bertengkar dengan saudara hanya karena masalah sepele."

Aku menoleh ke arah Lek Kandar, sontak mataku membulat tidak terima jika hal kemarin disebutnya sepele. Menghina orang sakit, tapi di anggap sepele? Oh, tidak, ini tidak bisa dibiarkan.

"Mereka bilang apa sama sampean, Lek?" tanyaku dengan memperbaiki posisi duduk.

"Hanya karena kalian mau utang buat makan lalu Bapakmu marah-marah dan memaki tak karuan. Kang, bilang sampean butuh berapa, biar aku yang bantu." Lek Kandar mengambil dompetnya dan meletakkan uang berwarna merah di atas meja.

Dadaku bergemuruh, aku memandangnya pasangan suami istri itu dengan nyalang. Terserah penilaian mereka yang akan menyebutku sombong atau durhaka, sungguh aku nggak peduli.

"Ambil semua uang itu, Lek. Kami nggak butuh!"

"Suci!" bentak Bapak. "Ambil uangku itu Kandar, aku masih banyak uang seperti kepunyaanmu. Aku adalah Kakak kandungmu, seharusnya kamu percaya apa yang aku katakan, bukan dia."

Gigi Bapak bergemeletuk, sedang Ibu beberapa kulirik beliau menyeka air matanya. Sedih.

"Kang, aku tidak bermaksud menyinggung kalian. Namun …."

"Dia menghina Agus. Dia merendahkan anakku, mencaci-maki karena cacat. Pantas tidak?" teriak Bapak.

"Tapi, tadi mereka bilang …" Kini Lek Widi yang bersuara, tapi terhenti karena tangisan Ibu yang semakin tergugu.

Kami semua terdiam, bahkan kedua orang itu pun ikut tidak bersuara. Entah ucapan macam apa yang dimasukkan ke dalam otak adik dari Bapakku itu.

Bapak meninggalkan mereka masuk ke kamar lalu Ibu pun menyusulnya. Aku enggan bersuara, pandanganku tertuju pada seseorang yang duduk dengan memainkan kedua jarinya di kursi roda. Mas Agus.

Andai dia sehat pasti akan menjaga kami dari perbuatan buruk manusia gila seperti Santoso dan anak istrinya.

Lek Kandar mendekati Mas Agus, berbicara setengah berbisnis, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas.

"Gus, andai ada yang menyakiti keluargamu, doakan mereka menjadi lebih buruk dari kamu, Nak!" Lek Kandar mengelus punggung tangan Mas Agus yang menatapnya nanar.

"Mas, nggak baik berbicara seperti itu!" balas Lek Widi yang ikutan mendekati Mas Agus.

Bukannya menjawab, Lek Kandar justru menangis di depan Kakak lelakiku itu. Tangisannya pun mengundang air mataku turut keluar membasahi pipi.

🖤🖤🖤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status