Share

Bab 2 BI SALIMAH

Aku melangkahkan kaki menuju rumah. Amarah ini masih membakar dan sampai saat ini masih membara. Rasanya aku ingin mencaci makinya, menampar serta mengajaknya duel.

Sampai rumah hatiku bertambah perih, Ayah dan Ibu tergugu. Kedua orang tua yang aku sayang itu menangis dan membuat hati ini remuk-redam. Andai aku bisa meniup mereka dan melenyapkan tanpa menyentuh, pasti akan aku lakukan di depannya barusan.

Sayangnya, semua itu hanyalah imajinasiku yang melintas sesaat. Mas Agus yang duduk tak jauh dari Ayah dan Ibu hanya bisa melihat kedua orang tuanya terluka dalam. Sungguh perlakuan kedua orang tadi membuatku semakin membencinya sebesar gunung Himalaya.

"Tolong, demi apapun jangan pernah ikut campur lagi masalah mereka. Biarkanlah mereka seperti itu, aku nggak akan rela jika anak-anakku dihina serendah itu lagi," isak Ibu dengan bibir bergetar.

"Tidak akan lagi. Tidak." Ayah menunduk, aku tahu ada luka besar yang begitu menganga. "Maafkan, Ayah, ya, Gus. Ayah tidak bermaksud membuat kamu sedih dan dihina seperti ini. Maaf."

Ayah menangis di pangkuan Mas Agus, kedua bahunya berguncang hebat. Lelaki tua yang selama ini menjadi tameng bagi keluarganya itu telah luruh dan lemah. Air matanya tumpah ruah membasahi pakaian Kakak lelakiku yang memandangnya itu.

Kudekati Ayah, mengusap punggung tuanya lembut. Berharap beliau tegar dan kuat dalam menghadapi ujian ini bersama-sama.

"Maafkan Ayah, Nduk. Ayah tidak bisa menjadi pelindung kalian, Ayah …."

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Yah. Apapun yang terjadi, aku akan tetap menjadi yang pertama menjaga kalian. Kini kalian adalah tanggung jawabku," ucapku menghibur diri.

Belum selesai kami saling menguatkan, suara nyaring dari luar terdengar menggelegar bak petir disiang bolong. Bi Salimah, istri dari Lek Santoso datang. Berkacak pinggang di depan pintu lalu melirik tajam.

"Kamu jadi bocah jangan main-main sama keluarga saya. Ingat, kami ini punya banyak kenalan aparatur negara. Sekali pencet ponsel, kamu bisa diciduk dan di penjara!" tukasnya sinis.

"Kalau aku bocah, lalu Angga itu apa? Bayi?" balasku tak kalah sinis.

Wanita yang seharusnya aku hormati itu menatap sadis. Mungkin dia tak akan percaya jika aku mampu membantahnya. Aku, Suci sekarang bukanlah Suci yang dulu. Diam jika di tindas, mengalah jika di maki-maki.

Tidak. Itu jaman dulu. Sekarang aku pun bisa garang seperti singa kelaparan. Aku sudah lelah jika harus berpura-pura baik dan lemah. Sebab apa? Sebab akan selalu diremehkan dan diinjak-injak harga diri ini oleh mereka.

Kini saatnya aku bangkit dan menatap langit. Jika memang nyawa taruhannya untuk membela keluargaku, maka akan aku lakukan.

"Oh, sudah berani membantah sekarang?" sudut bibirnya terangkat sedikit, sinis.

"Kenapa tidak? Toh, kamu bukanlah siapa-siapa kami lagi." Aku bersedekap dada. Menatap balik wanita di depanku dengan pandangan membunuh.

"Kamu itu goblok nya keterlaluan, aku ini adik bapakmu. BIBIMU!" ucap Bi Salimah penuh penekanan pada kalimatnya.

"Kalau kamu bibiku, seharusnya kamu, suamimu dan anak-anakmu bisa menghormati sedikit saja terhadap Bapakku. BAPAKKU!" ucapku balik tak kalah ketus darinya.

"Kamu …."

"Pulanglah Salimah! Aku sudah nggak mau tahu lagi dengan dirimu dan keluargamu." Bapak akhirnya bersuara meski nyaris tak terdengar.

Bi Salimah memandang Bapak dengan dahi bertautan. Lipatan diantara alisnya itu berlipat-lipat, entah kebingungan atau memang pura-pura bingung. Intinya, aku membencinya mulai saat ini juga.

Wanita itu pun pulang dengan menghentakkan kakinya di lantai tanah rumahku. Mencebik lalu berbicara sendiri hingga bayangannya sudah tak tampak dari pandangan kami.

"Dasar manusia aneh," gumamku sambil memutar bola mata malas.

🖤🖤🖤

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Juli 9772
seru penasaran kelanjutan nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status