Share

Bab 4 TAK DIANGGAP

Malam ini masih saja ramai di rumah Bi Salimah, justru saat malam semakin beranjak naik dan sesudah Isya, para tamu berdatangan memenuhi halaman rumahnya.

Riuh para tamu seakan ada acara keluarga yang bahagia. Namun, lagi-lagi mengundang tanyaku di hati. Kenapa Bapak nggak diundang? Jiwa kepo ini terus berontak ingin tahu segalanya.

Andai benar mereka memutuskan hubungan keluarga ini, apa mau dikata? Akupun akan sama dengan yang mereka lakukan. Memutuskan juga.

"Ada acara lamaran untuk Julia, makanya ramai sekali," jelas Ibu seperti memahami isi hatiku.

"Oh, begitu."

"Biar saja, mungkin mereka telah memutuskan hubungan dengan kita. Nggak apa, ya, Pak. Jangan diambil hati! Masih banyak saudara yang baik sama kita," hibur Ibu saat Bapak datang dengan membawa sepiring martabak manis.

Senyum lelaki tua yang terlihat keriputnya dimana-mana itu merekah. Tak ada gurat sakit hati di mukanya. Entah terbuat dari apa hati Bapak ini. Kalau jadi aku, sudah aku marahin itu adik yang kurang ajar sama yang tua.

"Nggak apa, biar saja. Yuk, kita makan martabak ini. Lumayan tadi ada gratisan dari Pak RT," celetuk Bapak lalu mencomot satu iris martabak manis berisi kacang juga keju.

Alis Ibu hampir bertemu mendengar ucapan Bapak, tapi urung di tanyakan karena Bapak berbisik lirih, "bercanda."

Kami pun menikmati makanan manis itu dengan nikmat, sambil sesekali Ibu menyuapi Mas Agus yang duduk diantara kami. Kakak lelakiku itu sudah dewasa, andai dia sehat pasti akan bekerja dan bisa membahagiakan Ibu juga.

Namun, … ah, sudahlah. Hatiku cuma bisa berandai-andai tanpa jelas tujuannya. Tidak ada yang menginginkan anak dan saudara seperti keadaan Mas Agus sekarang, Tuhan itu kalau sudah memberikan jalan seperti ini, ya, jalani saja tanpa bisa membantahNya.

Mau berontak dan berteriak sekuat apapun nggak ada gunanya. Bapak dan Ibu sudah sekuat tenaga dan harapan mencari yang terbaik, tapi hasilnya selalu nihil.

Bahkan, beberapa lelaki yang hendak melamarku selalu saja gagal di tengah jalan hanya karena mempunyai saudara seperti Mas Agus, begitu alasan orang tua mereka. Ah, biarkan saja. Kalau jodoh tak akan kemana.

"Melamun saja, itu martabaknya masih banyak. Kamu, 'kan, suka sama makanan itu," kata Ibu membuyarkan lamunanku.

"Nggak kok, Bu."

"Semoga jodohmu dekat dan menerima keluarga ini apa adanya. Aamiin."

"Aamiin," ucap Bapak dan aku bersamaan.

Aku mendekati Mas Agus yang tengah duduk melihat televisi, kuelus lembut punggung tangannya. Andai dia sehat dan seperti pada lelaki lainnya, pasti akan menjadi pelindung kami jika ada orang yang berbuat jahat.

Namun, Tuhan berkata lain. Justru akulah yang akan menjadi pelindung mereka. Tetapkanlah aku menjadi seorang anak dan adik yang kuat, sehat supaya bisa selalu menjaga keluarga kecilkan ini, Tuhan. Itu doaku.

"Mas, doakan semoga aku panjang umur supaya bisa menjagamu sampai nanti nafasku habis, ya." Aku terisak kala mengucap sebuah kalimat ini nyaris tak terdengar.

"Suci, nggak baik bicara seperti itu, Nak! Kita akan sama-sama menjaga Kakakmu, iya, 'kan, Pak?" ujar Ibu memasang wajah masam.

Aku pikir suara ini tadi tidak ada yang mendengarnya, tapi nyatanya pendengaran Ibu jauh lebih tajam dari apa yang aku duga.

"Pasti." Bapak menjawab dengan semangat, beliau mendekati kami yang duduk bersimpuh di depan Mas Agus. Memandang nanar ke arah anak lelaki yang selalu disayangi tersebut.

🖤🖤🖤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status