Setengah berlari aku mengejar gerombolan ibu-ibu yang sedang mengerubungi tukang sayur di ujung gang. Ibu meminta membeli sayur juga ikan untuk makan siang nanti.
Karena aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, maka diminta oleh beliau untuk berbelanja."Anakku semalam di lamar oleh anak juragan sapi tetangga sebelah. Lamarannya nggak main-main, ada perhiasan emas satu set, pakaian dan juga jajanan banyak. Maklum orang kaya," cerocos Bi Salimah saat melihatku sedang memilih sayuran."Alhamdulillah, semoga langgeng, ya, Bu. Enak lho, dapat besan Pak Kamari, orangnya ramah, baik dan juga serba punya."Lha, iya, dong. Lagian keluarga kami itu nggak ada yang cacat, makanya jodohnya dekat." Mata Bi Salimah melirik tajam.Namun, aku enggan menanggapi. Berpura-pura tidak mendengarnya adalah jalan terbaik. Daripada pagi-pagi begini harus menguras emosi, sayang sekali jika harus terbuang sia-sia.Meski dadaku sudah kembang-kempis menahan gejolak amarah yang siap meledak, tapi aku harus tahan dulu sebelum dia memanggil ataupun menyentil namaku. Itu prinsipku saat ini."Lho, Suci, laki-laki yang datang ke rumahmu kemarin nggak jadi? Kok aku lihat kalian sekeluarga tenang-tenang saja nggak ada acara ramai-ramai?" tanya Bu Marlina, teman gosip Bi Salimah memancing emosiku, untung saja ikannya sudah di beli sama Bu RT, jadi nggak akan mudah diambil. Eh."Belum jodoh, Bu.""Aih, jangan lama-lama, Ci. Nanti kalau jadi perawan tua malah malu, lho. Masak teman-teman sebayamu sudah laku semua, tapi kamunya saja yang belum." Bu Marlina mencoba memancing lagi, jelas dari perkataannya yang seolah mengajakku untuk berduel. Mata itu melirik dan sekilas kulihat lengannya menyenggol sahabat sejatinya Bi Salimah.Masih kubiarkan wanita didepanku ini bernafas lega dengan menghinaku seenak jidatnya. Biarkan saja, aku nggak akan mengikuti alurnya dulu.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih saling berbisik-bisik ceria. Tawa riang sesekali menghiasi cerita mereka yang terlihat seperti sosialita kelas tengah."Suci tunggu! Masak nggak dijawab pertanyaanku tadi?""Pertanyaan yang mana, aku kira Bu Marlina tahu sendiri jawabannya, 'kan, Ibu orang yang cerdas," balasku dengan mengayunkan langkah kaki ini segera pulang.Namun, lagi-lagi suara sumbang nan fals itu memekakkan telinga. Membuat gendang telinga ini tiba-tiba berdengung."Perawan tua!" teriaknya.Aku berhenti dan menoleh lalu mendekati mereka yang saling sikut dan seolah tidak menyadari kehadiranku ini."Justru yang tua itu yang dicari, Bu. Coba lihat kelapa tua itu, selalu dicari untuk diambil santannya atau untuk membuat minyak. Lah, kalau yang muda buat apa dicari? Nggak enak dan nggak ada manfaatnya!" ketusku dan berlalu meninggalkan mereka."Maksud kamu apa menghina anakku seperti itu? Hah? Kamu iri?" teriak Bi Salimah nyaring. Seperti sedang berkaraoke ria, suaranya seakan menggema di seluruh pelosok desa.Aku tertawa puas mendengar ada hati yang terluka, biar saja. Sekali-kali mereka memang harus dilawan meski kelak ada lencana untukku sebagai anak durhaka.Hidup ini memang perlu keberanian, contohnya barusan saja. Jika aku diam dan tidak melawan, bisa dipastikan mereka akan semakin menjadi-jadi. Apalagi Bi Salimah, meski masih ada darah yang mengalir di tubuh kami, dia tidak akan sungkan untuk menghinaku sekeji mungkin.Entah itu sudah menjadi tabiat dari keluarganya atau memang ciri khas tersendiri. Intinya aku harus berani jika memang benar.🖤🖤🖤🖤Semua keluarga besar datang berduyun-duyun ke rumah Bi Salimah. Tenda pernikahan pun di tata rapi dengan segala temannya. Tak terkecuali panggung pelaminan dan juga hiburan sudah selesai didirikan.Namun, lagi-lagi kami hanya melihat dari kejauhan. Dari rumah kami sendiri, bukan karena nggak menghormati si empunya hajat. Dikarenakan mereka tidak ada satupun yang memberi tahu ataupun datang kerumah kami untuk mengajaknya kesana."Bersihkan rumah dengan baik, Ibu mau pergi sebentar kesana membawa beras dan gula!" ujar Ibu yang melihat diri ini terpaku di kursi tamu. Aku mengangguk meski tatapan mata ini enggan terlepas dari pemandangan ramai di depan sana. "Jangan dipikirkan terlalu dalam, orang seperti mereka tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini hanya sekedar berbasa-basi." Ibu menjawab rasa penasaran didalam hatiku, seperti cenayang saja bisa membaca kata hati."Lalu kenapa Ibu harus kesana? Mending nggak usahlah, Bu!" Mata ibu melotot ke arahku, entah apa maksudnya aku
Seusai acara pernikahan Julia, Ibu pulang ke rumah dengan tangan kosong. Akupun tak ingin bertanya lebih jauh lagi tentang hal itu. "Besok ada acara pembagian warisan, Ayah nggak diundang?" Wajah Ayah berubah pias dan kecewa. Sebagai anak sulung seharusnya beliau lah yang memimpin jika ada musyawarah keluarga. Namun, tidak dengan hal ini. Sungguh berbeda jauh. Ayah terdiam dengan pandangan melihat televisi. Ibu yang merasa bersalah dengan membawakan berita tersebut mendekati suaminya. Bersandar pada bahu kokoh yang begitu sangat tegar meskipun tidak dianggap oleh saudaranya."Biarkan saja, Bu." "Kita diminta Bapak kesana besok malam. Kemarin berpesan saat aku kondangan, nanti Ibu temani, takutnya Ayah nanti khilaf. Jangan marah jika tidak dibagi rata, ya, Yah. Dikasih tanah ini saja kita sudah bersyukur." "Siapa yang bilang dikasih? Tanah ini aku membelinya meski aku ini anak kandung Bapak. Aku anak sulung yang selalu bekerja siang malam demi kebutuhan Salimah dan Kandar, tapi ap
Senja mulai temaram. Semburat jingga membuat para hewan terbang menuju ke timur dengan bergerombol di atas awan. Sedang induk ayam pun mencari jalan pulang dengan berjalan di depan dan diikuti oleh anaknya.Ayah yang tadinya duduk santai di depan televisi bergegas menutup semua pintu dan jendela yang masih terbuka. Pun demikian dengan Ibu yang memberikan minuman hangat untuk Mas Agus, segera merapikan piring makan yang sudah kosong. Suara panggilan Adzan berkumandang, kami pun mengambil air wudhu untuk beribadah bersama. Pintu diketuk, kami semua saling pandang. Senyum terbit di bibir Ayah dan mengangguk, beliau membuka pintu. Berdesir darahku kala melihat Bi Salimah datang bersama suaminya. Senyum sinis dari sudut bibir mereka seakan menambah kesan angkuh. "Ada apa?" Ayah bertanya dengan helaan nafas berat."Jangan lagi mengambil hak orang lain, dosa besar! Kamu sudah dapatkan bagian itu, lalu kenapa masih meminta yang lain? Tanah dan pekarangan di kampung sebelah sudah menjadi mi
Semenjak kejadian itu hubungan antara aku dan anak-anak Bi Salimah semakin renggang. Bahkan Ayah pun enggan datang menjenguk Kakek yang saat itu sedang sakit karena kecapekan. Lelaki tua yang tidak bisa bersikap adil itu enggan untuk berdiam diri. Selalu saja mencari kesibukan dengan membersihkan halaman rumah, pergi ke pekarangan di kampung sebelah dan lainnya yang penting tidak duduk manis di rumah. Makanya saat raga yang renta merasa lelah maka akan muncul berbagai macam penyakit. Meskipun seperti itu, dia akan kembali lagi mencari kesibukan jika sudah sehat. Kata Lek Kandar, jika tidak bergerak maka Bi Salimah akan marah-marah tak jelas. Begitulah Kakek, meskipun seperti itu nyatanya kasih sayangnya selalu dicurahkan kepada anak perempuan satu-satunya. Pagi ini aku mulai bekerja di rumah semenjak ada wabah yang melanda di negeri bahkan dunia ini. Berkerumun dibatasi, sehingga banyak sekali yang dirumahkan saat wabah itu semakin merajalela. "Aku sudah nggak bekerja lagi, Bu. D
Masih sama saja saat mereka mengadakan hajatan untuk Julia, kali ini Bi Salimah pun tidak mengundang keluargaku untuk sekedar datang meski hanya lima menit di rumahnya yang ramai itu. Walaupun para tetangga ada yang bertanya atau sekedar berbasa-basi perihal kami yang tidak kesana, Bi Salimah selalu diam dengan bibir mengerucut lucu. Lalu pandangan matanya akan beralih ke rumahku. Suatu pemandangan yang aneh jika dilihat banyak orang. Aku yang sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di teras depan rumah sesekali menjawab pertanyaan mereka yang menyapa. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga kami dan Bi Salimah tidak baik-baik saja, pertikaian kala itu memang mengundang perhatian banyak orang. Bahkan, tetangga kami menyayangkan sikap buruk dari Lek Santoso. Lelaki yang selama ini dinilai selalu saja angkuh dan mengagungkan harta bendanya.Lek Widi datang ke rumah dengan membawa sekotak nasi beserta lauknya, disimpan dalam plastik warna hitam dan seperti seseorang yang takut karena me
"Yakin, Mas, mau pergi ke sawah? Depan rumah lho ada pesta, ramai sekali. Dilihat orang apa nggak malu?" Lek Kandar mencoba mempengaruhi Ayah yang hendak pergi bertugas. Keseharian beliau memang seperti itu, pergi pagi baru siangnya pulang. Habis Dzuhur akan pergi lagi hingga sore tiba baru kembali ke rumah. Meskipun aku sudah melarangnya tetap saja tidak pernah di gubris. Akan sakit kalau nggak menggerakkan tangan dan kakinya untuk ke ladang.Itulah jawaban yang selalu aku dengar jika meminta lelaki yang masih kekar itu untuk duduk diam di rumah."Kamu mau apa, kesini? Mencarikan masalah lagi kepada kami seperti perbuatan istrimu tempo hari?" ketus Ayah dengan pandangan sinis. "Mas, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Namun, untuk saat ini merendahlah sedikit untuk keluarga kita!" Lek Kandar berbicara dengan menatap Ayah penuh harap.Namun, aku dan Ayah sontak terperangah mendengar perkataan Lek Kandar. Merendah? Apa maksud dari ucapannya itu? Ah, ini sungguh membuat kebencian ke
"Ayah kamu belum juga pulang? Matahari sudah diatas kepala kok masih saja betah di sawah. Apa nggak keroncongan itu perutnya?" tanya Ibu yang membuat hati ini gusar. "Sebentar lagi, mungkin. Oh, iya, Bu, besok aku mau pergi ke kota mengambil barang. Ibu kalau mau makan, duluan saja, nanti sakit lho." Aku beranjak dari depan televisi, membereskan sisa-sisa makanan yang terjatuh di karpet.Bukannya menjawab, Ibu justru terdiam dengan melihat keramaian di depan rumah. Mungkin suasana hatinya berbeda dengan keadaan yang dilihat. Sepi dan sedih, raut wajah yang keriput itu kosong. Tak tahan aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku inginkan ini. Kuajak Ibu ke belakang, duduk di bale-bale jati yang diletakkan Ayah di luar dapur. Disini kami bisa melihat pemandangan indah, sayur-sayuran yang ditanam oleh Ibu dan Ayah begitu terlihat hijau dan menyejukkan mata. Dengan tingkah lucu para ayam kecil yang saling berkejaran satu sama lainnya. "Kenapa, ya, saudara Ayah kamu bersikap buruk s
Belum juga pembicaraan dimulai, Ayah datang dengan peluh membanjiri wajahnya. Meski wajahnya memerah, tapi senyum simpul terbit kala mata mereka beradu. Mbah Darma hanya menggeleng melihat keponakannya baru saja pulang dengan napas tersengal-sengal. Mungkin rasa capek membuat lelaki yang masih gagah itu sedikit kewalahan dengan berbagai macam pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."Duduk, aku mau bicara sama kamu!" "Saya membersihkan diri sebentar, Mbah. Apek," jawab Ayah terkekeh. Selang beberapa menit Ayah sudah berada ditengah-tengah kami kembali. Wajahnya sudah segar dengan pakaian yang berganti. "Aku ingin memperkenalkan calon untuk Suci, bagaimana apakah kamu setuju?" Aku tersentak mendengar Mbah Darma yang menyebut namaku. Dalam sekejap mata ini memicing dengan rambut yang tersapu oleh oleh kipas angin segera aku sisihkan dibelakang telinga. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah sebuah kesalahan dari indra pendengaran. Ibu menoleh ke arahku, sama beliau pun mungkin