Share

Bab 5 KELAPA TUA

Setengah berlari aku mengejar gerombolan ibu-ibu yang sedang mengerubungi tukang sayur di ujung gang. Ibu meminta membeli sayur juga ikan untuk makan siang nanti.

Karena aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, maka diminta oleh beliau untuk berbelanja.

"Anakku semalam di lamar oleh anak juragan sapi tetangga sebelah. Lamarannya nggak main-main, ada perhiasan emas satu set, pakaian dan juga jajanan banyak. Maklum orang kaya," cerocos Bi Salimah saat melihatku sedang memilih sayuran.

"Alhamdulillah, semoga langgeng, ya, Bu. Enak lho, dapat besan Pak Kamari, orangnya ramah, baik dan juga serba punya.

"Lha, iya, dong. Lagian keluarga kami itu nggak ada yang cacat, makanya jodohnya dekat." Mata Bi Salimah melirik tajam.

Namun, aku enggan menanggapi. Berpura-pura tidak mendengarnya adalah jalan terbaik. Daripada pagi-pagi begini harus menguras emosi, sayang sekali jika harus terbuang sia-sia.

Meski dadaku sudah kembang-kempis menahan gejolak amarah yang siap meledak, tapi aku harus tahan dulu sebelum dia memanggil ataupun menyentil namaku. Itu prinsipku saat ini.

"Lho, Suci, laki-laki yang datang ke rumahmu kemarin nggak jadi? Kok aku lihat kalian sekeluarga tenang-tenang saja nggak ada acara ramai-ramai?" tanya Bu Marlina, teman gosip Bi Salimah memancing emosiku, untung saja ikannya sudah di beli sama Bu RT, jadi nggak akan mudah diambil. Eh.

"Belum jodoh, Bu."

"Aih, jangan lama-lama, Ci. Nanti kalau jadi perawan tua malah malu, lho. Masak teman-teman sebayamu sudah laku semua, tapi kamunya saja yang belum." Bu Marlina mencoba memancing lagi, jelas dari perkataannya yang seolah mengajakku untuk berduel. Mata itu melirik dan sekilas kulihat lengannya menyenggol sahabat sejatinya Bi Salimah.

Masih kubiarkan wanita didepanku ini bernafas lega dengan menghinaku seenak jidatnya. Biarkan saja, aku nggak akan mengikuti alurnya dulu.

Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih saling berbisik-bisik ceria. Tawa riang sesekali menghiasi cerita mereka yang terlihat seperti sosialita kelas tengah.

"Suci tunggu! Masak nggak dijawab pertanyaanku tadi?"

"Pertanyaan yang mana, aku kira Bu Marlina tahu sendiri jawabannya, 'kan, Ibu orang yang cerdas," balasku dengan mengayunkan langkah kaki ini segera pulang.

Namun, lagi-lagi suara sumbang nan fals itu memekakkan telinga. Membuat gendang telinga ini tiba-tiba berdengung.

"Perawan tua!" teriaknya.

Aku berhenti dan menoleh lalu mendekati mereka yang saling sikut dan seolah tidak menyadari kehadiranku ini.

"Justru yang tua itu yang dicari, Bu. Coba lihat kelapa tua itu, selalu dicari untuk diambil santannya atau untuk membuat minyak. Lah, kalau yang muda buat apa dicari? Nggak enak dan nggak ada manfaatnya!" ketusku dan berlalu meninggalkan mereka.

"Maksud kamu apa menghina anakku seperti itu? Hah? Kamu iri?" teriak Bi Salimah nyaring. Seperti sedang berkaraoke ria, suaranya seakan menggema di seluruh pelosok desa.

Aku tertawa puas mendengar ada hati yang terluka, biar saja. Sekali-kali mereka memang harus dilawan meski kelak ada lencana untukku sebagai anak durhaka.

Hidup ini memang perlu keberanian, contohnya barusan saja. Jika aku diam dan tidak melawan, bisa dipastikan mereka akan semakin menjadi-jadi. Apalagi Bi Salimah, meski masih ada darah yang mengalir di tubuh kami, dia tidak akan sungkan untuk menghinaku sekeji mungkin.

Entah itu sudah menjadi tabiat dari keluarganya atau memang ciri khas tersendiri. Intinya aku harus berani jika memang benar.

🖤🖤🖤🖤

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Koki Garasi
mantap x ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status