Share

Bag-5

SETELAH NUR KELUAR KAMAR MANDI, Nek Iyam langsung memanggil cucunya itu. Namun, lelaki tua yang berada di sampingnya hanya bengong saja sampai mulutnya seperti pintu guha. Nur terlihat biasa saja, dia berjalan mendekati neneknya dengan keadaan handuk masih melilit menutupi rambutnya. 

"Ada apa, Nek?" tanya Nur yang sudah berada persis di depan neneknya.

"Kamu, sehat?" Nek Iyam balik tanya.

"Sehat, dong. Emang kenapa, sih, Nek?" 

"Nggak ada apa-apa."

"Terus, dari kapan Nenek dan Kakek ada di sini?" 

"Dari semalam. Kamu, nggak ingat, ya?"

"Nggak, Nek," jawab Nur, "mungkin aku sudah tidur, ya?" lanjutnya. 

Nek Iyam hanya mengangguk saja. Dia tidak mungkin untuk menceritakan hal sebenarnya kepada Nur dan kakeknya pun hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan Nek Iyam. Memang, mereka pun merasakan ada yang aneh dengan cucunya ini. Namun, mereka juga melihat Nur baik-baik saja di pagi hari ini. Dan mereka pun tidak ingin membuat Nur menjadi bertanya-tanya jika menceritakan kejadian yang semalam. 

*

Di depan warung pedagang bubur ayam, Ani memberhentikan dulu sepeda motor yang dia kendarai. Dia pun langsung masuk ke dalam warung itu dan memesan satu porsi bubur ayam tanpa bawang, dibungkus. Menunggu pesanannya sampai jadi. Dia pun duduk di kursi panjang yang berada di warung sambil sesekali memainkan ponselnya. Entah, apa yang dilihat dan dibaca di dalam ponselnya. Namun, sorot matanya sangat serius sekali ketika melihat ponsel yang dia mainkan. 

Alangkah terkejutnya Ani ketika ada suara memanggil namanya dari arah kursi yang lain di dalam warung. Sewaktu Ani menengok ke arah sumber suara, ternyata suara itu bersumber dari lelaki yang dia idam-idamkan sejak lama. Teman SMA. Riki, Lelaki yang mempunyai paras tampan itu memanggilnya dan melemparkan senyum untuknya.

Ani hanya bisa melemparkan senyuman untuk lelaki yang tadi memanggil namanya. Namun, ada yang aneh dengan perasaan Ani, dia pun merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Dia selalu meleleh ketika melihat Riki. Maklum, ada gejolak cinta yang begitu besar untuknya. Namun, Ani tidak mampu untuk mengucapkannya sehingga cinta itu hanya bisa dipendam saja. 

Hidup Ani pun seperti mendung, kadang sedih dan bahagia. Mendung yang terus menggerogoti tubuhnya, membuat dia selalu hati-hati dalam memainkan cinta. Dan sampai-sampai, dia menahan semua rasa cinta yang terkandung dalam dirinya agar tidak merasakan sakit hati. Memang, ini keputusan yang berat untuknya, tetapi hanya dengan itu dia bisa berjalan terus untuk menuju kebahagiaan. 

Cinta yang tertahan, akan membuat Ani tak berdaya di hadapan Riki. Dia hanya bisa memandang wajah Riki yang tampan rupawan, sedangkan batinnya ingin sekali dekat dengan lelaki itu. Namun, semua itu hanya rasa yang tak kunjung menjadi kenyataan. Dia tidak mampu. Dan dia pun seorang wanita yang tidak ingin menyebutkan cinta duluan kepada seorang lelaki. 

"Neng, ini buburnya sudah jadi!" Tiba-tiba saja pelayan bubur mengagetkannya dari lamunan yang terjadi di warung itu. 

"Oh. Ini uangnya, Kang!" Ani memberikan uang yang pas sesuai harga satu porsi bubur. Kemudian, dia langsung keluar dari warung itu tanpa pamit terlebih dahulu kepada Riki. 

Mengendarai sepeda motor di pagi hari, sungguh membuat Ani lebih hati-hati. Jalanan yang dilewatinya pun terisi oleh kendaraan roda dua maupun empat. Dan mungkin saja, mereka-mereka yang memakai kendaraan di jalan raya itu mau berangkat kerja. Ani yang seorang diri harus berangkat kerja, melewati jalanan kurang lebih 15 KM pun selalu menurut terhadap rambu-rambu lalu lintas.

*

Rasa lapar pun muncul di pagi hari, Nur sangat beruntung dengan adanya Nek Iyam di rumahnya. Setidaknya, masalah sarapan selalu dipersiapkan. Nasi kuning. Goreng bakwan. Bahkan, teh manis pun selalu tersedia setiap Nek Iyam kalau sedang berada di rumahnya. 

Perut yang terus meminta untuk diisi oleh makanan bergizi. Akhirnya, Nur pun langsung mengambil sepiring nasi kuning dan dua bakwan. Kemudian, dia menyantapnya sambil duduk di kursi meja makan. 

'Ah, enak sekali pagi-pagi makan ini!' Batin Nur berbicara. 

Kakek Samad yang dari tadi memperhatikan Nur, terus memandang wajah cucunya itu sampai dia pun memikirkan kejadian semalam. Seorang lelaki tua itu tidak mengerti dengan hal yang dia alaminya. Melihat Nur makan tikus. Mulut cucunyanya berdarah. Namun, sekarang dia melihat cucunya seperti biasa. Hanya masih terlihat sering melamun yang dilakukan oleh Nur. 

'Apa mungkin karena semalam itu malam Jumat?' Kakek Samad terus mencoba untuk mencari tahu penyebab bisa terjadi hal yang sangat buruk terhadap keluarganya itu.

Memang orang tua Nur, dulu pernah cerita kepada Kakek Samad bahwa di rumah mereka ada penunggunya. Dan penunggu itu selalu keluar waktu malam Jumat. Namun, Kakek Samad selalu bilang bahwa semua rumah juga ada penunggunya. Lelaki tua itu pun selalu mengacuhkan ketika anaknya bercerita tentang rumah tempat tinggalnya, sedangkan Nek Iyam tidak pernah diberitahu tentang hal semacam ini. Sebab, ketika orang tua Nur mau cerita kepada Nek Iyam selalu dicegat oleh Kakek Samad dan beliau pun berkata:

"Jangan cerita sama ibu! Kan tahu ibu sedang sakit. Abah takut, ambu jadi tambah sakit kalau mendengar cerita kamu ini."

Orang tua Nur pun selalu menahan dan tidak jadi kalau mau cerita kepada ibunya itu. Sebab, selalu ingat kata Kakek Samad. Dan ada benarnya juga kata Kakek Samad. Jadi, orang tua Nur pun hanya bisa memendam apa yang harus diceritakan kepada ibu tersayangnya. 

Setelah memandang terus Nur sembunyi-sembunyi, lelaki yang sudah tua itu pun mengayunkan kakinya ke luar rumah lagi. Tampak jelas di matanya terlihat langit yang begitu cerah. Udaranya masih segar. Pohon-pohon bergoyang. Daun-daun berterbangan. Halaman rumah jadi banyak daun. Namun, Kakek Samad menyukai pemandangannya jika dibandingkan dengan kejadian semalam yang menimpa keluarganya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status