Share

Bag-6

JANTUNG RIKI BERDETAK SANGAT KENCANG, di saat mengetahui ada wanita yang dia idamkan selama ini masuk ke warung bubur ayam. Tidak enak diam. Tidak fokus untuk makan. Hanya satu yang dirasakan olehnya, bunga-bunga cinta itu muncul kembali di indahnya suasana pagi hari. Tak lupa dia menatap Ani sambil melayangkan sapaan yang dibarengi senyuman khas.

Indah bola matanya sangat menusuk sanubari Riki. Sampai-sampai, Riki dibuat salah tingkah oleh kehadiran Ani di warung itu. Namun, dia juga sangat merasa beruntung bisa bertemu Ani di waktu pagi-pagi sebelum berangkat kerja. Katanya, ini rejeki bisa memandang indah wajahnya di pagi hari. Ani hanya bisa tersenyum kepada Riki. Mungkin saja, dia juga gugup ketika melihat Riki berada juga di warung bubur ayam. 

Ada benarnya kata orang-orang, cinta akan semakin tumbuh bila berhadapan langsung dengan orang yang dicintainya. Dan semua itu akan terasa sangat indah bila bisa bersama serta saling menjaga hati. Namun, Riki khawatir dengan perasaan yang dia punya ini salah jalur dan belum siap untuk menerima konsekuensi dalam main cinta. 

Bubur ayam yang sudah dingin pun dia tidak pedulikan lagi. Hanya dua yang Riki inginkan di warung itu adalah bisa lebih dekat lagi dengan Ani dan makan berdua bersama dirinya. Namun lagi dan lagi, dia tidak mampu untuk mengucapkan semua itu. Bibirnya tiba-tiba kaku. Sementara Ani terus fokus dengan ponselnya, mungkin dia ingin mengalihkan pandangannya atau benar-benar fokus dengan layar persegi panjangnya? Riki pun tidak tahu dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Ani itu. 

Para penikmat bubur yang ada di warung itu, sesekali memandang Riki yang terus mengalami salah tingkah. Mereka sesekali tersenyum juga kepada Riki. Ada rasa malu dengan hal yang dia lakukan di waktu itu. Riki pun tidak mengerti kenapa rasa cinta itu muncul ke permukaan lagi di saat waktu pagi. 

Apa mungkin cinta itu akan datang terus? Sebuah pertanyaan berputar dari otak lelaki itu. Riki yang tidak bisa menahan gejolak batinnya pun langsung mendekat ke arah Ani, untuk bisa lebih dekat lagi memandang wajahnya. Namun, Ani tidak mengindahkan  Riki. Dia hanya bengong ke arah lain. Bukan ke arah Riki. Seorang lelaki itu penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Ani.

Tiba-tiba saja, Ani terlihat kaget dengan ucapan pelayan warung itu. Kata pelayan itu, ini buburnya sudah jadi! Wajahnya tampak penuh tekanan yang dia hadapi. Namun, setelah membayar satu porsi bubur ayam, dia pun langsung pergi tanpa pamit kepada Riki. Batin Riki pun semakin bertanya-tanya dengan keadaan yang sedang dialami oleh Ani. 

"A ... Ani!" Riki pun memanggilnya sambil berlari ke luar warung bubur ayam itu. 

Ayunan kaki Ani pun berhenti lalu dia bertanya, "Ada apa, Ki?"

"Ada apa denganmu? Kamu, kelihatan banyak pikiran, ya?" Riki yang sudah berada di hadapan Ani pun langsung melemparkan pertanyaan. 

"Nggak apa-apa, Ki. Ini hanya kecapean aja," jawab Nur, "aku berangkat kerja dulu, ya!" lanjutnya dibarengi ayunan kaki yang mulai digerakkan kembali. 

Riki mengangguk dan dia pun di dalam hatinya ada rasa kurang percaya dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu. Riki sangat yakin bahwa ada masalah yang disembunyikan oleh Ani. 

*

Nur merasakan ada yang berbeda dengan badannya, sakit-sakit. Dia pun merasakan ada sesuatu yang aneh menimpa dirinya. Setiap pagi, biasanya dia duduk di teras rumah menunggu matahari keluar dan menyinari dirinya. Dan banyak pula orang-orang yang selalu menyapa dirinya ketika ada di teras rumah. Namun di hari ini, dia hanya bisa duduk di kursi yang berada di tengah rumah. Menahan sakit. Bertanya-tanya. Berprasangka buruk terhadap dirinya, hanya itu yang ada di pikirannya. 

"Nur ...!" panggil Nek Iyam yang membuat Nur terkejut dari lamunannya. 

Nur menengok dan tidak berkata sedikit pun. Wajahnya yang murung menjadikan Nek Iyam sangat kasihan kepada Nur. Seorang wanita tua yang berada di depan Nur itu juga tidak habis pikir dengan Diki. Cucunya ini kurang apa? Cantik, iya. Manis, iya. Sabar, iya. Batin Nek Iyam terus bertanya-tanya, sampai wanita tua itu langsung mendekat di samping Nur.

"Neng, ada apa? Kok, Nenek lihat-lihat kamu melamun terus?" tanya Nek Iyam. 

"Nggak ada apa-apa, Nek." Air bening yang berada di mata Nur pun keluar dengan dibarengi jawaban yang diberikan kepada neneknya. 

"Kalau nggak apa-apa, kenapa nangis?" 

"Aku pasti kuat menghadapi ini, Nek." Nur langsung mendekap seorang wanita tua yang berada di sampingnya.

Nek Iyam sangat paham dengan apa yang dikatakan oleh cucunya itu. Wanita tua itu pun merasakan kesedihan yang mendalam atas apa yang dialami oleh Nur. Namun, dia juga tidak bisa apa-apa. Hanya doa yang bisa dia keluarkan dari mulutnya. Nek Iyam sangat percaya bahwa setiap ciptaan-Nya akan diuji dan hanya doa yang bisa menolongnya. Wanita tua yang terus memakai syal itu pun selalu mengingat apa yang ada di Al-Qur'an, hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan¹.

Memang, mendung akan tidak selamanya mendung. Namun, ini sangat menyakitkan bagi Nur. Hatinya seperti sedang diiris-iris oleh waktu, perasaan yang terus merundung kegalauan. Dia sampai tidak semangat untuk apa pun. Makan enggak enak. Bekerja enggak napsu. Setiap harinya, diam sendirian sambil kedua kakinya ditekukan, melamun. 

Ada beberapa omongan orang yang menyebut Nur sudah gila karena cinta. Ada beberapa orang yang kasihan kepada dia. Kakek Samad tidak peduli dengan omongan orang-orang kepada cucunya. Lelaki tua itu sangat percaya bahwa cucunya ini akan bersinar lagi, seperti matahari yang menyinari bumi tidak ada lelahnya. 

"Kamu itu harus kuat, Neng. Tenang saja jodoh, harta, dan mati sudah ada yang ngatur!" kata Kakek Samad yang mendekati Nur. 

Nur melirik ke arah kakeknya lalu dia pun mengangguk. Dan di wajahnya terlihat ada rasa kekuatan yang muncul ke permukaan. 

"Iya, Kek, Nek. Makasih udah nemenin aku, ya!" Nur melirik ke arah kedua orang yang disayanginya. 

Ada air yang menetes dari mata Kakek Samad itu. Dia baru sekarang ini merasakan hatinya luluh lantah oleh kejadian yang begitu tidak diduga. Lelaki tua itu pun tidak mampu untuk memberitahukan yang telah terjadi kepada Nur. Dari semua itu, lelaki tua yang menjadi kakeknya itu hanya bisa membayangkan kembali apa yang sudah terjadi. Merenung. Kadang-kadang meneteskan air mata. Kakek Samad tidak ingin mendung yang terlihat dari diri Nur itu menjadi sebuah bencana kebanjiran yang menenggelamkan harapannya. 

Catatan kaki:

¹ QS. Al-Fatihah ayat 5

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status