Share

Bab.3: Suami Bermuka Dua

Aku terkejut melihat kedatangan ayah dan kak Lala secara bersamaan. Wajah ayah terlihat tidak bersahabat, terlebih kak Lala. Lantas, apa maksud dari pertanyaannya?

Wajah Mas Gunawan terlihat pias mendapatkan pertanyaan dari kak Lala. Jelas terlihat dia meneguk salivanya.

"Kenapa diam? Kamu sudah tidak mampu membiayai persalinan Adikku, hingga sampai hati menjadikan KTP-nya sebagai jaminan? hardik kak Lala lagi.

"Bu-kan be-gitu. Kakak tolong sabar dulu, jangan terbawa emosi." Mas Gunawan terlihat gugup.

Wajahnya juga terlihat ketakutan. Apa benar yang dikatakan kak Lala, kalau kartu identitasku mejadi jaminan di rumah sakit? Memang sebelum operasi berlangsung, Mas Gunawan sempat meminjam KTP-ku.

"Coba kamu jelaskan kepada kami, kenapa KTP Hanum bisa menjadi jaminan di ruang administrasi?" tanya ayah dengan suara beratnya. Wajahnya yang biasanya tenang, kali ini terlihat tegang.

Aku kembali menatap laki-laki berambut ikal dan bermanik mata hitam itu dengan lekat. Ingin tahu jawaban atas pertanyaan ayah.

"Jadi begini, Kak, Yah. Saat berangkat kesini, karena terburu-buru Gunawan lupa membawa dompet. Entah tertinggal di bengkel, atau memang tertinggal di rumah. Gunawan hanya membawa uang cash sebesar dua juta rupiah dalam tas kerja. Pihak rumah sakit meminta deposit yang jumlahnya setengah dari biaya persalinan. Gunawan bingung, sehingga mau tidak mau menjadikan KTP Hanum sebagai jaminan sebelum uangnya cukup, supaya bisa segera diproses persalinannya," ucap Mas Gunawan dengan tenang.

Dia terlihat berhati-hati dalam berbicara, seolah takut ayah dan kak Lala curiga. Padahal aku tahu, itu hanya alasannya saja. Mana mungkin laki-laki perhitungan seperti dia meninggalkan dompetnya.

"Dasar pembohong," umpatku dalam hati.

"Tidak masuk akal, masa iya kamu berangkat kerja nggak bawa dompet? Terus kenapa kamu nggak transfer aja biayanya lewat m-banking?" sanggah kak Lala, seolah tidak percaya dengan alasan Mas Gunawan.

"Maaf Kak, Gunawan tidak mempunyai aplikasi m-banking. Gunawan lebih nyaman menggunakan transfer langsung ke ATM, Kak," jawab Mas Gunawan santai.

Setahuku Mas Gunawan memang sudah tidak memiliki mobile banking yang sebenarnya memudahkan dalam bertransaksi online. Alasannya karena dia pelupa, sehingga seringkali aplikasi itu terblokir karena lupa dengan nomor pin transaksinya.

Aku sering melihatnya emosi karena salah memasukkan nomor pin, saat akan mentransfer uang kepada kak Sita. Kakak kandung Mas Gunawan yang kepentingannya melebihi aku istrinya.

"Kenapa kamu tidak meminta bantuan Ayah, atau bantuan Lala, Gunawan?" tanya ayah kemudian.

"Maaf Ayah, Gunawan tidak mau merepotkan Ayah dan Kak Lala. Selama Gunawan bisa mengatasinya sendiri," jawab Mas Gunawan sok mampu.

Padahal kenyataannya, dia memang tidak mampu mengatasi keuangan dalam rumah tangga kami. Bukan karena kekurangan uang, melainkan dia yang selalu mementingkan keluarga kandung dibandingkan anak dan istrinya.

"Buktinya memang kamu nggak bisa mengatasinya, kan? Bilang saja kamu nggak mampu bayar biaya persalinan yang nominalnya bisa kamu dapat hanya dalam waktu dua bulan saja!" cecar kak Lala masih belum puas membuat Mas Gunawan kehabisan kata.

"Sudah ... sudah ... kali ini biarkan Ayah yang membayar biaya persalinan Hanum!" tegas ayah kembali menegahi perdebatan Mas Gunawan dan kak Lala untuk yang kedua kalinya.

"Tidak usah, Ayah. Biar Gunawan saja yang membayarnya. Berhubung sudah ada Ayah dan Kak Lala yang menjaga Hanum, Gunawan rencananya mau pulang mengambil dompet yang tertinggal," ujar Mas Gunawan menolak tawaran dari ayah.

Ini sudah yang ketiga kalinya ayah membiayai persalinanku. Beliau tidak mau memberatkan Mas Gunawan, padahal jelas-jelas sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Namun Mas Gunawan seolah terlihat tidak mau memberatkan ayah, padahal sebenarnya dia sangat mengharapkan bantuan ayah. Dia sangat pandai bersandiwara di depan ayah dan kak Lala.

"Kamu jangan menolak bantuan Ayah, Gun. Biar nanti uangnya kamu gunakan untuk kebutuhan kalian saja. Apalagi sekarang anak kalian sudah bertambah!" ucap ayah, membuatku kembali merasa bersalah kepadanya.

Aku selalu mendapatkan bantuan dari ayah, padahal sudah memiliki suami yang seharusnya bertanggung jawab kepada keluarganya.

Mas Gunawan akhirnya mengangguk dengan ragu, sementara kak Lala terlihat kesal dengan keputusan ayah. Aku tahu selama ini sikap kak Lala selalu sinis kepada Mas Gunawan, karena merasa curiga dia tidak menjadi suami yang baik buatku. Namun selama ini pula menutupinya dari keluargaku. Aku tidak ingin ayah menyesali keputusannya karena sudah menjodohkanku dengan laki-laki yang salah.

Oleh sebab itu, aku memendam sendiri masalah rumah tanggaku. Selain tidak mau mengecewakan ayah, aku juga ingin menjadi istri yang taat dan patuh kepada suami. Ilmu yang yang aku dapat sebelumnya dari pendidikan di pondok pesantren pun mengajarkan bahwa letak surga istri ada pada suaminya.

Pada sore harinya, ayah dan kak Lala berpamitan pulang setelah melunasi seluruh biaya persalinanku. Kak Lala secara pribadi meminta maaf karena tidak bisa mendampingi seperti persalinanku sebelumnya, karena dia sedang ada kesibukan membuka beberapa cabang bisnis kuliner ayah yang berada di luar daerah. Sebelum pergi, kak Lala berpesan agar aku menghubunginya jika membutuhkan bantuan. Seperti yang sudah-sudah, aku pasti mengatakan semuanya baik-baik saja.

Setelah kepergian ayah dan kak Lala, Mas Gunawan kembali kesikap aslinya. Dia kembali dingin dan sinis

kepadaku. Tak lama kemudian, terdengar dering ponsel Mas Gunawan. Entah siapa yang menelpon, dia menerima panggilan itu seraya berjalan ke luar ruangan. Mas Gunawan selalu seperti itu, selalu menjauh dariku jika mendapatkan panggilan.

Aku hanya mengusap dada dan berusaha bersabar dengan semua sikapnya. Aku yakin, suatu hari nanti sikapnya perlahan akan berubah, seiring dengan berjalannya waktu. Cukup lama juga Mas Gunawan berada di luar. Rasanya tidak ada gunanya menanti kedatangannya, sebaiknya aku beristirahat untuk memulihkan tenaga yang terkuras pasca melahirkan.

Entah berapa lama tertidur, aku terkejut saat mendengar pintu terbuka dan Mas Gunawan masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Terheran saat melihat dia meletakkan jaket berbahan kulitnya dibrankar tempatku berbaring.

Rupanya dia sedang kebelet, karena dia langsung menuju toilet. Saat Mas Gunawan berada di toilet, aku merasa penasaran siapa yang menghubunginya. Aku nekat mengambil ponsel dari balik saku jaketnya.

Dalam hati berdoa, agar jangan sampai dia mengetahui aku merazia ponselnya. Perlahan aku membuka ponselnya yang tidak terkunci. Aku langsung melihat riwayat panggilan masuk, tertera nama kak Sita. Setelah memeriksa riwayat panggilan, aku memeriksa riwayat kotak masuk. Ada pesan terbaru dari kak Sita, karena berada di urutan paling atas.

Aku penasaran dan membaca pesannya.

"Gun transfernya 20 juta aja, yang 15 juta buat bayar arisan yang menunggak 3 bulan. Sisanya buat Kakak ke salon. Wajah Kakak udah kucel nih karena udah lama banget nggak ke salon."

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status