Share

Bab.4: Dia Tidak Peduli

Hatiku terasa perih membaca pesan dari kakak ipar yang memang selalu mencampuri urusan rumah tangga kami. Pantas saja Mas Gunawan selalu perhitungan kepada keluarga kecilnya. Rupanya selama ini diam-diam dia mengirimkan uang kepada Mbak Sita.

Sebenarnya aku tidak masalah jika dia membantu saudara kandungnya, jika kewajibannya telah dijalankan dengan baik. Namun pada kenyataannya, dia lalai dengan semua tanggung jawabnya.

Aku bukan tidak bersyukur menerima nafkah seadanya dari Mas Gunawan, namun aku tahu penghasilan dari bengkel setiap harinya. Jatah bulanan yang aku dapat, tidak ada separuh atau bahkan seperempat penghasilan dari bengkel.

Jangankan membeli kebutuhan pakaian yang kini sudah tidak layak pakai, untuk kebutuhan makan sehari-hari, jajan kedua anakku saja masih kekurangan kalau tidak mendapatkan bantuan dari ayah.

"Hanum, lancang sekali kamu membuka hapeku!!" teriak Mas Gunawan yang sudah berdiri di depan pintu toilet dengan pancaran kemarahan yang membuatku terkejut.

Saking terkejutnya, ponsel Mas Gunawan terlepas dari genggamanku. Beruntung hanya terjatuh ke atas brankar. Aku tidak bisa membayangkan jika sampai ponselnya terjatuh ke lantai.

Aku terhanyut dengan rasa sakit hati, hingga tidak menyadari keberadaan Mas Gunawan. Dia melangkah lebar menghampiri dan merebut ponselnya.

"Mas, apa benar Mbak Sita mau pinjam uang sama kamu? Dua puluh juta, Mas. Itu bukan nominal yang sedikit!" ucapku kemudian dengan suara bergetar. Rasa takut karena bentakan tadi dan rasa kecewa kepada Mas Gunawan bercampur jadi satu.

"Kalau iya, memang apa masalahmu?" ketus Mas Gunawan dengan tatapan nyalang kepadaku.

"Aku tidak masalah jika kamu membantu Mbak Sita, asalkan kewajiban sebagai kepala keluarga sudah terpenuhi!" jawabku memberanikan diri.

"Setiap bulan aku sudah memberikanku jatah sebesar satu juta setengah, belum lagi bayar gaji pembantu satu juta. Apalagi yang kurang?" tanya Mas Gunawan tanpa rasa bersalah.

"Mas pikir jumlah segitu cukup untuk kebutuhan kita sebulan? Ditambah sekarang semuanya serba mahal. Seharusnya sebelum membantu orang lain, pastikan dulu kebutuhan keluarga kecilmu terpenuhi!" tegasku lagi.

"Mbak Sita itu bukan orang kain, dia kakak kandungku. Seharusnya kamu banyak bersyukur karena di luar sana masih banyak keluarga yang tidak mendapatkan jatah rutin tiap bulannya. Kamu saja yang terlalu boros jadi perempuan!" hardik Mas Gunawan.

Tiba-tiba area bagian perutku terasa sakit saat mendengar hardikkan Mas Gunawan. Aku teringat pesan dari perawat, aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sepertinya beban pikiran membuat luka bekas caesarku bertambah sakit.

"Aku tahu penghasilan bengkel, Mas. Jadi nominal yang kamu beri kepadaku tidak ada separuhnya. Lalu kemana sisanya? ?" tanyaku kemudian setelah sedikit merasa tenang.

"Aku tabung di deposito untuk masa depan anak kita. Biaya pendidikan itu mahal, jadi kita harus persiapan dari sekarang!" jawab Mas Gunawan dengan entengnya.

Sayangnya aku tidak percaya dengan jawabanya. Aku tahu, dia pandai bersandiwara. Rasanya tidak mungkin dia mempunyai tabungan deposito untuk pendidikan anak-anak.

"Kalau memang benar kamu punya tabungan deposito, aku ingin lihat buktinya, Mas!" tantangku. Mas Gunawan terlihat gugup, jelas sekali kalau dia berbohong.

"Jangan terlalu banyak omong kamu jadi Istri. Tinggal duduk manis dan laksanakan tugasmu apa susahnya, sih?" berang Mas Gunawan.

"Pokoknya aku mau kamu tambahkan jatah bulananku. Apalagi sekarang anak kita bertambah. Butuh banyak uang untuk membeli kebutuhannya. Bukankah biaya persalinan sudah ditanggung ayahku?" cecarku.

Kali ini aku tidak mau kalah. Aku harus menuntut hak-ku. Bukan hak untuk keperluan pribadiku, melainkan untuk kebutuhan keluarga, termasuk dirinya.

"Oke, kalau kamu mau tambahan jatah bulanan. Kamu pecat saja Bik Inah, nanti jatah gajinya buat kamu, beres, kan?" jawab Mas Gunawan tersenyum menang.

"Sama saja bohong kalau gitu, Mas. Aku masih membutuhkan bantuan Bik Inah, apalagi kondisiku sekarang melahirkan caesar. Tidak boleh melakukan aktivitas yang berat dulu!" tolakku mentah-mentah.

Mas Gunawan malah berlalu meninggalkanku. Aku merasa belum puas, karena permintaanku belum terpenuhi. Aku takut jika ucapannya menjadi kenyataan. Jangan sampai Bik Inah berhenti kerja lalu aku kerepotan sendiri. Ditambah kondisiku pasca persaliann caesar, pasti lebih parah dari sebelumnya.

...

Tiga hari sudah aku mendapatkan perawatan di rumah sakit pasca persalinan caesar. Rencananya hari ini aku pulang ke rumah. Aku sudah mengabari ayah dan kak Lala atas kepulanganku. Namun mereka berhalangan sehingga tidak bisa ikut menjemput.

Setelah semua proses administrasi selesai, aku sudah bersiap untuk pulang. Bayiku sudah berada didalam gendongan. Walaupun perutku masih terasa sakit, namun terbayarkan dengan melihat wajah bayiku yang cantik. Mas Gunawan terlihat cuek dengan bayinya, padahal wajahnya seratus persen mirip dengannya.

Aku berjalan tertatih, merasakan sakit yang makin terasa ditambah beban menggendong bayi. Mas Gunawan tidak ada inisiatif untuk membantu atau menggendong anaknya agar aku tidak kepayahan seperti saat ini.

Kami menaiki lift untuk turun ke lantai satu, kebetulan ruang perawatanku berada di lantai tiga. Saat berada di lift, terlihat wanita yang sepertinya sama sepertiku. Bedanya dengan tenangnya dia duduk di atas kursi roda sambil menggendong bayinya.

Sementara suaminya terlihat sigap memegangi kursi roda dibelakangnya. Aku merasa terenyuh dengan keadaanku. Mas Gunawan tidak peduli padaku dan bayinya.

Aku berjalan tertatih keluar dari lift menuju halaman rumah sakit untuk menunggu taxi online pesanan Mas Gunawan. Setelah taxi datang, aku dan Mas Gunawan memasukinya. Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan diantara kami. Mas Gunawan malah asyik dengan ponselnya. Sementara aku sibuk menenangkan bayiku yang terlihat sedikit rewel di gendongan.

Hampir satu jam lamaya menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah. Dari kejauhan nampak Bik Inah sudah menunggu kedatangan kami. Entah darimana dia tahu kalau aku pulang hari ini.

Bik Inah dengan sigap mengambil bayiku ke gendongannya. Sementara Mas Gunawan melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi aku hanya bisa mengusap dada melihat sikapnya.

...

Dua hari sudah aku berada dirumah. Hampir tiap malam aku tidak dapat tidur karena merasakan rasa sakit di area perutku. Ditambah lagi, bayiku juga rewel setiap malam hingga menjelang pagi hari. Entah kenapa asiku masih juga belum keluar. Padahal di persalinan sebelumnya, asi keluar sehari pasca melahirkan.

"Mas, tolong belikan dede bayi susu formula. Asiku belum keluar. Kasihan dia tidak bisa tidur nyenyak, mungkin karena lapar!" ucapku pada Mas Gunawan yang sedang asyik bermain game di ponselnya.

"Paksa asimu agar keluar, kalau beli susu tambah pengeluaran lagi. Memangnya kamu pikir cari duit itu gampang!" ketus Mas Gunawan.

"Paksa gimana, Mas? Aku juga nggak tahu kenapa asinya belum keluar sampai sekarang. Padahal saat Hana dan Hani lahir, sehari juga sudah ada asinya. Mungkin karena aku kelelahan, jadi asinya tidak keluar."

"Semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Bik Inah, lalu kamu lelah ngapain?"

"Aku lelah karena kurang tidur, Mas. Si dede nggak bisa tidur sampai pagi. Kamu seharusnya bantuin jagain dede supaya aku bisa beristirahat," jawabku.

"Males banget aku begadang buat jagain bayi perempuanmu itu. Kalau bayinya laki-laki baru aku mau!" jawabnya enteng.

Lagi-lagi masalah jenis kelamin yang menjadi alasan suamiku tidak peduli dengan bayinya. Aku tidak tahu, apakah sikap suamiku akan berubah seiring dengan berjalannya waktu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status