Hatiku terasa perih membaca pesan dari kakak ipar yang memang selalu mencampuri urusan rumah tangga kami. Pantas saja Mas Gunawan selalu perhitungan kepada keluarga kecilnya. Rupanya selama ini diam-diam dia mengirimkan uang kepada Mbak Sita.
Sebenarnya aku tidak masalah jika dia membantu saudara kandungnya, jika kewajibannya telah dijalankan dengan baik. Namun pada kenyataannya, dia lalai dengan semua tanggung jawabnya.Aku bukan tidak bersyukur menerima nafkah seadanya dari Mas Gunawan, namun aku tahu penghasilan dari bengkel setiap harinya. Jatah bulanan yang aku dapat, tidak ada separuh atau bahkan seperempat penghasilan dari bengkel.Jangankan membeli kebutuhan pakaian yang kini sudah tidak layak pakai, untuk kebutuhan makan sehari-hari, jajan kedua anakku saja masih kekurangan kalau tidak mendapatkan bantuan dari ayah."Hanum, lancang sekali kamu membuka hapeku!!" teriak Mas Gunawan yang sudah berdiri di depan pintu toilet dengan pancaran kemarahan yang membuatku terkejut.Saking terkejutnya, ponsel Mas Gunawan terlepas dari genggamanku. Beruntung hanya terjatuh ke atas brankar. Aku tidak bisa membayangkan jika sampai ponselnya terjatuh ke lantai.Aku terhanyut dengan rasa sakit hati, hingga tidak menyadari keberadaan Mas Gunawan. Dia melangkah lebar menghampiri dan merebut ponselnya."Mas, apa benar Mbak Sita mau pinjam uang sama kamu? Dua puluh juta, Mas. Itu bukan nominal yang sedikit!" ucapku kemudian dengan suara bergetar. Rasa takut karena bentakan tadi dan rasa kecewa kepada Mas Gunawan bercampur jadi satu."Kalau iya, memang apa masalahmu?" ketus Mas Gunawan dengan tatapan nyalang kepadaku."Aku tidak masalah jika kamu membantu Mbak Sita, asalkan kewajiban sebagai kepala keluarga sudah terpenuhi!" jawabku memberanikan diri."Setiap bulan aku sudah memberikanku jatah sebesar satu juta setengah, belum lagi bayar gaji pembantu satu juta. Apalagi yang kurang?" tanya Mas Gunawan tanpa rasa bersalah."Mas pikir jumlah segitu cukup untuk kebutuhan kita sebulan? Ditambah sekarang semuanya serba mahal. Seharusnya sebelum membantu orang lain, pastikan dulu kebutuhan keluarga kecilmu terpenuhi!" tegasku lagi."Mbak Sita itu bukan orang kain, dia kakak kandungku. Seharusnya kamu banyak bersyukur karena di luar sana masih banyak keluarga yang tidak mendapatkan jatah rutin tiap bulannya. Kamu saja yang terlalu boros jadi perempuan!" hardik Mas Gunawan.Tiba-tiba area bagian perutku terasa sakit saat mendengar hardikkan Mas Gunawan. Aku teringat pesan dari perawat, aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sepertinya beban pikiran membuat luka bekas caesarku bertambah sakit."Aku tahu penghasilan bengkel, Mas. Jadi nominal yang kamu beri kepadaku tidak ada separuhnya. Lalu kemana sisanya? ?" tanyaku kemudian setelah sedikit merasa tenang."Aku tabung di deposito untuk masa depan anak kita. Biaya pendidikan itu mahal, jadi kita harus persiapan dari sekarang!" jawab Mas Gunawan dengan entengnya.Sayangnya aku tidak percaya dengan jawabanya. Aku tahu, dia pandai bersandiwara. Rasanya tidak mungkin dia mempunyai tabungan deposito untuk pendidikan anak-anak."Kalau memang benar kamu punya tabungan deposito, aku ingin lihat buktinya, Mas!" tantangku. Mas Gunawan terlihat gugup, jelas sekali kalau dia berbohong."Jangan terlalu banyak omong kamu jadi Istri. Tinggal duduk manis dan laksanakan tugasmu apa susahnya, sih?" berang Mas Gunawan."Pokoknya aku mau kamu tambahkan jatah bulananku. Apalagi sekarang anak kita bertambah. Butuh banyak uang untuk membeli kebutuhannya. Bukankah biaya persalinan sudah ditanggung ayahku?" cecarku.Kali ini aku tidak mau kalah. Aku harus menuntut hak-ku. Bukan hak untuk keperluan pribadiku, melainkan untuk kebutuhan keluarga, termasuk dirinya."Oke, kalau kamu mau tambahan jatah bulanan. Kamu pecat saja Bik Inah, nanti jatah gajinya buat kamu, beres, kan?" jawab Mas Gunawan tersenyum menang."Sama saja bohong kalau gitu, Mas. Aku masih membutuhkan bantuan Bik Inah, apalagi kondisiku sekarang melahirkan caesar. Tidak boleh melakukan aktivitas yang berat dulu!" tolakku mentah-mentah.Mas Gunawan malah berlalu meninggalkanku. Aku merasa belum puas, karena permintaanku belum terpenuhi. Aku takut jika ucapannya menjadi kenyataan. Jangan sampai Bik Inah berhenti kerja lalu aku kerepotan sendiri. Ditambah kondisiku pasca persaliann caesar, pasti lebih parah dari sebelumnya....Tiga hari sudah aku mendapatkan perawatan di rumah sakit pasca persalinan caesar. Rencananya hari ini aku pulang ke rumah. Aku sudah mengabari ayah dan kak Lala atas kepulanganku. Namun mereka berhalangan sehingga tidak bisa ikut menjemput.Setelah semua proses administrasi selesai, aku sudah bersiap untuk pulang. Bayiku sudah berada didalam gendongan. Walaupun perutku masih terasa sakit, namun terbayarkan dengan melihat wajah bayiku yang cantik. Mas Gunawan terlihat cuek dengan bayinya, padahal wajahnya seratus persen mirip dengannya.Aku berjalan tertatih, merasakan sakit yang makin terasa ditambah beban menggendong bayi. Mas Gunawan tidak ada inisiatif untuk membantu atau menggendong anaknya agar aku tidak kepayahan seperti saat ini.Kami menaiki lift untuk turun ke lantai satu, kebetulan ruang perawatanku berada di lantai tiga. Saat berada di lift, terlihat wanita yang sepertinya sama sepertiku. Bedanya dengan tenangnya dia duduk di atas kursi roda sambil menggendong bayinya.Sementara suaminya terlihat sigap memegangi kursi roda dibelakangnya. Aku merasa terenyuh dengan keadaanku. Mas Gunawan tidak peduli padaku dan bayinya.Aku berjalan tertatih keluar dari lift menuju halaman rumah sakit untuk menunggu taxi online pesanan Mas Gunawan. Setelah taxi datang, aku dan Mas Gunawan memasukinya. Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan diantara kami. Mas Gunawan malah asyik dengan ponselnya. Sementara aku sibuk menenangkan bayiku yang terlihat sedikit rewel di gendongan.Hampir satu jam lamaya menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah. Dari kejauhan nampak Bik Inah sudah menunggu kedatangan kami. Entah darimana dia tahu kalau aku pulang hari ini.Bik Inah dengan sigap mengambil bayiku ke gendongannya. Sementara Mas Gunawan melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi aku hanya bisa mengusap dada melihat sikapnya....Dua hari sudah aku berada dirumah. Hampir tiap malam aku tidak dapat tidur karena merasakan rasa sakit di area perutku. Ditambah lagi, bayiku juga rewel setiap malam hingga menjelang pagi hari. Entah kenapa asiku masih juga belum keluar. Padahal di persalinan sebelumnya, asi keluar sehari pasca melahirkan."Mas, tolong belikan dede bayi susu formula. Asiku belum keluar. Kasihan dia tidak bisa tidur nyenyak, mungkin karena lapar!" ucapku pada Mas Gunawan yang sedang asyik bermain game di ponselnya."Paksa asimu agar keluar, kalau beli susu tambah pengeluaran lagi. Memangnya kamu pikir cari duit itu gampang!" ketus Mas Gunawan."Paksa gimana, Mas? Aku juga nggak tahu kenapa asinya belum keluar sampai sekarang. Padahal saat Hana dan Hani lahir, sehari juga sudah ada asinya. Mungkin karena aku kelelahan, jadi asinya tidak keluar.""Semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Bik Inah, lalu kamu lelah ngapain?""Aku lelah karena kurang tidur, Mas. Si dede nggak bisa tidur sampai pagi. Kamu seharusnya bantuin jagain dede supaya aku bisa beristirahat," jawabku."Males banget aku begadang buat jagain bayi perempuanmu itu. Kalau bayinya laki-laki baru aku mau!" jawabnya enteng.Lagi-lagi masalah jenis kelamin yang menjadi alasan suamiku tidak peduli dengan bayinya. Aku tidak tahu, apakah sikap suamiku akan berubah seiring dengan berjalannya waktu?Kondisi tubuhku semakin menurun pada hari ketiga pasca melahirkan. Bukan hanya rasa sakit pada area perut, namun aku merasa kelelahan karena harus begadang setiap malam. Asiku belum kunjung keluar, mungkin itu sebabnya si bayi selalu rewel dan tidak nyenyak tidurnya. Aku merasa menjadi ibu yang tidak berguna, karena tidak dapat memberinya asi. Sementara Mas Gunawan tidak peduli kepada anaknya, meskipun beberapa kali aku telah meminta membelikannya susu formula.Aku menangis tersedu dikamar, meluapkan semua kesedihanku. Bukan kali ini saja aku menangis. Namun akhir-akhir ini, entah mengapa aku sering menangis tanpa sebab yang jelas. Aku merasa suasana hati gampang berubah-ubah pasca melahirkan. Terkadang aku merasa sedih, namun tiba-tiba merasa kesal bercampur emosi. Bukan karena sikap Mas Gunawan, tetapi aku sendiri tidak tahu penyebab sering menangis tanpa alasan yang jelas.Tiba-tiba perutku terasa mulas, sepertinya aku ingin buang hajat. Aku melangkah perlahan dan berhati-hati menu
Aku berangkat kerja dengan perasaan kesal bercampur emosi. Semua gara-gara Hanum, istriku. Seenaknya dia memintaku membawanya kontrol ke rumah sakit, padahal obatnya saja masih belum habis. Dia bilang harus diperiksa oleh dokter sekalian mengganti plester yang menutupi luka pasca caesarnya, memangnya tidak memakai biaya?Semuanya tidak gratis, sementara uang tabunganku sudah berkurang dua puluh juta karena dipinjam oleh kak Lala untuk membayar tunggakkan arisannya. Aku tidak rela kalau sampai dia dikeroyok oleh teman-temannya karena belum membayar arisan, padahal sudah menang diawal.Aku menolak permintaan Hanum mentah-mentah. Wanita itu memang lebay, padahal proses persalinannya secara caesar sehingga tidak perlu capek-capek mengejan karena proses keluar bayi bukan lewat jalan lahir. Setahuku persalinan caesar keluar lewat perut melalui jalan operasi, itupun sebelumnya disuntik bius terlebih dahulu sehingga tidak akan merasakan rasa sakit.Hanum … kenapa dia sekarang berubah? Padahal
"Nggak usah kebanyakan drama kamu, cepat pergi dari sini dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi!" bentak kak Lala pada sosok laki-laki di hadapanku ini dengan wajah memelas.Namun tiba-tiba ayah yang berada di dekatku terlihat memegangi dadanya. Nafasnya terlihat naik turun. Aku dan kak Lala langsung panik. Pasti penyakit jantung ayah kumat lagi. Kak Lala segera berlari keluar ruangan, sepertinya hendak memanggil bantuan. Sementara Mas Gunawan terlihat terkejut dengan keadaan ayah mertuanya.Dia berinisiatif untuk memapah ayah ke arah sofa yang berada di pojokan ruangan. Lalu kemudian membaringkannya perlahan. Ayah masih memegangi dadanya dan matanya terlihat terpejam. Selang beberapa lama kemudian, kak Lala datang bersama seorang laki-laki yang aku duga sebagai dokter.Laki-laki berpakaian putih serta berkacamata itu memeriksa kondisi ayah."Sebaiknya Ayah Anda dipindahkan ke ruang IGD, untuk pemeriksaan lebih lanjut!" ucapnya setelah selesai melakukan pemeriksaan."Baik,
Aku berada di ambang kebimbangan. Antara harus percaya atau tidak dengan pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal itu. Namun apa salahnya jika mengecek keberadaan Mas Gunawan di bengkel, karena dugaanku memang mengarah kesana.Aku segera bersiap untuk menuju bengkel. Beruntung kedua anakku Hana dan Hani masih tertidur. Aku berangkat hanya membawa si bayi dalam gendongan. Sebenarnya merasa khawatir meninggalkan kedua anakku yang masih balita dirumah tanpa ada yang mengawasi. Namun aku terpaksa, karena tidak ada Bik Inah yang dimintai tolong untuk menjaga mereka.Sedangkan untuk meminta bantuan Bu Andi tetanggaku rasanya sungkan. Aku sangat sering merepotkannya. Sebenarnya jarak bengkel dengan tempat tinggal lumayan dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun untuk menghemat waktu memilih menggunakan ojek agar tiba dengan cepat dan kembali sebelum anak-anak bangun.Setibanya dibengkel, suasana masih terlihat sepi karena masih pagi. Para pekerja belum ada satu pun yang d
PoV: Lala“Hanum!!!” teriakku, saat melihatnya ingin melukai leher anaknya sendiri menggunakan pecahan kaca yang tidak diketahui darimana asalnya.Bahkan beberapa goodie bag yang aku bawa terlepas begitu saja dari genggaman karena terkejut melihat pemandangan mengerikan di depan mata.Hanum menoleh ke arahku seiring terjatuhnya kaca yang berada digenggamannya. Beberapa detik kemudian, dia pun terjatuh tidak sadarkan diri. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi kepada adikku.Namun yang jelas kondisi kamarnya kini sudah hancur berantakan. Rupanya pecahan kaca tadi didapat dari cermin meja riasnya yang sudah tercerai berai. Sungguh pemandangan yang memilukan. Aku segera memeluk Hana dan Hani yang menangis ketakutan di pojok kamar. “Atagfirullah, ada apa, La?” tanya ayah sama terkejutnya saat melihat pemandangan yang mengerikan di depan mata.Aku memang masuk terlebih dahulu saat ayah sedang memarkirkan kendaraannya. Aku sangat bersemangat untuk bertemu dengan keponakan
"Te-tapi Ba-pak Gunawan sudah memecat saya, Bu Lala," jawab Bik Inah terdengar gugup.Aku tersentak mendengar jawaban Bik Inah. Rupanya alasan inilah yang membuat kondisi adikku memburuk. Dia kelelahan karena menghandle semua pekerjaan rumah tangga, ditambah mengurus tiga anak sekaligus. Padahal dia melahirkan secara operasi caesar. "Dasar keterlaluan si Gunawan itu" makiku dalam hati."Bik, Adik saya sekarang dirawat di rumah sakit. Luka caesarnya robek dan terpaksa dijahit kembali," ucapku menimpali jawaban Bik Inah."Astagfirullah, Bu Hanum dirawat di rumah sakit? Kasihan sekali Bu Hanum," ujar Bik Inah ikut terkejut mendengar kabar Hanum."Iya, Bik. Sepertinya sejak tidak ada Bibik, Hanum kerepotan mengurus semuanya sendirian. Tujuan saya menghubungi Bibik ingin meminta bantuan untuk merawat anak-anak Hanum yang sekarang berada di rumah Ayah. Kalau Bibik bersedia, nanti ada sopir yang menjemput," ucapku memberikan alasan menghubunginya."Siap, Bu Lala. Saya bersedia merawat anak-a
Pikiranku pusing karena mendengar keluhan dari Hanum yang merasa kelelahan setelah Bik Inah belum juga masuk kerja. Sebelumnya Bik Inah izin tidak masuk kerja satu hari karena ada urusan dikeluarganya. Namun sudah dua minggu berjalan, Bik Inah tidak kunjung masuk bekerja. Hanum tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah memecatnya.Lumayan jatah gajinya bisa aku gunakan untuk mentraktir Lisa, wanita berstatus janda yang baru sebulan ini bekerja di bengkel. Wanita bertubuh sexy itu membuatku bersemangat bekerja. Senyum dan suaranya yang merdu itu membuatku mabuk kepayang.Jika dihitung-hitung, sudah berapa banyak uang yang sudah aku keluarkan untuk menggaji Bik Inah. Oleh sebab itu, aku memecatnya agar Hanum tidak lagi manja mengandalkan bantuan Bik Inah. Aku malas berdebat dengan Hanum, makanya aku pergi meninggalkan rumah untuk mencari udara segar. Rasanya kurang asyik jika aku hanya sendirian saja, sehingga menghubungi Lisa dan dia pun tidak menolak untuk menemani.Setelah puas mengajakn
Aku terbangun saat mendengar suara teriakan dan rintihan seseorang. Rasanya suara itu tidak asing di telingaku. Perlahan aku membuka kedua mata dan menengok ke arah sumber suara. Aku terkejut saat melihat Mas Gunawan sedang terbaring dilantai memegangi wajah dan tubuhnya yang mendapatkan kekerasan dari ayah.Saat ayah akan kembali melayangkan tendangan, aku berteriak menghentikannya."Ayah, cukup!!" teriakku kepada sosok yang selama ini menyayangiku dengan tulus.Aku tidak tahu alasan ayah berbuat kasar kepada Mas Gunawan. Padahal selama ini, beliau selalu membela Mas Gunawan."Kenapa kamu menghentikan Ayah? Laki-laki ini pantas mendapatkannya. Kalau perlu, dia harus mati di tangan Ayah. Dia sudah berani menyakiti harta yang selama ini Ayah jaga mati-matian," ucap ayah dengan kilatan amarah di kedua netranya.Aku tidak mengerti maksud perkataan ayah. Namun yang pasti, aku tidak ingin ayah mendapatkan masalah karena melakukan tindak kekerasan.Sementara itu, Mas Gunawan yang terlihat l