“Ada apa Pak?” tanyaku bingung. “Apa Bapak mabuk perjalanan kalau naik mobil?”“Ah, bukan begitu, Mas. Saya membayangkan anak saya punya suami sukses kaya gini, pasti saya dan istri saya sangat senang sekali.” Pak Karim kembali bicara yang tidak –tidak.“Ya?” Kulebarkan mata, meminta penjelasan darinya.“Ah, nggak, Mas.” Pak Karim tersenyum. Ia kemudian masuk ke dalam mobil, begitu pun aku yang kemudian duduk di kursi kemudi.“Abi! Tunggu!”Namun, suara panggilan dari dalam membuatku seketika menoleh dan mengurungkan niat menyalakan mesin mobil dalam waktu dekat.“Abi!” suara itu terdengar lagi kemudian, diikuti munculnya seorang wanita yang tak lain adalah Salma –istriku. Wanita itu datang dengan terburu –buru membawa cangkir di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri.Aku pun menurunkan kaca jendela mobil, agar tahu apa keperluan Salma sampai harus menghentikanku sekarang. Namun, melihat cangkir di tangannya kupikir dia akan memintaku meminum sesuatu.“Ya, Salma?”“Bi, maaf. Ini tele
Makanan yang disiapkan istri dan anak Pak Karim kulahap sampai habis. Benar kata pria yang duduk di seberang kursi tersebut, bahwa masakan ini lezat seperti masakan para koki di restaurant.“Alhamdulillah, ini memang lezat. Bapak beruntung punya istri yang bisa memasak begini. Memuaskan yang makan.” Aku memuji Pak Karim dan terutama Bu Karim yang mempersiapkan semua ini untuk tamu.“Oh, ini masakan Inggit. Ibunya dari siang sibuk rewang di rumah sepupunya yang sedang hajatan. Jadi Inggit harus menyiapkan semua ini atas permintaan saya.” Pria itu menyangkal pujianku.“Wah, kalau begitu Bapak punya keberuntungan ganda, istri dan anak yang sama –sama pintar masak. Jadi nggak perlu makan makanan yang tidak cocok di lidah setiap harinya.Pujianku tulus. Tak ada niat apa pun selain agar orang yang sudah menjamu merasa senang. Ini adalah salah satu bentuk syukurku pada manusia. Bukankah kita juga harus bersyukur pada manusia untuk menyempurnakan rasa syukur kita ke pada Allah.“Apa Mas Haris
“Abi kenapa, sih? Panas dalam?” tanya Salma tampak heran.Aku menggeleng. Rasanya tidak ada yang aneh di dalam tenggorokanku. Cuma memang hawanya saja terasa panas.Melihatku begini, seperti biasanya Salma menyibak selimut dan berusaha mencari solusi atas keluhanku.“Haduh dingin loh ini, Bi.” Usai melepaskan selimut ke ranjang asal, wanita itu lekas meraih jaketnya tergantung di lemari.Ia lalu memperhatikan AC dan melihat angka celcius di sana. Dia ingin memastikan bahwa memang temperaturnya sudah nyaris di angka dingin maksimal. Salma sampai geleng –geleng melihatnya.Tampaknya memang ada yang tak beres. Apa aku salah makan? Apa iya karena soto yang kumakan tadi sore yang membuat kolesterol naik? Akan tetapi, bukankah kalau kolesterol naik yang ada rasa kaku di tengkuk dan sakit kepala. Lah ini malah panas. Aku sudah seperti mengkonsumsi minuman dengan kadar alkohol yang tinggi sejenis anggur merah. Otak dan dadaku sampai rasanya terbakar. Ada apa ini?Jangan ditanya bagaimana bisa
“Abinya Hania sudah bangun?” Suara Bapak mertua terdengar dari arah samping. Ia lalu ke luar memanggil puteri tunggalnya, yang tak lain adalah istriku.“Salma! Haris sudah bangun, cepat buatkan madu yang tadi!” Suara itu terdengar sayup –sayup karena yang bicara ada di luar kamar, di mana aku berbaring sekarang.“Alhamdulillah, nggeh Pak.” Suara Salma menyusul kemudian.Disusul suara berat pria lain yang kudengar begitu dekat. Di kamar ini. “Alhamdulillah.”Suara itu sangat kukenal. “Pak Karim?”Kenapa Bapak mertua dan Pak Karim bisa ada di kamarku?“Istirahat saja dulu, Mas. Nggak usah dipaksa bangun!” ucap Pak Wawan yang kemudian buru –buru mendekatiku. Bahkan ada Pak Wawan di sini. Juga Ustaz Fawwas yang tersenyum, begitu terlihat duduk di samping Pak Karim.Aku benar –benar tidak mengerti apa yang telah terjadi selama aku tidur. Apa mereka sedang reunian di sini? Atau ada acara prank di sini? Jangan –jangan jam dindingnya sudah dimanipulasi? Masa iya aku tidur sampai belasan jam t
Seminggu telah berlalu.Aku berjuang keras melawan perasaan yang tidak –tidak yang muncul dalam benak. Ingin kulupakan segala hal tentang Inggit, dari ucapan –ucapan Pak Karim yang salah kupahami. Juga bagaimana ekspresi gadis itu serta keantusiasannya melayaniku yang baru sekali ke rumahnya. Aku terlalu gila, hanya karena hal –hal seperti itu saja terus terbayang –bayang senyumnya.Ya, sepertinya aku memang jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap gadis itu. Aku harus tahu diri. Mana pantas pria tua sepertiku menaruh hati ke pada seorang gadis? Lagi pula aku juga sudah punya keluarga. Dan walau pun poligami itu halal, sejak awal tidak berniat untuk poligami sama sekali.Terlalu berat. Memikirkan dampaknya saja aku tak sanggup. Apa lagi benar –benar menjalaninya. Salma juga sudah menegaskan kalau dia tidak akan menjalani kehidupan berpoligami.Sepulang kerja, aku menyempatkan datang ke klinik bekam Pak Wawan. Ingin membeli herbal madu yang dulu katanya dapat dari saudara.“Heih, Ma
“Masih ada waktu menyelesaikan semua rasa penasaran Umi. Karena Abi memutuskan kembali, demi Umi dan anak –anak. Mari tidak ada bahasan lagi begitu kita bertemu dengan anak –anak di rumah.” Mas Haris memahami permintaanku dan ternyata dia pikiran yang sama denganku jika menyangkut anak -anak.Usia kandunganku sekarang enam bulan, dan Mas Haris bilang dia sudah menikah secara siri dengan Inggit selama enam bulan pula. Apa artinya Mas Haris menikah berbarengan dengan kabar kehamilanku? Atau aku hamil setelahnya?“Apa ... setelah aku hamil Mas? Atau sebelum aku memberi tahu kalau aku sedang hamil?”Sekarang panggilanku berubah jadi ‘Mas.’ Siapa yang bisa mangkir dari sakit hati dan marah pada pasangannya ketika sudah dikhianati?Aku belum memaafkannya, meski niat itu ada. Sayangnya aku juga tidak yakin apa bisa memaafkannya. Lama kelamaan, memanggilnya dengan sebutan Abi, yang merupakan panggilan kesayanganku selama ini membuatku muak. Aku merasa benci bersikap seolah semua baik –baik sa
Deru mobil terdengar. Sesaat kemudian suara itu menjauh perlahan, semakin menjauh dan menghilang. Inggit yang sedari tadi menyandar di pintu dengan merapatkan kepala untuk menguping obrolan Haris dan istri pertamanya –tubuhnya luruh hingga terduduk di lantai. Tubuh yang ia kuat –kuatkan untuk menopang agar tetap bisa berdiri tegak meski hatinya sedang hancur sekarang.Pria yang telah mengayomi dan bertanggung jawab atas hidupnya telah pergi sekarang. Dalam tangisnya, Inggit mengingat detail kejadian bagaimana sejak kali pertama dengan Haris di rumahnya. Pria yang wajahnya sering ia lihat dari ponsel, setelah Paman Wawan mengirimkan ke nomor Inggit.“Bagaimana menurutmu, Nggit?” tanya Paman Wawan.“Lumayan ganteng Paman, mirip artis Turki, he he.” Inggit mengucap malu –malu.“Kalau Paman punya anak perempuan seumurmu, pasti Paman akan menawarkan padanya untuk dimadu. Jadi setelah menikah tidak perlu susah mencari harta dunia, dan fokus miki akhirat saja.“Tapi, apa dia mau sama aku? Ak
“Aku sudah tahu hari ini akan datang.” Pak Karim menggumam sendiri kala ke dua matanya menangkap nama Haris di atas layar ponsel.Dia tidak tahu, apakah mengangkat panggilan itu merupakan langkah terbaik sekarang.“Pak siapa?” tanya Ibu Inggit dengan nada berbisik.Wanita itu memiliki keyakinan kalau itu pasti Haris atau istri pertamanya. Memangnya siapa yang akan menelepon tengah malam begini? Apa lagi sudah jelas perang baru saja dimulai dengan keributan di rumah ini. Sang pemilik asli telah datang, meminta Inggit pergi meninggalkan pria yang sebenarnya dia juga berhak karena telah ikut memilikinya.Tak sabar ingin tahu siapa yang memanggil dan memastikan dugaan, wanita paruh baya itu melongok untuk melihatnya. Satu sudut bibirnya terangkat. Ibu Inggit tersenyum sinis. Dia mulai bisa membaca situasi.“Jangan diangkat, Pak!” pintanya pada Karim.Inggit yang juga ikut penasaran karena suara panggilan itu, menjauhkan tubuh dari sang Ibu. Sekarang bukan saatnya bermanja –manja dan meras