“Abinya Hania sudah bangun?” Suara Bapak mertua terdengar dari arah samping. Ia lalu ke luar memanggil puteri tunggalnya, yang tak lain adalah istriku.“Salma! Haris sudah bangun, cepat buatkan madu yang tadi!” Suara itu terdengar sayup –sayup karena yang bicara ada di luar kamar, di mana aku berbaring sekarang.“Alhamdulillah, nggeh Pak.” Suara Salma menyusul kemudian.Disusul suara berat pria lain yang kudengar begitu dekat. Di kamar ini. “Alhamdulillah.”Suara itu sangat kukenal. “Pak Karim?”Kenapa Bapak mertua dan Pak Karim bisa ada di kamarku?“Istirahat saja dulu, Mas. Nggak usah dipaksa bangun!” ucap Pak Wawan yang kemudian buru –buru mendekatiku. Bahkan ada Pak Wawan di sini. Juga Ustaz Fawwas yang tersenyum, begitu terlihat duduk di samping Pak Karim.Aku benar –benar tidak mengerti apa yang telah terjadi selama aku tidur. Apa mereka sedang reunian di sini? Atau ada acara prank di sini? Jangan –jangan jam dindingnya sudah dimanipulasi? Masa iya aku tidur sampai belasan jam t
Seminggu telah berlalu.Aku berjuang keras melawan perasaan yang tidak –tidak yang muncul dalam benak. Ingin kulupakan segala hal tentang Inggit, dari ucapan –ucapan Pak Karim yang salah kupahami. Juga bagaimana ekspresi gadis itu serta keantusiasannya melayaniku yang baru sekali ke rumahnya. Aku terlalu gila, hanya karena hal –hal seperti itu saja terus terbayang –bayang senyumnya.Ya, sepertinya aku memang jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap gadis itu. Aku harus tahu diri. Mana pantas pria tua sepertiku menaruh hati ke pada seorang gadis? Lagi pula aku juga sudah punya keluarga. Dan walau pun poligami itu halal, sejak awal tidak berniat untuk poligami sama sekali.Terlalu berat. Memikirkan dampaknya saja aku tak sanggup. Apa lagi benar –benar menjalaninya. Salma juga sudah menegaskan kalau dia tidak akan menjalani kehidupan berpoligami.Sepulang kerja, aku menyempatkan datang ke klinik bekam Pak Wawan. Ingin membeli herbal madu yang dulu katanya dapat dari saudara.“Heih, Ma
“Masih ada waktu menyelesaikan semua rasa penasaran Umi. Karena Abi memutuskan kembali, demi Umi dan anak –anak. Mari tidak ada bahasan lagi begitu kita bertemu dengan anak –anak di rumah.” Mas Haris memahami permintaanku dan ternyata dia pikiran yang sama denganku jika menyangkut anak -anak.Usia kandunganku sekarang enam bulan, dan Mas Haris bilang dia sudah menikah secara siri dengan Inggit selama enam bulan pula. Apa artinya Mas Haris menikah berbarengan dengan kabar kehamilanku? Atau aku hamil setelahnya?“Apa ... setelah aku hamil Mas? Atau sebelum aku memberi tahu kalau aku sedang hamil?”Sekarang panggilanku berubah jadi ‘Mas.’ Siapa yang bisa mangkir dari sakit hati dan marah pada pasangannya ketika sudah dikhianati?Aku belum memaafkannya, meski niat itu ada. Sayangnya aku juga tidak yakin apa bisa memaafkannya. Lama kelamaan, memanggilnya dengan sebutan Abi, yang merupakan panggilan kesayanganku selama ini membuatku muak. Aku merasa benci bersikap seolah semua baik –baik sa
Deru mobil terdengar. Sesaat kemudian suara itu menjauh perlahan, semakin menjauh dan menghilang. Inggit yang sedari tadi menyandar di pintu dengan merapatkan kepala untuk menguping obrolan Haris dan istri pertamanya –tubuhnya luruh hingga terduduk di lantai. Tubuh yang ia kuat –kuatkan untuk menopang agar tetap bisa berdiri tegak meski hatinya sedang hancur sekarang.Pria yang telah mengayomi dan bertanggung jawab atas hidupnya telah pergi sekarang. Dalam tangisnya, Inggit mengingat detail kejadian bagaimana sejak kali pertama dengan Haris di rumahnya. Pria yang wajahnya sering ia lihat dari ponsel, setelah Paman Wawan mengirimkan ke nomor Inggit.“Bagaimana menurutmu, Nggit?” tanya Paman Wawan.“Lumayan ganteng Paman, mirip artis Turki, he he.” Inggit mengucap malu –malu.“Kalau Paman punya anak perempuan seumurmu, pasti Paman akan menawarkan padanya untuk dimadu. Jadi setelah menikah tidak perlu susah mencari harta dunia, dan fokus miki akhirat saja.“Tapi, apa dia mau sama aku? Ak
“Aku sudah tahu hari ini akan datang.” Pak Karim menggumam sendiri kala ke dua matanya menangkap nama Haris di atas layar ponsel.Dia tidak tahu, apakah mengangkat panggilan itu merupakan langkah terbaik sekarang.“Pak siapa?” tanya Ibu Inggit dengan nada berbisik.Wanita itu memiliki keyakinan kalau itu pasti Haris atau istri pertamanya. Memangnya siapa yang akan menelepon tengah malam begini? Apa lagi sudah jelas perang baru saja dimulai dengan keributan di rumah ini. Sang pemilik asli telah datang, meminta Inggit pergi meninggalkan pria yang sebenarnya dia juga berhak karena telah ikut memilikinya.Tak sabar ingin tahu siapa yang memanggil dan memastikan dugaan, wanita paruh baya itu melongok untuk melihatnya. Satu sudut bibirnya terangkat. Ibu Inggit tersenyum sinis. Dia mulai bisa membaca situasi.“Jangan diangkat, Pak!” pintanya pada Karim.Inggit yang juga ikut penasaran karena suara panggilan itu, menjauhkan tubuh dari sang Ibu. Sekarang bukan saatnya bermanja –manja dan meras
Inggit sudah terlelap tidur di atas pembaringan. Ia merasa lelah. Setelah berjam –jam menangis tapi hatinya tidak juga bisa tenang karenanya. Bagaimana tidak? Haris pergi. Dan dia tidak tahu apa pria itu akan kembali. Meski ibu dan Bapaknya mengatakan mereka tak akan tinggal diam sampai Haris kembali.Sementara itu, orang tua Inggit tidak pulang dan memilih menemani puterinya. Bolak –balik Ibu Inggit mengecek ke kamar Inggit. Takut anaknya itu nekad bunuh diri setelah apa yang menimpanya.“Ada apa to Bu?” tanya sang suami dengan nada berbisik. Karim yang baru saja ke luar dari toilet merasa bingung melihat istrinya itu buka tutup pintu kamar Inggit sedari tadi.Ibu Inggit menutup pintu pelan –pelan karena tak ingin membangunkan anaknya. Didorong tubuh suami menjauh agar bisa bicara dengan bebas tanpa khawatir Inggit mendengar.“Bapak nggak ada rencana? Telepon Wawan dulu, biar dia menemui Haris.”“Sabar to, Bu. Malam –malam gini nelpon orang. Nanti kalau istrinya yang angkat bisa hebo
Salma terus memukulkan sebuah botol kecil berisi obat –obatan dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Dia tak mengerti, sudah berusaha keras menumpahkan segala kekesalannya dengan menangis dan bahkan menyakiti diri sendiri, tapi tak juga berkurang rasa sakitnya.“Aaa ...!”Sesekali wanita itu berteriak. Walau begitu hatinya tak berhenti berdzikir dan meminta petunjuk pada Rabbnya. Apa yang harus dilakukan sekarang? Siapa yang bisa dia mintia tolong untuk memediasi masalahnya? Ke mana dia akan mengadu agar ada yang menguatkannya? Walau bagaimana dia hanya seorang manusia rapuh yang bukan hanya perlu meminta petunjuk pada Tuhannya tapi juga meminta motivasi dari sesama.Ibunya? Tidak mungkin. Wanita tua itu bahkan masih berduka karena Bapak Salma baru –baru ini meninggal? Mbak Mur? Bagaimana kalau ternyata nanti bocor ke tetangga yang lain? Hania? Dia pasti akan sangat terluka. Lagi –lagi dia tak membuat hati anak –anaknya yang seperti cermin akan pecah dan tak bisa lagi disatukan seperti
Wawan bergegas ke dapur untuk menemui sang istri. Ia perlu mencari tahu bagaimana situasi di kalangan akhwat belakangan? Mengingat Ustaz Fawwas berpesan sudah dalam sekali, bahkan sebelum Haris dan Inggit menikah. Dan belakangan, Wawan sudah tidak terlalu membahas soal poligami dengan teman –temannya.Dengan begitu, seharusnya ibu –ibu tidak terlalu marah padanya. Dan juga istri Ustaz Fawwas sudah tidak lagi menyimpan dendam. “Hais, mikir apa aku ini? Mana ada seorang hafidzoh menyimpan dendam pada orang lain? Bisa –bisa hafalannya lenyap.”Wawan menghibur diri sendiri. Sampai di dapur, sang istri tengah merebus telur dan beberapa sayur sebelum dimasak dan dibumbui. Ia menoleh begitu menyadari ada pergerakan dari arah pintu.“Ada apa?” tanya istri pertama Wawan datar.“Mi, masih satu grup dengan istri Ustaz Fawwas?” tanya Wawan mulai penyelidikan.“Tumben tanya soal istri Ustaz Fawwas?” Istri Wawan itu seolah tidak begitu tertarik bicara membahas perempuan yang selama ini banyak mengi