Habib"Mas, mana janjimu dulu yang mau membelikanku rumah baru?" Laila bertanya.Ya, aku masih ingat jika aku pernah berjanji untuk membelikannya rumah baru. "Aku tidak mau terus-menerus tinggal di rumah ini! Kemarin aku sudah mendengar isu-isu miring orang tentangku. Aku tidak mau dibilang hidup numpang, Mas!" Tegas Laila kembali."Ada yang bilang aku numpang hidup di rumah mantan istri kamu! Kamu pikir enak dibilang begitu? Sama sekali tidak Mas!" Laila lagi-lagi mendesakku untuk segera membeli rumah baru. "Insyaallah bulan depan kita akan membeli rumah baru. Dik Laila yang sabar dulu. Mas harus cari lokasi yang baik dan strategis buat kita." terangku.Tentu saja aku tidak bisa membelinya dalam waktu sesingkat ini. Setidaknya aku harus menunggu sampai rumah ini laku terjual terlebih dahulu. Karena dari sanalah aku akan mendapatkan uangnya. Aku kembali mencoba untuk mempromosikan rumah ini pada berbagai marketplace, mulai dari memposting di media sosial, hingga menawarkan dari mu
Kudekati Laila, kugenggam kedua tangannya. Aku ingin bicara padanya dari hati ke hati. Aku sudah lelah menanggapi semua prasangka buruknya yang sama sekali tidak pernah kulakukan. "Sayang, sekarang dengar suamimu ini baik-baik. Aku tidak pernah mencintai wanita manapun sebesar aku mencintai kamu. Aku tidak pernah menyayangi wanita manapun seperti aku menyayangi kamu. Aku berkata sungguh-sungguh. Jadi tolong, jangan curigai aku pada wanita manapun. Aku mohon," aku harus mohon-mohon padanya hanya demi agar dia tidak terus-menerus berprasangka buruk padaku. Senaas ini memang hidupku sekarang. Padahal dulu seingatku, selama hidup bersama Amira aku bebas kemanapun, bebas untuk melakukan apapun tanpa dicurigai. Atau mungkin memang pernah Amira curiga, tetapi Amira wanita yang terlalu mudah untuk kuatasi. Mungkin karena ruang geraknya telah ku batasi sedemikian rupa, Karena itulah Amira tidak bisa berbuat banyak. Dan aku suka kehidupan seperti itu. Aku merasa derajatku lebih tinggi ketika
"Assalamualaikum," seseorang mengucapkan salam. Aku melirik ke arah daun pintu.Aku tersenyum ketika melihat Pak Abbas dan istrinya sudah datang. Tanpa dijelaskan pun aku sudah tahu apa maksud kedatangannya kemari. "Pak Abbas sudah datang rupanya. Silakan masuk dulu Pak," ujarku."Terimakasih, Habib," Beberapa saat kami berbasa-basi dan aku memberi mereka waktu untuk menyantap hidangan yang disajikan oleh Laila."Rencananya hari ini aku dan istri akan melihat-lihat kondisi rumah terlebih dahulu," ucapnya kemudian."Oooh silakan, Pak, Bu. Silakan di cek." Laila menyambut hangat."Rumah saya ini berukuran cukup besar, mempunyai tiga kamar, dua kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang keluarga , dan ukuran halaman yang insya Allah tidak mengecewakan," aku mulai mempromosikan rumah yang akan kujual ini.Aku menunjukkan pada mereka ruangan demi ruangan."Rumah ini lumayan besar, dan gaya bangunan juga lumayan bagus." Pak Abbas memuji."Terima kasih, Pak. Ketika membangun rumah ini dulu,
Laila.Tiiin... Tiiin...Suara klakson didepan rumah. Aku segera menghampiri.Oh ya ampun, pak Abbas rupanya."Mas! Mas!" Buru-buru aku memanggil Mas Habib."Ada apa, Dik Laila?" "Ada Pak Abbas, Mas. Bagaimana sekarang? Kita harus apa?" aku panik. Aku tak ingin asa kegagalan di sini. Mas Habib langsung menemui Lak Abbas."Bagaimana, Bib? Kami sudah lama menunggu. Kenapa tak datang-datang juga?" Pak Abbas terlihat kesal."Aduh maaf Pak Abas bukan bermaksud tidak mau ke sana. Tapi kami sedang sibuk mencari sertifikat yang lupa ditaruh di mana?" Jawab suamiku meminta maaf."Aduh bagaimana sertifikat bisa hilang? Kalau sertifikatnya tidak ada bagaimana proses jual beli bisa dilakukan?" Tanggap Pak Abbas."Kami juga bingung, Pak. Tolong kasih kami waktu terlebih a untuk menemukan sertifikatnya." Ujar suamiku."Perjanjian kita kan hari ini, Bib. Bagaimana bisa ditunda-tunda? Kalau memang benar-benar hilang mengapa tak kau cari kemarin? Kamu tahu kan waktuku tak banyak Aku punya pekerjaan
Kurang ajar Yoona. Suaranya di ponsel telah mempermalukan aku di depan Mas Habib. Lagi pula mengapa dia harus menceritakan soal pesan yang kukirimkan padanya kemarin? Atau mungkin dia sengaja ingin? Dasar! "Benar kamu mengatakan sudah mengalihkan nama di sertifikat? Kalau begitu di mana kamu menyimpannya?" Mas Habib menatapku. Mungkin saja dia curiga karena mendengar perkataan Yoona tadi."Mana ada aku mengatakan begitu Mas, apa mas tidak tahu bagaimana kelakuan Yoona yang selalu saja ingin menyudutkanku? Kalau sudah tahu sifatnya begitu, harusnya Mas tidak usah menaruh kepercayaan lagi padanya!" ucapku.Aku tidak suka apabila masa dipercaya pada kata-kata Yoona."Tidak usah percaya pada Yoona, Mas! Anak itu memang sengaja ingin memporak-porandakan hubungan kita! Mas tahu dia tidak suka padaku, kan? Dia tak senang melihat kita bahagia! Makanya Yoona dan Amira menghalalkan segala cara! Coba Mas pikir baik-baik mana mungkin aku bisa mengotak-atik sertifikat sembarangan tanpa campur tan
"Kamu HRD di sini??" Mas Habib menatapku seakan tidak percaya.Aku sendiri sebenarnya tidak percaya akan bertemu mereka hari ini. Bertemu dengan dua orang ini adalah sesuatu hal yang sebenarnya tidak kuharapkan. Luka yang mereka torehkan di hati ini bahkan belum kering. Tapi aku berusaha untuk menutupi luka itu dengan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena aku juga menyadari bahwa tidak ada gunanya menahan seseorang yang memang berniat ingin pergi. Hati ini mengikhlaskan dengan segenap jiwa terhadap apa yang telah terjadi. "Tidak mungkin dia HRD di sini Mas! Jangan percaya dengan bibirnya yang terbukti suka berbohong ini! Palingan kamu di sini hanya sebagai petugas kebersihan, kan?" Laila berkata dengan kasarnya.Aku sendiri sebenarnya tidak percaya sosok Laila ternyata sedemikian kasar, sungguh berbanding terbalik dengan tampangnya yang terlihat lembut. Seperti ini rupanya sifat asli wanita pilihan mantan suamiku ini. Lihatlah betapa dia berusaha meyakinkan mas Habib k
Bab 35Habib"Apaaa? Amira sudah sembuh dari sakitnya?" Ibuku membawakan mata ketika kuberi kabar itu."Iya, Bu. Dia sudah sehat. Bahkan dia sudah bekerja sekarang." jelasku lagi."Tidak mungkin!" Kelihatannya Ibu tak suka dengan kabar tersebut."Tapi kenyataannya itu yang kulihat Bu," ucapku meyakinkan."Bagaimana bisa dia sembuh? Apa dia memakai jasa orang pintar?" Terdengar Ibuku seperti menyimpan kecurigaan."Aku tidak tahu Bu.""Lalu di mana dia tinggal sekarang?" Tanya ibu kemudian."Aku tidak tahu di mana persisnya dia tinggal. Aku bertemu dengannya di tempat dimana dia bekerja," "Kerja apaa?" Ibu kembali nampak penasaran."Mbak Amira kerja apa?" Elia juga tak kalah ingin tahu."Dia bekerja di kantornya Pak Ardhi,""Haaa? Dia kerja di sana?" Elia kaget."Yang benar saja kau, Habib!" Ibu mencoba menampik. Mungkin dikiranya aku sedang bercanda."Aku serius bu," ucapku."Kalau begitu bagaimana caranya?" Ibu bertanya-tanya, dimana aku sendiri tidak tahu apa jawabannya."Ya aku jug
"Jadi enak jangan sembarangan bicara! Aku ini istri ayahmu! ingat ibu!" Tanpa menunggu lama aku menghardik anak kurang ajar yang berdiri di hadapanku ini."Ya memang benar kamu adalah istri Ayahku! Tapi bukan Ibuku!"Aku semakin dibuat geram dengan jawaban memuakkan Yoona. Dari kecil bibirnya tak pernah diajari sopan santun dalam berbicara. Sungguh Yoona anak kurang beruntung dilahirkan oleh wanita seperti Amira yang tidak tahu bagaimana cara mendidik seorang anak dengan baik. "Anakmu memang sangat menjijikkan, Amira!" Kupandang Amira dengan rasa jijik."Aku tak lebih menjijikan daripada dirimu!" Yoona memang tak pernah kehabisan kata-kata untuk melawanku."Jangan kira aku takut padamu, Laila! Asal kau tahu aku bisa saja mendorongmu! Atau membuat luka cakaran di wajahmu! Awas saja, kalau kamu menyakiti ibuku, aku benar-benar akan melakukannya!"Aku terdiam. Aku bergidik dengan ancaman Yoona. Anak ini cukup mengerikan. Terbayang olehku bagaimana dulu dia mengerjaiku saat di rumah saki