Share

Bab 3

Yoona meraih ponsel yang berdering di atas nakas. Melihat siapa yang menelpon, Yoona menjadi muak.

"Halo, ada apa, Oma?"

"Kenapa lama sekali angkat telpon?"

"Kami sibuk disini. Tidak sempat lihat handphone."

"Oh ya? Hmm, di ruangan mana ibumu di rawat? Aku mau kesana."

Mendengar ucapan itu, Yoona merasa janggal. Sebab selama sebulan ibunya sakit,tak sekalipun sang Oma datang membezuk. Sekarang tiba-tiba mau datang, pasti ada maksud.

Seketika Yoona teringat bagaimana ucapan Omanya pada Bu Sarah beberapa hari yang lalu. Yoona mulai menerka-nerka maksud Oma-nya alias ibu dari ayahnya tersebut.

"Ada perlu apa Oma mau kemari?"

"Kenapa bertanya begitu? Ketus sekali caramu. Ini bukan urusanmu, aku hanya ingin bicara pada ibumu. Katakan di ruangan apa ibumu dirawat! Aku malas sibuk bertanya di sana nanti."

Yoona menarik nafas agak panjang. Memang wanita paruh baya yang ia panggil oma tersebut telah merenggut habis rasa hormat Yoona. Semua disebabkan oleh sikap oma-nya itu sendiri yang dimata Yoona kurang etis.

Yoona merasa sudah cukup selama ini Oma-nya tersebut membencinya, mencaci maki, dan membeda-bedakan sekaligus membanding-bandingkan Yoona dengan cucu-cucu yang lain.

Jika hanya dia yang dihina, Yoona masih bisa bersabar. Tapi naasnya, si oma ini jika menghina, Amira juga diikutsertakan. Ini yang membuat Yoona geram.

"Yoona! Jawab aku!" Suara di benda pipih itu terdengar kasar.

"Baiklah, di ruang Raflesia nomor dua." Jawab Yoona.

Yoona terpaksa berbohong, sebab sebenarnya Amira masih dirawat di ruang ICU. Yoona mempunyai ide lain untuk mencegah Sang Oma berbicara pada ibunya. Bagaimanapun Yoona tidak ingin ibunya semakin parah.

***

Bu Nurmala berjalan menuju ke ruangan Raflesia.

"Oma!" Seseorang mencegatnya.

"Yoona!"

"Oma, ibu tidak ada di ruangan, dia sedang CT-scan."

"Dimana?"

"Maaf, ibu tidak bisa diganggu kata dokter."

"Yoona, jangan menghalangiku! Ini penting sekali. Aku ingin dia tahu di awal. Aku tidak mau nanti orang-orang menyalahkan aku!"

"Ibu sedang sakit, Oma. Tolong jangan dulu bebani pikiran ibu sekarang!"

"Mengapa kau menghalangiku? Aku ingin bicara pada Amira! PENTING!"

"Seberapa penting, Oma? Soal apa? Ingin membicarakan jika Ayah akan menikahi Laila? Oma tidak perlu bicara! Ibuku sudah mengetahuinya, dan Beliau mengizinkannya. Jadi, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!" Sambar Yoona.

Kelihatannya Bu Nurmala agak terkejut, tapi sebentar kemudian ia tertawa.

"Ho hoo, baguslah kalau kau sudah mengetahuinya. Jadi sekarang, panggil Laila dengan sebutan "Ummi"! Ummi Laila. Dia calon ibumu!"

"Tidak! Aku tidak pernah punya calon ibu! Aku cuma punya satu ibu, dan dia adalah Amira, bukan Laila."

"Yoona! Aku tetap akan menemui ibumu!" Suara Bu Nurmala merendah. Ia menatap Yoona tajam.

"Jangan memancingku, Oma! Kalian tidak pernah peduli ketika ibuku sakit. Jadi, kami juga tidak peduli jika Ayah akan menikahi Laila. Itu urusan kalian, bukan urusan kami. Urusan kami hanya satu, berusaha agar ibu sembuh! Itu saja!"

"Ibumu tidak akan pernah sembuh!"

"Oma bukan Tuhan! Ibuku pasti sembuh!"

Dalam hatinya hati Yoona menangis membayangkan jika ibunya tak bisa bertahan hidup.

"Lihat saja nanti, kita bertaruh, ibumu akan sehat? Atau akan mati!"

"Jaga omonganmu, Oma! Oma sudah tua dan pasti tahu bagaimana cara bicara yang seharusnya. Oh ya, jika ibu sembuh, apa yang Oma inginkan? Memperbudaknya lagi? Tidak akan bisa!" cela Yoona.

"Siapa pula yang memperbudak ibumu?"

"Orang yang busuk hatinya memang tak akan pernah menyadari kesalahan." sambar Yoona.

"Benar dugaanku, bibirmu busuk, Yoona! Sepertinya kau bukan berasal dari benih putraku!"

"Ya, aku lebih suka jika aku bukan berasal dari benih anakmu!"

"Kurang ajar!" Bu Nurmala mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Tolooooooong!" Yoona berteriak sekuat tenaga.

Plakkk!

Sebuah tamparan terlanjur mendarat.

Dua satpam datang.Bu Nurmala kaget.

"Ada apa ini?" Tanya satpam menghampiri.

"Pak, ibu ini membuat keributan. Dia ingin mencelakai ibuku. Tolong amankan aku dan ibuku dari orang ini!" isak Yoona.

Dua satpam itu membawa Bu Nurmala untuk di amankan. Demikian pula Yoona, anak itu harus ikut diamankan. Sebenarnya, sudah gatal tangan Yoona ingin membalas. Tapi ia tahu ia harus bersabar. Setidaknya Yoona bisa lega Bu Nurmala tidak mendapatkan kesempatan untuk bicara pada Amira.

"Tunggu balasanku nanti, Bu Nurmala! Satu tamparan akan kubalas dengan satu tamparan pula!" Batin Yoona menggeram.

Salahkahh jika Yoona menyimpan dendam pada keluarga ayahnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status