Share

Wanita Yang Bersama Suamiku

"Papa nggak jemput kita, Ma?"

Pertanyaan itu meluncur dari mulut Rafa ketika kami sudah keluar dari gerbang sekolah dan kini tengah berada di pinggir trotoar, menunggu taksi yang akan lewat.

"Iya, Nak. Kita naik taksi saja ya."

"Yaaaaa, padahal Rafa kan mau pergi ke kedai eskrim, Ma."

"Ya udah, kita berdua aja ya dulu."

Rafa tersenyum lalu mengangguk. Ada kedai eskrim langgananku dan Rafa, dekat dengan mall yang kerap kami kunjungi jika akhir pekan. Tak apalah menyenangkan puteraku meski harus naik taksi dua kali kelak.

Kami tiba di kedai eskrim yang ternyata hari ini cukup ramai. Aku segera mengantri dengan Rafa yang sedang menunggu di meja yang telah kami pilih. Mataku menatap ke sekeliling, di seberang kedai ini terlihat orang-orang keluar masuk mall.

Aku membawa dua cup eskrim yang akan aku nikmati bersama Rafa. Terlihat puteraku itu tersenyum senang saat aku menyerahkan satu cup eskrim kesukaannya.

"Enak?" tanyaku kepadanya yang begitu lahap.

"Enak, Ma. Sebenarnya lebih enak kalau papa juga ikut kita ke sini."

Kasihan puteraku ini, perhatian dari papanya begitu minim. Di usianya yang baru tujuh tahun, dia tentu membutuhkan waktu lebih banyak bersama kami. Namun, aku lagi-lagi tak bisa melakukan apapun selain berusaha untuk tetap ada di samping puteraku.

"Nanti, papa pasti punya waktu untuk kita."

Meski telah berulangkali aku mengatakan kalimat penenang itu, tapi Rafa akhirnya bisa tersenyum lagi. Sekarang, kami sibuk dengan eskrim masing-masing. Saat aku tak sengaja melihat ke seberang jalan di mana mall besar itu berada, mataku menangkap mobil milik mas Irwan yang baru saja parkir. Aku yakin betul itu mobil milik suamiku karena aku mengenali plat nomornya. Tak lama kemudian, terlihat mas Irwan turun dari mobil.

Mau apa dia ke sana sendirian?

Lalu mas Irwan tampak memutari mobil dan dia membuka pintu lagi. Keluarlah seorang perempuan berkulit putih, memakai rok sedikit di atas lutut dan kemeja ketat berwarna merah muda. Rambut perempuan itu sebahu dan berwarna kecoklatan.

Aku merasa nafasku seperti berhenti, terasa sesak. Aku melirik Rafa yang masih asyik dengan mangkuk eskrimnya. Syukurlah puteraku membelakangi mereka sehingga dia tidak bisa melihat pemandangan menyesakkan itu.

Terlihat mas Irwan melingkari lengannya di pinggang ramping perempuan itu. Mataku memanas, setitik airmataku jatuh begitu saja.

"Mama kenapa?" Rafa membuat fokus ku teralihkan. Segera aku ambil selembar tisu lalu mengusap airmata yang sempat jatuh dan membekas di pipi. Mataku yang tadinya gabur sekarang kembali terang.

"Nggak apa-apa, Nak. Tadi kayaknya kemasukan debu."

Aku mencoba tersenyum meski sulit sekali aku lakukan sekarang. Rafa tidak boleh tahu apa yang aku lihat barusan. Dia masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Saat aku kembali mengarahkan pandangan ke tempat tadi, kedua pengkhianat itu sudah tak ada. Mereka pasti sudah masuk ke dalam mall.

Eskrim ku letakkan di atas meja. Tak lagi berselera untuk menyantapnya. Kalau saja aku tak membawa Rafa, sudah aku kuntit dua manusia tadi. Namun, aku tidak bisa melakukannya sekarang.

Tak mungkin perempuan tadi hanya klien biasa atau sekedar teman kerja jika mereka terlihat begitu mesra begitu. Kemudian ingatan tentang cairan kental di pakaian suamiku kembali melintas. Mungkin memang benar sudah terjadi sesuatu yang menjijikkan tentang mereka selama ini.

"Rafa, sudah selesai?" tanyaku kepada Rafa yang telah meletakkan mangkuk eskrimnya.

"Sudah, Ma. Ma, kita ke mall sana yuk. Kata teman Rafa, ada tempat bermain baru di sana."

Aku gegas menggeleng. Meski tempat itu luas dan besar, tapi tak menutup kemungkinan Rafa akan melihat mas Irwan dengan perempuan penggoda itu. Aku tidak mau mental puteraku terganggu karena melihat hal itu kelak.

"Jangan sekarang ya, Mama tiba-tiba gak enak badan, kepala Mama pusing sekali."

Meski Rafa sempat cemberut, tapi karena melihat aku yang tampak pucat saat ini, akhirnya dia juga jadi khawatir dan setuju untuk langsung pulang saja.

Kami segera keluar dari kedai eskrim, menunggu lagi taksi yang akan mengantar kami pulang ke rumah.

"Loh, itu mobil papa kan, Ma?"

Bodohnya aku, aku lupa jika Rafa juga mengenali mobil ayahnya. Malah aku menunggu di tempat yang cukup dekat dengan keberadaan mobil suamiku itu meski ia berada di seberang.

"Oh iya, sepertinya teman papa yang meminjam, Nak. Sudah yuk, tuh taksinya udah dateng. Mama udah pusing banget, takutnya Mama pingsan kalau kelamaan berdiri di sini."

Aku coba mengalihkan perhatian Rafa hanya kepadaku dan itu cukup berhasil. Beruntunglah aku memiliki anak yang begitu perhatian dan menurut kepada orangtuanya. Rafa segera naik ke dalam taksi setelah itu baru aku menyusul.

Di dalam taksi, mataku sesekali berembun. Sungguh sakit sekarang rasanya hatiku. Tadi aku juga tidak sempat merekam mas Irwan dengan selingkuhannya. Namun, aku pastikan tak lama lagi aku pasti akan mendapatkan bukti lain.

Tuhan mungkin ingin menunjukkan kepadaku setiap kebohongan yang dilakukan oleh suamiku selama ini. Aku juga jadi penasaran, sudah berapa lama mas Irwan berselingkuh di belakangku.

"Rafa ke kamar dulu ya, Ma."

Aku mengangguk, melepas puteraku lalu terduduk lemas di atas sofa. Aku membenamkan wajahku di bantal sofa, menangis terisak-isak.

Ingatanku kembali ke tujuh tahun yang lalu, usiaku baru sembilan belas tahun kala itu. Aku memutuskan untuk menikah dengan mas Irwan yang usianya tiga tahun lebih tua dariku.

Setelah lulus dari SMA, aku tak lagi meneruskan pendidikan. Ibu dan ayahku tak cukup punya uang untuk itu, juga sekolah memberikan aku pengalaman tak begitu menyenangkan. Karena itulah ketika memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan mendapatkan pekerjaan sebagai pembuat roti di toko roti yang cukup terkenal aku tak lagi berkeinginan untuk kuliah.

Saat itulah aku bertemu dengan mas Irwan. Lelaki itu memang berasal dari keluarga yang cukup berada, saat itu mas Irwan juga sudah kuliah. Ketika kami pacaran dalam waktu dua tahun, akhirnya di usia ke sembilan belas dia melamarku. Pas pula saat itu dia diterima bekerja di perusahaan besar, tentu saja atas andil ayah mertuaku.

Dulu, mas Irwan sangat menyayangiku. Tapi itu dulu, sekarang semuanya hanya tinggal kenangan. Mas Irwan ternyata tak cukup kuat iman dengan godaan perempuan di luar sana. Aku membuka buku rekeningku sendiri yang selama ini mas Irwan tak tahu. Ada tabungan yang aku rasa cukup jika sewaktu-waktu hal menyakitkan itu akan terjadi. Sebuah kata yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan selama tujuh tahun berumah tangga dengannya yaitu perceraian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status