/ Romansa / SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU / Bab 2 Di Jual 5 Milliar

공유

Bab 2 Di Jual 5 Milliar

작가: Aries grils
last update 최신 업데이트: 2025-06-30 11:25:06

“Dia datang,” ucapnya dengan senyum manis palsu. “Cepat bersihkan mukamu, dan diam kalau kau masih ingin melihat ayahmu tetap bernapas.”

Pintu terbuka.

Seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan aura yang langsung menelan ruangan. Gaun hitam elegan membungkus tubuh rampingnya. Kacamata hitam besar menutupi separuh wajahnya, dan di tangannya—sebuah tas kulit mahal yang sepertinya bernilai lebih dari seluruh isi rumah ini.

“Ibu Farida,” ucap wanita itu dingin. “Kita bertemu lagi.”

Farida membungkuk kecil, senyum menjilat muncul di wajahnya. “Tentu, Nyonya Ratna. Terima kasih sudah datang. Silakan duduk.”

Tatapan Nyonya Ratna beralih ke arah Caca, menelusuri gadis itu dari ujung rambut ke ujung kaki seolah sedang menilai barang lelang.

“Ini anaknya?”

“Ya,” jawab Farida cepat. “Masih muda, sehat, tidak neko-neko. Cocok sekali untuk anak Nyonya.”

Caca menunduk, tubuhnya tegang, rahangnya mengeras.

Tanpa basa-basi, Nyonya Ratna membuka tasnya dan mengeluarkan selembar kertas berwarna biru muda. Sebuah cek.

Farida ternganga.

“Lima miliar,” kata wanita itu datar. “Lunas hari ini. Dengan satu syarat: gadis ini harus ikut malam ini juga. Saya tidak suka menunggu.”

Jantung Caca nyaris berhenti. Mulutnya kering. Farida meraih cek itu seperti orang kehausan menemukan air di gurun. Tangannya bergetar saat memeluk selembar kertas itu seolah memeluk masa depan yang kaya raya.

“Tentu... tentu saja... dia akan ikut malam ini.”

“Tidak!” Caca berseru, melangkah maju. “Aku belum setuju!”

Farida berbalik dan menampar Caca tanpa ragu. Plak!

“Jangan mempermalukanku di depan orang penting!” desisnya.

Air mata Caca akhirnya tumpah. Tapi tak ada yang peduli. Bahkan Naumi hanya tertawa kecil sambil memalingkan wajah.

Di depan rumah, mobil mewah Nyonya Ratna sudah menunggu dengan mesin menyala pelan, seolah detaknya menjadi penghitung waktu bagi Caca untuk meninggalkan segalanya.

Caca berdiri di depan pintu, tubuhnya lunglai namun hatinya masih mencoba bertahan. Matanya menatap Farida, mengharapkan sedikit belas kasihan—walau dalam hati ia tahu itu sia-sia.

Farida menghampirinya. Wajahnya kembali berubah, tak ada lagi senyum palsu, hanya tatapan dingin seperti batu yang siap menghancurkan.

“Dengar baik-baik, Caca,” desisnya, suaranya seperti bisikan ular di telinga. “Mulai detik ini, kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma istri dari anak orang kaya yang sakit. Tak ada tempat buat harga dirimu. Kamu hanya harus patuh.”

Caca menggigit bibir, tangannya mengepal, tapi Farida mencengkeram dagunya, memaksanya menatap langsung ke matanya.

“Lihat Ayahmu disana!" ucap Farida menunjuk Sutomo, suaminya yang hanya terbaring tanpa bisa melakukan apapun. "Satu kata saja keluar dari mulutmu tentang ini, aku tak akan segan singkirkan ayahmu. Jangan kira aku tak sanggup. Dia sudah tak bisa bicara, tak bisa jalan, dan cuma kamu alasan dia masih hidup.”

Air mata Caca jatuh, tapi Farida tak berhenti.

“Jangan macam-macam di rumah mereka. Turuti semua perintah. Jangan coba-coba kabur. Kalau mereka bilang masuk kamar itu—masuklah. Kalau mereka suruh diam—diam. Hidupmu sudah bukan milikmu lagi.”

Ia melepaskan dagunya kasar. Lalu menatap cek lima miliar yang masih tergenggam erat di tangannya, seolah itu trofi atas pengkhianatan yang berhasil.

“Dan ingat, Caca,” katanya sambil berbalik. “Kau harusnya bersyukur... setidaknya masih ada orang yang mau membeli gadis tak berguna sepertimu.”

Tanpa menoleh lagi, Farida masuk ke dalam rumah, meninggalkan Caca berdiri sendiri di ambang pintu, hancur.

Sebuah tangan dingin meraih lengan Caca—sopir pribadi Nyonya Ratna. “Waktunya pergi, Nona.”

Dan begitulah, dalam satu malam, hidup Caca yang sudah pahit berubah menjadi tak terbayangkan. Tak ada pesta pernikahan, tak ada janji suci. Hanya jeruji tak kasat mata yang perlahan menutup, membawa gadis itu menuju nasib yang lebih gelap dari bayangannya.

Mobil akhirnya berhenti di depan gerbang tinggi berwarna hitam pekat. Gerbang itu terbuka perlahan, seolah enggan menyambut siapa pun. Di baliknya, berdiri sebuah rumah besar bergaya kolonial tua, megah namun terlihat menyeramkan, dengan pilar-pilar kokoh menjulang dan jendela-jendela tinggi yang tertutup tirai berat.

Tapi yang paling terasa bukanlah kemewahannya—melainkan keheningannya. Rumah itu berdiri dalam sunyi yang mencurigakan, seolah telah lama tidak dihuni, atau justru... disembunyikan dari dunia luar.

Pintu mobil dibuka sopir, dan Caca melangkah turun. Tumit sepatunya menyentuh kerikil putih yang berserakan di pelataran. Udara malam menusuk kulitnya, dingin dan lembab, seperti uap dari ruang bawah tanah yang terlupakan.

Pintu utama terbuka perlahan, dan dari dalam, muncullah seorang pria tua. Punggungnya bungkuk, wajahnya dipenuhi keriput, dan matanya terlihat lelah namun awas. Ia mengenakan seragam pelayan berwarna gelap, dengan sarung tangan putih yang sudah mulai menguning di ujungnya.

“Selamat datang, Nona,” ucapnya pelan. Suaranya parau, seperti suara pintu tua yang berderit. “Saya Pak Raga. Saya yang akan melayani Anda selama tinggal di sini.”

Caca hanya mengangguk kaku. Ia belum bisa berkata apa pun. Mulutnya terasa kering, dan tenggorokannya seperti tercekik udara yang aneh. Rumah ini… terlalu sunyi. Terlalu sepi untuk ukuran rumah sebesar ini.

Nyonya Ratna menyusul turun dari mobil, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia menoleh sebentar ke arah Caca, lalu mendekat dan berbisik.

“Dengar baik-baik, Caca. Di rumah ini, kau hanya perlu melakukan satu hal: menurut. Jangan bertanya terlalu banyak. Jangan berjalan terlalu jauh. Dan yang paling penting... jangan pernah membuka pintu paling ujung di lantai dua. Apa pun yang terjadi, jangan masuk ke sana. kecuali atas Perintah dariku.”

Caca menoleh perlahan. “Pintu… paling ujung?”

“Ya,” jawab Ratna singkat, lalu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Pak Raga menunduk hormat pada wanita itu, lalu memberi isyarat kepada pelayan lain yang tiba-tiba muncul dari balik bayangan. Dua wanita muda berpakaian serba hitam langsung membawa koper kecil Caca yang tampak lusuh—bahkan sebelum gadis itu sempat menyentuhnya kembali.

“Siapkan kamar di lantai dua,” perintah Ratna. “Pastikan pakaiannya disediakan, perlengkapan mandinya lengkap. Berikan makanan hangat, dan... layani dia dengan baik. Dia sekarang bagian dari keluarga ini.”

Kata-katanya menggantung di udara seperti kabut. Bagian dari keluarga ini—kalimat yang terdengar manis namun justru membuat bulu kuduk Caca meremang.

Malam itu, Caca tidak diinterogasi. Tidak ditanya. Tidak diperintah melakukan apa pun. Ratna hanya menyuruhnya beristirahat, menyuruh semua orang menjauh darinya.

Dan entah kenapa, justru itu yang membuat Caca semakin gelisah.

Ia dibawa menuju kamar di lantai dua. Lorongnya panjang dan remang-remang. Cahaya lampu gantung kuning kusam membuat bayangan menari di dinding. Lantainya berderit setiap kali dilangkahi. Dan di ujung lorong, samar-samar, ia bisa melihat sebuah pintu besar berwarna hitam legam. Pintu yang tidak boleh dibuka.

“Jangan pernah ke sana,” terngiang ulang suara Ratna dan pelayan di telinganya.

Begitu pintu kamarnya dibuka, ia masuk perlahan. Kamar itu luas dan bersih, dengan tempat tidur besar dan jendela lebar menghadap taman gelap. Tapi udara di dalamnya terasa berat. Seperti... mengunci napas.

Caca duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kayu tua.

Malam itu, ia tak bisa tidur. Bukan hanya karena tempat baru. Tapi karena firasat buruk yang perlahan menelusup... bahwa rumah ini menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.

Dan belum satu pun orang menjelaskan siapa yang akan menjadi suaminya.

Malam begitu sunyi. Bahkan detik jam dinding terdengar terlalu keras di antara kesenyapan dinding-dinding batu yang terasa seperti memerangkap suara. Angin luar menggesek dedaunan, menciptakan suara samar seperti bisikan-bisikan yang melayang di jendela.

Caca duduk di ranjang, memeluk lututnya. Cahaya lampu tidur menyoroti wajahnya yang masih pucat, matanya memerah karena tak bisa terpejam. Entah sudah berapa kali ia memandangi langit-langit, lalu menoleh ke arah pintu kamarnya.

“Di balik pintu itu… apakah dia?”

Pertanyaan itu tak henti mengiang di kepala Caca.

“Dia sakit… dia terkurung... siapa pun yang masuk, akan berakhir mengenaskan…”

Itulah yang Pelayan Raga katakan ketika mengantarkan dirinya ke kamar. Dan kini, setelah melihat sendiri betapa asing dan menyeramkannya rumah ini, semua itu terasa bukan sekadar ancaman atau kisah berlebihan. Ia mulai percaya—bahwa sesuatu yang salah sedang terjadi. Sesuatu yang sangat salah.

Ia bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan pelan ke dekat jendela, menarik sedikit tirainya. Yang terlihat hanya taman gelap dengan pohon-pohon tinggi dan danau kecil di kejauhan, memantulkan bulan yang sebagian tertutup awan. Bahkan taman itu pun tak memiliki suara. Tak ada jangkrik, tak ada gemerisik rumput. Hening yang mengerikan.

“Di mana laki-laki itu? Mengapa aku belum bertemu dengannya?”

Caca kembali duduk di ujung tempat tidur. Tangannya meremas selimut. Tidak ada pesta pernikahan. Tidak ada perkenalan. Bahkan Nyonya Ratna tidak menyebutkan namanya sama sekali. Seolah… suaminya itu bukanlah orang, melainkan sesuatu yang disembunyikan.

Malam makin larut. Tapi rasa kantuk tak juga datang. Yang ada hanya kecemasan yang semakin tebal menyesaki dadanya.

Sesekali, Caca menoleh ke arah pintu kamarnya—yang sudah dikunci dari dalam.

"Aku harus Kuat, semua demi Ayah," batin Caca.

Dan saat semuanya begitu sunyi…

Krek.

Suara kecil terdengar. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat Caca menegang. Ia menahan napas, lalu berjalan pelan ke arah pintu kamarnya dan mengintip melalui celah kecil.

Lorong itu kosong.

Namun pintu ujung itu… seolah bergerak sedikit. Seperti... menyambut pandangannya.

Caca buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Ia menempelkan punggungnya ke kayu dingin, mencoba menenangkan diri.

“Jangan pernah membuka pintu itu tanpa perintah dariku,” bisik Caca, mengulang ucapan Nyonya Ratna seperti mantra.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 8 Bagaimana Aku Bisa!

    Perlahan, Caca membuka matanya. Pandangannya kabur. Langit-langit kamar yang familiar terlihat menggantung di atasnya, tapi terasa asing. Ruangan itu sepi, terlalu sepi. Hanya suara detak jarum jam di sudut dinding yang terdengar, nyaring, menusuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana ia berada. Hidungnya mencium aroma lavender tipis yang biasa dipakai di kamarnya, tapi kepalanya... terasa berat, nyeri berdenyut di sisi kanan. Tangannya meraba pelan bagian kepala yang dibalut perban. Ada rasa perih begitu disentuh. "Apa yang... terjadi...?" Caca mencoba duduk. Gerakan kecil saja membuat tubuhnya seperti diseret kembali oleh gravitasi, tapi ia memaksa. Napasnya memburu. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Perlahan, potongan-potongan ingatan itu mulai kembali. Pintu besar yang terbuka… Sosok tinggi di ujung ruangan gelap… Langkah berat mendekat… Aroma busuk menusuk hidung… Dan suara itu. "Apakah kau ingin mati seperti dia?" Caca tertegun. Kedua mat

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 7 Ketakutan

    Langkah mereka menyusuri lorong terasa lambat, berat, seperti dunia ikut menahan napas. Caca berjalan di belakang Raga, tangannya mencengkeram kain bajunya sendiri. Tapi kali ini, tidak ada gemetar seperti sebelumnya. Wajahnya masih pucat, tapi tatapannya… lebih tenang. Penjelasan Raga tadi membuat sesuatu dalam dirinya berubah. Bagaimanapun ia harus mencoba. Bukan karena kisah cinta masa lalu yang begitu tragis, bukan pula karena kemarahan atas ketidakadilan Ratna. Tapi karena satu harapan, yaitu Ayahnya. "Kalau aku bisa masuk bukan sebagai perawat, bukan sebagai orang asing… tapi sebagai seseorang yang benar-benar ingin mengenalnya… mungkin ia tidak akan menolakku." Caca menghela napas panjang. Lalu berdiri tepat di samping Raga, di depan pintu tua berukir gelap yang sudah beberapa kali hanya ia pandangi dari jauh. Kini, mereka berdiri di sana. Tepat di ambang batas dua dunia. Raga masih memegang kunci di tangannya, tapi belum memutar. Ia menatap Caca dalam-dalam. M

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 6 Tentang Dia

    Sementara itu di kamarnya, Caca menggenggam tangannya sendiri. Ia menatap pintu. Suara langkah pelayan sudah mendekat. Hari itu telah tiba. Langkah pelan Raga menggema di lorong panjang saat ia mendekati kamar Caca. Lelaki tua itu membawa nampan berisi kunci dan secarik kain putih kecil. Tapi di balik tatapan tegasnya yang biasa, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kesedihan. Caca menyambutnya dengan tubuh kaku. Sorot matanya sudah pasrah, tapi raut wajahnya tetap lembut, tetap… polos. Raga berdiri sejenak di depan gadis itu. Matanya menatap wajah Caca lama—wajah muda yang tak seharusnya terbebani ketakutan sebesar ini. “Kau terlihat seperti anak perempuanku,” gumamnya pelan. Caca mengerutkan kening. “Pak Raga…” Lelaki tua itu menghela napas panjang, lalu menyerahkan kunci dengan dua tangan, penuh hormat, seperti menyerahkan benda yang memiliki kekuatan mengerikan. “Aku tidak bisa menghentikan ini, Nona. Tapi aku… aku juga tak tega membiarkan kau masuk tanpa tahu sedikit pun sia

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 5 Hari Itu Tiba

    Malam itu, Caca duduk membeku di kamarnya. Di hadapannya terhampar secarik kertas kosong dan pena, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menulis. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, menatap bayangan pintu yang terbuka sedikit... mengarah ke lorong panjang dan sunyi. Lorong itu... kini menjadi jalur menuju neraka. "Bagaimana aku bisa menyembuhkannya? Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang bahkan tak Kukenal?"Suara-suara masih terdengar dari balik kamar Ardian. Kadang ketukan, kadang geraman, kadang suara-suara seperti... rintihan. Tapi yang paling membuatnya takut adalah suara isakan lelaki, pelan dan terputus-putus seperti anak kecil yang tersesat.Dan itu membuat semuanya jauh lebih menyakitkan.Karena di balik semua kegilaan dan kegelapan itu, Caca tahu—ada seseorang yang berstatus sebagai suaminya.“Bahkan dokter saja tidak sanggup,” gumam Caca pada dirinya sendiri. “Lalu aku… hanya gadis yang dijual oleh ibu tiriku… bisa apa?”Ia menutup wajah dengan kedua tangan. B

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 4 Sedikit Harapan Diantara Banyaknya Kemungkinan

    Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer seperti detak waktu yang dingin dan pasti. Setelah tiga hari menghilang tanpa kabar, Nyonya Ratna akhirnya kembali.Sore itu, awan menggantung berat di langit, dan suasana rumah besar itu jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Pelayan-pelayan bergerak lebih cepat, menunduk lebih dalam, dan senyap lebih dalam. Semuanya tahu—Ratna telah datang, dan bersama dirinya... datang pula ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Seorang pelayan mengetuk kamar Caca dengan gugup.“Nona… Nyonya memanggil Anda ke ruang kerjanya.”Caca segera berganti pakaian dan berjalan perlahan menyusuri lorong. Setiap langkah terasa berat. Ada firasat buruk yang sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya. Suara-suara dari balik pintu gelap masih menghantui telinganya.Ia tiba di depan sebuah ruangan berlapis kayu mahoni. Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Ratna duduk anggun di belakang meja besar, menatap sebuah dokumen dengan wajah tenang namun tajam sep

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 3 Apa Yang Tersembunyi Di Balik Pintu?

    Mentari pagi menerobos perlahan dari balik tirai tebal berwarna keemasan. Namun, bahkan cahaya itu pun tampak enggan menyentuh lantai rumah megah itu. Hawa pagi masih dingin, seperti sisa-sisa malam yang enggan menghilang sepenuhnya.Caca terbangun dengan mata sembab dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan lorong gelap dan pintu hitam itu masih terus menghantui pikirannya. Begitu membuka pintu kamar, yang ia temukan hanyalah keheningan yang sama.Tidak ada suara aktivitas. Tidak ada tawa. Tidak ada kehidupan.Hanya pelayan-pelayan berpakaian hitam yang bergerak senyap, nyaris tanpa suara, seperti bayangan.Tak lama kemudian, pelayan tua yang menyambutnya semalam—Pak Raga—datang mengetuk pintu kamarnya.“Selamat pagi, Nona Caca,” sapanya sopan, meski sorot matanya tetap muram. “Nyonya Ratna telah berangkat pagi-pagi sekali. Ada urusan penting di luar kota, dan mungkin akan kembali esok hari.”“Dia pergi?” Caca sedikit terkejut.Pak Raga mengangguk pelan. “Beliau

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status