“Dia datang,” ucapnya dengan senyum manis palsu. “Cepat bersihkan mukamu, dan diam kalau kau masih ingin melihat ayahmu tetap bernapas.”
Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan aura yang langsung menelan ruangan. Gaun hitam elegan membungkus tubuh rampingnya. Kacamata hitam besar menutupi separuh wajahnya, dan di tangannya—sebuah tas kulit mahal yang sepertinya bernilai lebih dari seluruh isi rumah ini. “Ibu Farida,” ucap wanita itu dingin. “Kita bertemu lagi.” Farida membungkuk kecil, senyum menjilat muncul di wajahnya. “Tentu, Nyonya Ratna. Terima kasih sudah datang. Silakan duduk.” Tatapan Nyonya Ratna beralih ke arah Caca, menelusuri gadis itu dari ujung rambut ke ujung kaki seolah sedang menilai barang lelang. “Ini anaknya?” “Ya,” jawab Farida cepat. “Masih muda, sehat, tidak neko-neko. Cocok sekali untuk anak Nyonya.” Caca menunduk, tubuhnya tegang, rahangnya mengeras. Tanpa basa-basi, Nyonya Ratna membuka tasnya dan mengeluarkan selembar kertas berwarna biru muda. Sebuah cek. Farida ternganga. “Lima miliar,” kata wanita itu datar. “Lunas hari ini. Dengan satu syarat: gadis ini harus ikut malam ini juga. Saya tidak suka menunggu.” Jantung Caca nyaris berhenti. Mulutnya kering. Farida meraih cek itu seperti orang kehausan menemukan air di gurun. Tangannya bergetar saat memeluk selembar kertas itu seolah memeluk masa depan yang kaya raya. “Tentu... tentu saja... dia akan ikut malam ini.” “Tidak!” Caca berseru, melangkah maju. “Aku belum setuju!” Farida berbalik dan menampar Caca tanpa ragu. Plak! “Jangan mempermalukanku di depan orang penting!” desisnya. Air mata Caca akhirnya tumpah. Tapi tak ada yang peduli. Bahkan Naumi hanya tertawa kecil sambil memalingkan wajah. Di depan rumah, mobil mewah Nyonya Ratna sudah menunggu dengan mesin menyala pelan, seolah detaknya menjadi penghitung waktu bagi Caca untuk meninggalkan segalanya. Caca berdiri di depan pintu, tubuhnya lunglai namun hatinya masih mencoba bertahan. Matanya menatap Farida, mengharapkan sedikit belas kasihan—walau dalam hati ia tahu itu sia-sia. Farida menghampirinya. Wajahnya kembali berubah, tak ada lagi senyum palsu, hanya tatapan dingin seperti batu yang siap menghancurkan. “Dengar baik-baik, Caca,” desisnya, suaranya seperti bisikan ular di telinga. “Mulai detik ini, kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma istri dari anak orang kaya yang sakit. Tak ada tempat buat harga dirimu. Kamu hanya harus patuh.” Caca menggigit bibir, tangannya mengepal, tapi Farida mencengkeram dagunya, memaksanya menatap langsung ke matanya. “Lihat Ayahmu disana!" ucap Farida menunjuk Sutomo, suaminya yang hanya terbaring tanpa bisa melakukan apapun. "Satu kata saja keluar dari mulutmu tentang ini, aku tak akan segan singkirkan ayahmu. Jangan kira aku tak sanggup. Dia sudah tak bisa bicara, tak bisa jalan, dan cuma kamu alasan dia masih hidup.” Air mata Caca jatuh, tapi Farida tak berhenti. “Jangan macam-macam di rumah mereka. Turuti semua perintah. Jangan coba-coba kabur. Kalau mereka bilang masuk kamar itu—masuklah. Kalau mereka suruh diam—diam. Hidupmu sudah bukan milikmu lagi.” Ia melepaskan dagunya kasar. Lalu menatap cek lima miliar yang masih tergenggam erat di tangannya, seolah itu trofi atas pengkhianatan yang berhasil. “Dan ingat, Caca,” katanya sambil berbalik. “Kau harusnya bersyukur... setidaknya masih ada orang yang mau membeli gadis tak berguna sepertimu.” Tanpa menoleh lagi, Farida masuk ke dalam rumah, meninggalkan Caca berdiri sendiri di ambang pintu, hancur. Sebuah tangan dingin meraih lengan Caca—sopir pribadi Nyonya Ratna. “Waktunya pergi, Nona.” Dan begitulah, dalam satu malam, hidup Caca yang sudah pahit berubah menjadi tak terbayangkan. Tak ada pesta pernikahan, tak ada janji suci. Hanya jeruji tak kasat mata yang perlahan menutup, membawa gadis itu menuju nasib yang lebih gelap dari bayangannya. Mobil akhirnya berhenti di depan gerbang tinggi berwarna hitam pekat. Gerbang itu terbuka perlahan, seolah enggan menyambut siapa pun. Di baliknya, berdiri sebuah rumah besar bergaya kolonial tua, megah namun terlihat menyeramkan, dengan pilar-pilar kokoh menjulang dan jendela-jendela tinggi yang tertutup tirai berat. Tapi yang paling terasa bukanlah kemewahannya—melainkan keheningannya. Rumah itu berdiri dalam sunyi yang mencurigakan, seolah telah lama tidak dihuni, atau justru... disembunyikan dari dunia luar. Pintu mobil dibuka sopir, dan Caca melangkah turun. Tumit sepatunya menyentuh kerikil putih yang berserakan di pelataran. Udara malam menusuk kulitnya, dingin dan lembab, seperti uap dari ruang bawah tanah yang terlupakan. Pintu utama terbuka perlahan, dan dari dalam, muncullah seorang pria tua. Punggungnya bungkuk, wajahnya dipenuhi keriput, dan matanya terlihat lelah namun awas. Ia mengenakan seragam pelayan berwarna gelap, dengan sarung tangan putih yang sudah mulai menguning di ujungnya. “Selamat datang, Nona,” ucapnya pelan. Suaranya parau, seperti suara pintu tua yang berderit. “Saya Pak Raga. Saya yang akan melayani Anda selama tinggal di sini.” Caca hanya mengangguk kaku. Ia belum bisa berkata apa pun. Mulutnya terasa kering, dan tenggorokannya seperti tercekik udara yang aneh. Rumah ini… terlalu sunyi. Terlalu sepi untuk ukuran rumah sebesar ini. Nyonya Ratna menyusul turun dari mobil, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia menoleh sebentar ke arah Caca, lalu mendekat dan berbisik. “Dengar baik-baik, Caca. Di rumah ini, kau hanya perlu melakukan satu hal: menurut. Jangan bertanya terlalu banyak. Jangan berjalan terlalu jauh. Dan yang paling penting... jangan pernah membuka pintu paling ujung di lantai dua. Apa pun yang terjadi, jangan masuk ke sana. kecuali atas Perintah dariku.” Caca menoleh perlahan. “Pintu… paling ujung?” “Ya,” jawab Ratna singkat, lalu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjelaskan lebih lanjut. Pak Raga menunduk hormat pada wanita itu, lalu memberi isyarat kepada pelayan lain yang tiba-tiba muncul dari balik bayangan. Dua wanita muda berpakaian serba hitam langsung membawa koper kecil Caca yang tampak lusuh—bahkan sebelum gadis itu sempat menyentuhnya kembali. “Siapkan kamar di lantai dua,” perintah Ratna. “Pastikan pakaiannya disediakan, perlengkapan mandinya lengkap. Berikan makanan hangat, dan... layani dia dengan baik. Dia sekarang bagian dari keluarga ini.” Kata-katanya menggantung di udara seperti kabut. Bagian dari keluarga ini—kalimat yang terdengar manis namun justru membuat bulu kuduk Caca meremang. Malam itu, Caca tidak diinterogasi. Tidak ditanya. Tidak diperintah melakukan apa pun. Ratna hanya menyuruhnya beristirahat, menyuruh semua orang menjauh darinya. Dan entah kenapa, justru itu yang membuat Caca semakin gelisah. Ia dibawa menuju kamar di lantai dua. Lorongnya panjang dan remang-remang. Cahaya lampu gantung kuning kusam membuat bayangan menari di dinding. Lantainya berderit setiap kali dilangkahi. Dan di ujung lorong, samar-samar, ia bisa melihat sebuah pintu besar berwarna hitam legam. Pintu yang tidak boleh dibuka. “Jangan pernah ke sana,” terngiang ulang suara Ratna dan pelayan di telinganya. Begitu pintu kamarnya dibuka, ia masuk perlahan. Kamar itu luas dan bersih, dengan tempat tidur besar dan jendela lebar menghadap taman gelap. Tapi udara di dalamnya terasa berat. Seperti... mengunci napas. Caca duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kayu tua. Malam itu, ia tak bisa tidur. Bukan hanya karena tempat baru. Tapi karena firasat buruk yang perlahan menelusup... bahwa rumah ini menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Dan belum satu pun orang menjelaskan siapa yang akan menjadi suaminya. Malam begitu sunyi. Bahkan detik jam dinding terdengar terlalu keras di antara kesenyapan dinding-dinding batu yang terasa seperti memerangkap suara. Angin luar menggesek dedaunan, menciptakan suara samar seperti bisikan-bisikan yang melayang di jendela. Caca duduk di ranjang, memeluk lututnya. Cahaya lampu tidur menyoroti wajahnya yang masih pucat, matanya memerah karena tak bisa terpejam. Entah sudah berapa kali ia memandangi langit-langit, lalu menoleh ke arah pintu kamarnya. “Di balik pintu itu… apakah dia?” Pertanyaan itu tak henti mengiang di kepala Caca. “Dia sakit… dia terkurung... siapa pun yang masuk, akan berakhir mengenaskan…” Itulah yang Pelayan Raga katakan ketika mengantarkan dirinya ke kamar. Dan kini, setelah melihat sendiri betapa asing dan menyeramkannya rumah ini, semua itu terasa bukan sekadar ancaman atau kisah berlebihan. Ia mulai percaya—bahwa sesuatu yang salah sedang terjadi. Sesuatu yang sangat salah. Ia bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan pelan ke dekat jendela, menarik sedikit tirainya. Yang terlihat hanya taman gelap dengan pohon-pohon tinggi dan danau kecil di kejauhan, memantulkan bulan yang sebagian tertutup awan. Bahkan taman itu pun tak memiliki suara. Tak ada jangkrik, tak ada gemerisik rumput. Hening yang mengerikan. “Di mana laki-laki itu? Mengapa aku belum bertemu dengannya?” Caca kembali duduk di ujung tempat tidur. Tangannya meremas selimut. Tidak ada pesta pernikahan. Tidak ada perkenalan. Bahkan Nyonya Ratna tidak menyebutkan namanya sama sekali. Seolah… suaminya itu bukanlah orang, melainkan sesuatu yang disembunyikan. Malam makin larut. Tapi rasa kantuk tak juga datang. Yang ada hanya kecemasan yang semakin tebal menyesaki dadanya. Sesekali, Caca menoleh ke arah pintu kamarnya—yang sudah dikunci dari dalam. "Aku harus Kuat, semua demi Ayah," batin Caca. Dan saat semuanya begitu sunyi… Krek. Suara kecil terdengar. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat Caca menegang. Ia menahan napas, lalu berjalan pelan ke arah pintu kamarnya dan mengintip melalui celah kecil. Lorong itu kosong. Namun pintu ujung itu… seolah bergerak sedikit. Seperti... menyambut pandangannya. Caca buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Ia menempelkan punggungnya ke kayu dingin, mencoba menenangkan diri. “Jangan pernah membuka pintu itu tanpa perintah dariku,” bisik Caca, mengulang ucapan Nyonya Ratna seperti mantra.“Caca, ayah pikir kita tidak akan bertemu lagi sampai ayah mati…” Suara parau itu membuat dada Caca semakin sesak. Pria paruh baya yang terbaring di ranjang itu, Bambang—ayahnya, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Meski lemah, sorot matanya menyimpan kerinduan yang tak terucapkan selama berbulan-bulan. Tubuhnya masih dipenuhi selang infus, namun kemajuan kecil, seperti bisa bicara dan merespons, sudah terasa begitu berharga. Caca langsung memeluk ayahnya erat-erat, air mata tak henti mengalir di pipinya. “Ayah jangan bilang begitu… jangan pernah bilang begitu. Caca kerja keras, Yah… caca berusaha supaya Ayah sembuh. Nanti kita bisa kumpul lagi, Ayah. Kita akan pergi jauh, tinggalkan semua ini… hidup bahagia bersama, janji!” suaranya pecah, penuh harap, namun juga getir. Bambang ikut menangis. Tangannya yang lemah terangkat, bergetar, lalu perlahan mengusap kepala putrinya. “Maafkan Ayah, Caca… karena Ayah, kamu harus mengalami ini semua. Ayah gagal jadi pelindungmu.” C
“Caca… bagaimana keadaanmu?” Suara Nyonya Ratna terdengar lirih namun jelas, tubuhnya mendekat ke arah gadis itu. Untuk pertama kalinya setelah hampir setengah tahun Caca menjadi bagian dari keluarga Mahendra, wanita paruh baya itu benar-benar memperhatikan keberadaannya. Ada nada lembut, tapi juga terselip kecemasan yang sulit disembunyikan. Caca mengangkat wajahnya pelan, mata sembab karena tangis, namun berusaha kuat. “Saya tidak apa-apa, Nyonya…” jawabnya lirih, seraya merapatkan tangan di pangkuan dan duduk di kursi yang menghadap langsung ke ruang penanganan. Ratna menghela napas panjang, pundaknya turun naik dengan berat. Sorot matanya tak lepas dari pintu ruang tindakan yang tertutup rapat, lampu indikator merah masih menyala. Bayangan putranya yang terbaring lemah dengan tubuh penuh darah membuat dadanya terasa sesak. Ia masih tak menyangka, anak semata wayangnya, kebanggaannya, bisa berada di ujung maut dalam sekejap. Hening menekan lorong rumah sakit itu, hingga tiba-t
Suara sirine meraung-raung memecah hiruk pikuk sore kota. Dua unit ambulans melaju kencang, lampu rotator merah-biru memantul di dinding gedung-gedung tinggi. Orang-orang yang sedang berlalu-lalang di trotoar otomatis menoleh, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Beberapa menit kemudian, ambulans itu berhenti tepat di depan instalasi gawat darurat rumah sakit swasta terbesar di kota. Pintu belakang terbuka cepat, petugas medis dengan sigap menurunkan dua brankar sekaligus. Tubuh dua pasien yang terlibat kecelakaan mobil tampak berlumuran darah, wajah mereka pucat dan tidak sadarkan diri. Situasi terasa begitu genting. Pada saat yang sama, Caca baru saja menjejakkan kaki di halaman rumah sakit. Ia datang dengan hati riang bercampur gugup, karena akhirnya setelah sekian lama ia mendapat izin dari Nyonya Ratna untuk menjenguk ayahnya. Langkahnya semula ringan, tetapi terhenti mendadak begitu melihat kerumunan di depan IGD. Naluri penasaran membuatnya melongok. Pandangannya
“Pemenang tender proyek Barat Laut adalah…” jeda panjang tercipta, membuat detik terasa berjalan lambat. “Ardian Satya Mahendra, perwakilan dari Mahendra Group!”Semua mata langsung tertuju pada Satya. Tepuk tangan membahana, menggema di seluruh ruangan megah itu. Beberapa tamu bahkan berdiri, memberikan penghormatan layaknya seorang pemenang besar. Kamera-kamera wartawan berkilatan, menyorot wajah Satya yang tetap tenang dan anggun meski diselimuti sorot sorotan publik. Namun berbeda dengan semua orang, tatapan Natan justru membara. Kedua tangannya mengepal di atas meja, urat-urat di pelipisnya menegang. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya dengan suara nyaris tercekat. “Ke… kenapa bisa dia yang memenangkan proyek ini?!” Dadanya berdegup kencang, seolah hendak meledak. Ia sudah berjuang keras, mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk menyuap sejumlah pihak penting, bahkan memanfaatkan koneksi gelap demi memastikan kemenangannya. Namun semua itu hancur dalam sekejap ketika nama Satya
Beberapa minggu berlalu sejak peringatan terakhir Satya. Sejak saat itu, suasana meja makan keluarga Ratna seakan selalu diselimuti ketegangan. Keheningan yang menggantung membuat suara sendok dan garpu beradu dengan piring terdengar begitu nyaring, seolah jadi pengingat jarak di antara mereka. Caca duduk di ujung meja, tubuhnya kaku. Ia tidak berani mengangkat kepala, hanya menunduk menatap piring yang nyaris tak tersentuh. Setiap gerakannya penuh kehati-hatian, seakan ia bisa saja salah langkah hanya dengan menghirup udara. Di hadapannya, duduk Satya dengan wajah dingin yang semakin hari kian menegas, sementara di sisi lain ada Natan yang tak kalah membekukan suasana dengan tatapan menusuknya. Peringatan Satya masih membekas jelas dalam benak Caca. Ia benar-benar menjauh dari Natan; bahkan jika pria itu muncul sekadar di lorong rumah, Caca akan buru-buru mencari jalan lain. Hatinya selalu diliputi rasa takut kalau Satya tiba-tiba mendapati mereka berada di tempat yang sama. Keteg
Sore itu udara terasa tenang. Angin berhembus lembut membawa aroma bunga dari taman kecil di halaman depan. Caca berdiri di antara pot-pot bunga, memegang selang air yang mengucurkan aliran lembut. Senyumnya samar, lebih untuk menenangkan hatinya sendiri daripada menikmati aktivitas itu. Seorang art rumah menghampiri sambil membawa keranjang cucian. “Nona Caca tidak perlu melakukan apa pun di rumah ini. Anda adalah nyonya rumah, biar kami yang mengurus semuanya,” ucapnya sopan. Caca menoleh, tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Bik. Saya juga tidak enak kalau hanya berdiam diri di kamar. Lagipula menyiram bunga bisa membuat hati saya lebih tenang.” Namun dalam hatinya, ia tidak sepenuhnya tenang. Caca merasa bosan, bahkan sesak. Ia ingin sekali meminta izin pada Nyonya Ratna untuk menjenguk ayahnya, tapi mulutnya terasa terkunci setiap kali berniat mengucapkan. Ada rasa segan yang besar, juga ketakutan bila permintaannya dianggap lancang. Tiba-tiba suara decit ban mobil terdengar