Masuk
Teriakan itu membelah keheningan pagi seperti cambuk yang menghantam udara. Suara yang tak asing—melengking, nyaring, dan selalu ditujukan padaku.
“Cacaaaa! Bangun! Dasar pemalas, piring kotor ini mau kamu cuci pakai doa?!” Mataku terbelalak. Jantungku berdegup cepat, tak karena mimpi buruk, tapi karena kenyataan yang lebih menyebalkan dari itu. Dengan enggan, aku bangkit dari kasur tipis yang sudah lama kehilangan empuknya. Lantai dingin menyentuh telapak kakiku saat aku melangkah keluar dari kamar sempitku. Pemandangan pertama yang menyambutku adalah kekacauan. Piring kotor menumpuk di wastafel, sebagian bahkan berserakan di meja dan lantai. Bekas makanan kering menempel, lalat-lalat kecil beterbangan di sekitarnya. Ruang tamu berantakan, bantal sofa terlempar ke sana kemari, karpet bergulung, dan... di tengah semua kekacauan itu, duduk seseorang yang seperti tak menyadari dunia sedang terbakar. Naumi. Adik tiriku yang cantik, manja, dan lebih menyebalkan dari yang terlihat. Ia duduk di sofa empuk dengan kaki naik ke meja, memulas kutek merah menyala di jari-jarinya yang ramping. Tak sedikit pun ia mengalihkan pandangan ke arahku, apalagi menunjukkan niat membantu. “Kau lihat apa, Caca?” desisnya, tanpa mengangkat wajah. “Cepat kerjakan tugasmu. Ibu sudah nyaris meledak tuh.” Aku mengepalkan tangan. Ingin rasanya menumpahkan semua rasa kesal yang selama ini kupendam. Tapi aku tahu akibatnya. Ibu tiriku tak pernah butuh alasan untuk memukul, dan Naumi... dia selalu tahu cara membuatku terlihat salah. Ibu tiri muncul dari balik pintu dapur, wajahnya merah padam, rambut acak-acakan, dan tangan berkacak pinggang seperti hendak menerkam. “Berani-beraninya kamu tidur nyenyak sementara aku kerja sendirian dari pagi!” bentaknya. “Dasar anak pembawa sial. Untung ibumu sudah mati, kalau tidak, pasti malu punya anak tak tahu diri sepertimu!” Kata-katanya menamparku lebih keras dari tangan siapa pun. Tapi aku hanya menunduk. Menelan semua seperti biasa. Tanganku bergerak otomatis, mengumpulkan piring-piring kotor dan membawa ke wastafel. Air dingin menyiram kulitku, sabun menari di jemariku, tapi tak bisa mencuci bersih rasa marah dan sakit hati yang mendidih dalam dadaku. Hari ini baru dimulai, dan aku sudah ingin lari dari dunia ini. Suara piring beradu di wastafel terdengar nyaring, namun kalah nyaring dibandingkan suara bentakan Farida yang makin membara. Wanita itu kini berdiri tepat di belakangku, napasnya memburu, penuh amarah, seolah aku adalah sumber segala penderitaan dalam hidupnya. “Lihat kamu sekarang! Anak tak tahu balas budi! Sudah kuberi makan, kuberi atap, masih saja pemalas dan tidak berguna!” Aku tetap menunduk. Tangan terus bergerak mencuci piring, meski tubuhku gemetar oleh luapan kata-katanya. “Kalau bukan karena kamu, ayahmu nggak bakal cacat! Kamu pikir aku lupa? Aku masih ingat jelas malam itu... waktu dia loncat nyelametin kamu dari truk, dan sekarang? Lumpuh! Nggak bisa kerja! Dan semua itu… karena kamu!” Suara tawa sinis Naumi terdengar lirih dari arah sofa, menambah rasa sesak di dadaku. Tapi Farida belum selesai. “Anak pembawa sial! Seharusnya kamu yang mati malam itu, bukan suamiku!” katanya sambil menunjuk wajahku dengan telunjuk gemetaran, “Dan sekarang kamu hidup seenaknya, makan dari uangku, tinggal di rumahku, tapi tak pernah tahu diri!” Dadaku terasa nyeri. Aku tak pernah lupa malam itu—ayah menggendongku, mendorongku dari jalur truk yang melaju kencang. Lalu suara rem berdecit, tubuhnya terpelanting, dan setelah itu... dunia kami berubah selamanya. Tangis yang sudah lama kutahan hampir pecah. Tapi Farida tiba-tiba melangkah mendekat, menyeringai dengan senyum yang membuat bulu kudukku meremang. “Tapi untungnya… aku punya solusi.” Aku menoleh pelan, mencoba menangkap maksud dari nada suaranya yang berubah dingin. “Ada seorang wanita kaya. Punya anak laki-laki… yah, bisa dibilang dia... spesial. Mereka butuh istri buat anaknya. Wanita itu rela bayar mahal, asal anaknya punya pendamping.” Deg. Perutku mual. Aku belum tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi instingku tahu—itu bukan sesuatu yang baik. “Kamu,” lanjut Farida, menunjuk wajahku. “Kamulah yang akan dinikahkan dengan anaknya. Sebagai gantinya, mereka akan kasih uang… cukup untuk pengobatan ayahmu. Katanya kamu cinta ayahmu, kan?” Aku menatapnya tak percaya. Mulutku terbuka, tapi tak satu kata pun keluar. Benarkah ini demi ayah? Atau... “Berapa… banyak uang yang mereka tawarkan?” tanyaku, suara lirihku nyaris tak terdengar. Farida menyeringai, matanya bersinar rakus. “Cukup untuk membuat hidupku—ehm, hidup kita—lebih baik.” Dan saat itulah aku sadar. Ini bukan tentang ayah. Ini bukan demi pengobatan. Ini tentang uang. Ini tentang keserakahan seorang wanita yang tak pernah benar-benar menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. Aku dijual. Bukan karena cinta. Bukan karena takdir. Tapi karena ibu tiriku ingin kaya raya, dan aku… aku hanyalah tumbal dalam rencana kotornya. “Aku tidak mau!” Suara Caca menggema di ruang tamu yang tiba-tiba menjadi lebih sempit oleh amarah yang memuncak. Air dari piring yang dicucinya masih menetes di tangannya, tapi itu tak lagi penting. Kini, ia berdiri tegak, menatap Farida dengan wajah pucat namun penuh perlawanan. “Kenapa harus aku? Kenapa bukan Naumi saja? Dia jauh lebih cantik dan cocok jadi menantu orang kaya!” Naumi mendongak dari kesibukannya memoles kutek, matanya membelalak. “APA?! Kamu bilang aku yang dijodohkan dengan anak cacat dan aneh itu? Dasar kurang ajar, Caca!” Ia melempar botol kutek ke lantai, isinya tercecer, mewarnai keramik putih dengan warna darah menyala. Farida langsung menghampiri Caca, matanya menyala seperti bara, tangannya terangkat, tapi tertahan setengah jalan. “Naumi bukan anak kandung ayahmu! Aku tidak akan membiarkan anakku dijadikan korban! Kamu yang harusnya merasa bersyukur masih bisa berguna untuk sesuatu! Setidaknya kamu masih bisa dibeli!” Caca mundur satu langkah, nafasnya tercekat. Kata-kata Farida menancap seperti duri. Ia melihat ke arah Naumi yang kini berdiri dengan angkuh, menyilangkan tangan di dada, senyum menyeringai terlukis di wajahnya. “Lagipula, Caca,” kata Naumi, suaranya dingin seperti es, “kamu kan selalu sok berkorban demi Ayah. Nah, sekarang tunjukkan kalau kamu memang anak yang baik.” “Aku bukan barang dagangan!” bentak Caca akhirnya, suaranya pecah, nyaris menangis. “Kalau Ayah tahu—” “Ayahmu bahkan tak tahu siapa dia sendiri!” potong Farida cepat. “Dia lumpuh, Caca! Tak bisa bicara, tak bisa jalan. Kau pikir dia bisa menolongmu?!” Hening. Caca menggigit bibirnya. Matanya panas. Ia ingin melawan, tapi seluruh tubuhnya terasa lemah. Dan sebelum ia bisa mencari kata untuk menjawab, suara mobil berhenti di depan rumah, diikuti ketukan pelan di pintu utama. Tok... Tok... Farida mengangkat dagunya, lalu menoleh ke arah pintu dengan cepat. Wajahnya berubah drastis—seperti topeng yang berpindah seketika dari marah menjadi ramah. “Dia datang,” ucapnya dengan senyum manis palsu. “Cepat bersihkan mukamu, dan diam kalau kau masih ingin melihat ayahmu tetap bernapas.”Butuh waktu berhari-hari bagi Satya untuk bisa meninggalkan rumah sakit. Luka di lengannya memang sudah mengering, tapi kepalanya masih sering terasa berdenyut, terutama setiap kali ia memejamkan mata dan mengingat peristiwa siang itu, bunyi rem yang melengking, teriakan Rio, dan hantaman keras yang membuat tubuhnya terlempar.Dokter mengatakan ia beruntung.Namun bagi Satya, kata beruntung itu terasa hampa. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.Caca mendorong kursi roda pelan-pelan, sementara di belakang mereka Pak Raga dan salah satu asisten rumah tangga membawa koper dan barang pribadi Satya. Langkah kaki mereka menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi.“Antar aku ke kamar Rio dulu,” pinta Satya tiba-tiba.Caca menunduk sedikit. “Baik, Tuan muda.”Nada suaranya lembut, tapi ia sempat menatap pria itu dari samping. Ada gurat lelah di wajah Satya, namun juga sesuatu yang lain, kekhawatiran yang berlapis dengan kecurigaan.“Dan kalian…
Hampir dua jam lamanya Caca berada di ruang rawat inap ayahnya. Setelah memastikan sang ayah tertidur pulas, ia bangkit dari kursi dan menatap wajah renta itu dengan lembut. “Ayah istirahat ya. Caca harus kembali dulu…” bisiknya lirih, sebelum melangkah keluar dari ruang perawatan dengan langkah pelan. Lorong rumah sakit terasa sepi, hanya suara langkah kaki dan dengung pendingin ruangan yang terdengar samar. Caca menggenggam erat ujung tasnya, pikirannya melayang pada sosok Satya, pria yang kini tak hanya menjadi tuan mudanya, tapi seseorang yang diam-diam mengusik tenang di hatinya. Setibanya di depan kamar Satya, Caca sempat berhenti. Ia menatap sekeliling, tapi tak melihat sosok Pak Raga yang tadi berjaga di depan. Alisnya berkerut heran. Dengan perlahan ia mengetuk pintu. “Permisi… Tuan muda?” suaranya pelan, ragu. Tak ada jawaban. Caca menunggu sejenak, lalu memberanikan diri memutar kenop dan membuka pintu sedikit demi sedikit. Ruangan itu tampak tenang. Caca melang
Suara lembut dari luar kamar memecah keheningan yang canggung di antara keduanya. “Tuan muda Satya, nona Caca…” Caca sontak menoleh, tubuhnya refleks menegakkan posisi, sementara Satya menatap ke arah pintu dengan tatapan tajam dan sedikit gelisah. “Itu… suara Pak Raga,” ucap Caca cepat, berusaha menormalkan napasnya yang masih berantakan. Ia melangkah tergesa ke arah pintu, mencoba menutupi wajahnya yang masih memerah. “Tunggu sebentar, Nyonya… Tuan muda sedang bersiap,” katanya sopan sambil sedikit menyembulkan kepala di celah pintu yang terbuka. Ratna berdiri di luar bersama Pak Raga. Tatapannya sempat turun memperhatikan Caca dengan sorot mata penuh selidik, lalu bergeser ke arah dalam ruangan, meski pintu hanya terbuka sedikit. Ada nada tidak percaya di sana, campuran antara cemas dan curiga. “Baiklah,” ucap Ratna pelan, namun tetap menatap tajam sebelum akhirnya melangkah masuk dan duduk di sisi ranjang Satya. Pandangannya lurus menatap ke arah kamar mandi yang tertu
Satya berdecak pelan, rahangnya sedikit mengeras. “Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya butuh kamu membantuku ke kamar mandi. Aku bisa mandi sendiri.” Suaranya berat, tapi cukup untuk membuyarkan segala pikiran aneh yang sempat berkecamuk di benak Caca. Gadis itu menunduk cepat, berusaha menutupi rona merah di pipinya. Ia menghela napas panjang, seakan ingin meyakinkan dirinya bahwa permintaan itu benar-benar sederhana. “Kalau begitu… biarkan saya siapkan air mandinya dulu,” ucapnya hati-hati. Satya tidak menjawab, hanya sudut bibirnya yang terangkat samar. Matanya mengikuti punggung Caca yang perlahan menjauh, langkahnya ringan namun jelas penuh keraguan. Untuk sesaat, pria itu terdiam, dadanya bergetar oleh rasa yang tak bisa ia definisikan. "Dia… begitu sederhana, tapi mengapa aku merasa tidak ingin jauh darinya?" Sementara itu, di dalam kamar mandi, Caca menutup pintu dan bersandar sejenak pada dinding. Tangannya refleks menempel di dadanya yang berdebar tak terkendali. “Y
“Kemari!” suara Satya terdengar berat, penuh tekanan. Bukan sebuah permintaan, melainkan perintah. Caca tersentak, jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang semula berada di pangkuan langsung terkepal erat, tapi tak ada jalan untuk menolak. Dengan langkah pelan, ia mendekat ke sisi ranjang. Hatinya berdesir aneh, antara takut dan… hangat. Begitu jaraknya cukup dekat, tangan Satya bergerak. Jemari pria itu, meski masih kaku karena luka, terulur lembut menarik lengan Caca, membuatnya lebih mendekat lagi. Tatapan tajam Satya menusuk, seolah menembus lapisan hati terdalamnya. Kemudian, tanpa peringatan, tangan besar itu mengusap pipi Caca. Sentuhan hangat bercampur dingin, membuat tubuh gadis itu seakan membeku di tempat. “Ini… bekas tamparan?” suara Satya rendah, nyaris bergetar menahan emosi. Sorot matanya mengeras, rahangnya menegang. “Siapa yang menamparmu? Apakah Ratna?” Caca langsung menggeleng cepat, kedua matanya melebar. Ia tak ingin menambah masalah. “Bukan, Tuan Mud
Caca melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit. Suara langkah kakinya bergaung samar di antara aroma obat dan bau antiseptik yang menyengat. Wajahnya masih menyisakan lelah setelah menjaga Satya, tapi detak jantungnya makin kencang tiap kali ia mendekati ruang perawatan ayahnya. Tangannya gemetar saat menekan tombol lift. Sesekali ia mengusap dadanya, berusaha menenangkan diri. Namun hatinya tetap bergejolak, apalagi mengingat percakapan Satya dan Natan barusan—semua itu membuat pikirannya semakin kacau. Begitu lift terbuka, ia keluar tergesa, menyusuri koridor hingga berhenti di depan pintu bercat putih dengan jendela kaca kecil. Dari balik kaca itu, ia melihat sosok ayahnya tengah berjuang meraih gelas air di atas nakas dengan tangan yang gemetar. Tubuh renta itu tampak makin kurus, wajahnya pucat, namun tatapannya tetap berusaha tegar. Di sisi lain, Naumi, adik tirinya, justru duduk santai di kursi, menekuri ponsel mahalnya sambil sesekali menyuapkan cemilan ke mulut. Seak







