Beranda / Romansa / SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU / Bab 3 Apa Yang Tersembunyi Di Balik Pintu?

Share

Bab 3 Apa Yang Tersembunyi Di Balik Pintu?

Penulis: Aries grils
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-30 11:25:09

Mentari pagi menerobos perlahan dari balik tirai tebal berwarna keemasan. Namun, bahkan cahaya itu pun tampak enggan menyentuh lantai rumah megah itu. Hawa pagi masih dingin, seperti sisa-sisa malam yang enggan menghilang sepenuhnya.

Caca terbangun dengan mata sembab dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan lorong gelap dan pintu hitam itu masih terus menghantui pikirannya. Begitu membuka pintu kamar, yang ia temukan hanyalah keheningan yang sama.

Tidak ada suara aktivitas. Tidak ada tawa. Tidak ada kehidupan.

Hanya pelayan-pelayan berpakaian hitam yang bergerak senyap, nyaris tanpa suara, seperti bayangan.

Tak lama kemudian, pelayan tua yang menyambutnya semalam—Pak Raga—datang mengetuk pintu kamarnya.

“Selamat pagi, Nona Caca,” sapanya sopan, meski sorot matanya tetap muram. “Nyonya Ratna telah berangkat pagi-pagi sekali. Ada urusan penting di luar kota, dan mungkin akan kembali esok hari.”

“Dia pergi?” Caca sedikit terkejut.

Pak Raga mengangguk pelan. “Beliau menitipkan pesan agar kami melayani Anda sebaik mungkin selama beliau pergi.”

Satu sisi hatinya merasa sedikit lega. Tapi sisi lainnya justru lebih waspada—karena itu berarti tak ada siapa pun yang bisa menjelaskan semua keganjilan ini. Dan semakin lama ia berada di rumah itu, semakin ia merasa seperti… tahanan.

“Kalau begitu,” ucap Caca, mencoba terdengar tenang, “bisakah Bapak tunjukkan rumah ini? Aku ingin tahu… tempatku tinggal.”

Pak Raga ragu sejenak. Tapi kemudian memberi isyarat kepada salah satu pelayan muda, yang kemudian dengan senyuman canggung menawarkan diri mengantar Caca berkeliling.

Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong. Setiap sudut rumah ini dipenuhi perabotan antik yang mahal tapi suram. Ada lukisan-lukisan tua dengan wajah-wajah murung, lemari-lemari besar penuh porselen, dan langit-langit tinggi dengan ukiran yang berdebu.

“Ini ruang makan,” ucap pelayan itu pelan. “Yang ini perpustakaan. Di sana ruang tamu utama, tapi jarang dipakai…”

Caca mengangguk pelan. Matanya menyapu ruangan-ruangan yang terlalu hening untuk disebut sebagai rumah. Tak ada foto keluarga. Tak ada bunga. Tak ada suara jam berdetak. Semuanya seperti museum kematian yang mewah.

Dan akhirnya lantai dua… mereka sampai di lorong yang telah menghantuinya semalam.

“Itu...” Caca menunjuk ke ujung lorong, ke arah pintu hitam besar yang tertutup rapat. “Apa itu kamar kosong?”

Pelayan itu langsung menunduk. Tangan yang memegang nampan bergetar sedikit.

"Maaf, Nona… saya… saya tidak diizinkan menjelaskan.”

“Kenapa?” desak Caca. “Aku tinggal di sini sekarang, aku berhak tahu—”

“Saya mohon, Nona…” suara si pelayan nyaris berbisik. “Kalau Nyonya tahu saya bicara terlalu banyak… saya bisa dipecat. Atau lebih buruk…”

Ia menggigit bibir, lalu buru-buru membungkuk dan berjalan cepat meninggalkan lorong itu, meninggalkan Caca sendiri dengan puluhan pertanyaan yang tak terjawab.

Caca berdiri membeku. Matanya menatap pintu hitam yang berdiri tenang di ujung lorong.

Tidak ada suara.

Tidak ada gerakan.

Tapi rasa itu… rasa bahwa sesuatu sedang mengawasinya dari balik pintu itu… semakin kuat.

Dan kini, tanpa ibu tirinya, tanpa Farida, tanpa Nyonya Ratna—tak ada siapa pun yang bisa menjawab pertanyaan yang terus menghantui benaknya. “Siapa yang ada di balik pintu itu?”

Langkah kaki Caca menggema pelan di lantai marmer. Tak bisa ia biarkan pelayan itu pergi begitu saja. Terlalu banyak pertanyaan yang membebani pikirannya, dan tak ada lagi waktu untuk diam.

“Pak Raga!” panggilnya, suaranya lantang namun tetap terdengar putus asa.

Pak Raga yang hampir berbelok di ujung lorong menoleh perlahan. Ada keraguan dalam sorot matanya, tapi Caca terus melangkah hingga berdiri sejajar dengannya.

Langkah mereka kemudian berjalan berdampingan, pelan namun tegang. Tak ada pelayan lain di sekitar mereka, hanya lorong panjang yang sepi dan cahaya matahari yang menyusup samar melalui jendela tinggi berdebu.

“Saya harus tahu,” kata Caca akhirnya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Saya tidak bisa terus diam dan diperlakukan seperti orang asing di rumah ini.”

Pak Raga menunduk. “Nona…”

“Saya sudah dinikahkan, Pak,” lanjut Caca, kini nada suaranya lebih tegas. “Saya dijual... oleh ibu tiri saya. Nyonya Ratna bilang saya sekarang bagian dari keluarga ini. Tapi tidak seorang pun memberi tahu saya apa-apa.”

Ia berhenti, menatap pelayan tua itu dengan tatapan memohon. “Dimana suami saya, Pak Raga?”

Pertanyaan itu melayang di udara seperti kabut yang berat. Pak Raga berhenti berjalan. Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia bicara—pelan dan nyaris tak terdengar.

“Saya… tidak bisa menjawab, Nona.”

“Kenapa?” tanya Caca, langkahnya maju setengah, mendesak. “Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa dia? Apakah dia… ada di balik pintu itu?”

Pak Raga mengangkat wajahnya sedikit, mata tuanya tampak berkaca-kaca. Tapi bukan karena haru—melainkan karena ketakutan.

“Bukan hak saya untuk menjelaskan,” bisiknya. “Semua itu milik Nyonya. Dan beliau sudah memberi peringatan pada kami semua… jangan pernah bicarakan tentang dia, kecuali kalau Nyonya yang memulai lebih dulu.”

“Dia itu manusia, bukan?” bisik Caca, nyaris tidak percaya dengan kata-katanya sendiri. “Bukan... sesuatu yang lain?” Bohong jika Caca tidak merasa takut, rasanya ia ingin melarikan diri dari rumah itu, namun mau kemana? Sementara rumah sebesar itu di bangun di tengah hutan yang jauh dari rumah warga. Benar-benar seperti pengasingan.

Pak Raga menatapnya dalam diam. Tidak menjawab. Tidak membenarkan. Tapi juga tidak menyangkal.

“Saya mohon,” lanjut Caca, lebih lembut kali ini. “Saya hanya ingin tahu siapa suami saya. Saya hanya ingin tahu apa yang sedang saya jalani.”

Pelayan tua itu menutup matanya sejenak, seolah berdoa dalam hati, sebelum akhirnya bicara dengan suara lirih.

“Nona... apa pun yang Anda dengar nanti malam, jangan keluar dari kamar Anda. Jangan mendekati pintu itu. Dan jangan... sekali pun... memanggil namanya.”

“Siapa namanya?” tanya Caca cepat.

Pak Raga segera mundur satu langkah, seolah menyadari dirinya telah mengatakan terlalu banyak. Lalu ia menunduk dalam-dalam.

“Maafkan saya, Nona… saya harus kembali ke dapur.”

Dan dengan langkah cepat yang mengejutkan untuk usianya, Pak Raga meninggalkan Caca sendiri di lorong.

Caca berdiri mematung, jantungnya berdebar keras. Suara napasnya terdengar jelas di antara kesunyian. Ia masih tidak tahu apa-apa—tapi satu hal pasti:

Ada sesuatu yang disembunyikan. Dan kebenaran itu... mungkin lebih mengerikan daripada yang ia sangka.

Malam turun dengan cepat di rumah itu. Langit diselimuti awan kelam, dan angin berdesir di antara dahan-dahan pohon seperti desahan jiwa-jiwa yang terkurung. Lorong-lorong rumah makin gelap, meski lampu gantung masih menyala redup. Tapi cahaya tidak banyak membantu, karena yang mencekam bukan gelapnya… melainkan kesunyian yang tidak wajar.

Caca menggeliat di tempat tidurnya. Sudah lewat tengah malam, tapi rasa kantuk tak juga datang. Jantungnya terus berdegup tak menentu sejak kejadian siang tadi.

Tiba-tiba…

Tok. Tok. Tok.

Tiga ketukan pelan menggema di keheningan.

Caca sontak duduk. Tubuhnya menegang. Suara itu datang dari… lorong. Atau lebih tepatnya… dari pintu hitam di ujung sana.

Ia menahan napas.

Tok. Tok. Tok.

Kali ini lebih keras. Lebih tegas. Dan disusul…

Teriakan.

Jeritan lelaki—serak, dalam, dan penuh luka. Bukan sekadar marah… tapi seperti ada sesuatu yang robek dari dalam dirinya. Jeritan itu menggema, memantul di dinding, mengguncang keheningan malam.

“RAAATNAAA!! KEMBALIKAN DIAAA!!”

Caca mematung. Matanya membelalak. Jeritan itu menyebut nama ibu mertuanya. Tapi siapa “dia” yang dimaksud?

Kemudian… sunyi.

Sesaat, hanya suara jantung Caca sendiri yang terdengar di telinganya. Tapi sebelum ia sempat mengatur napas…

Ssshhkkk...

Suara gesekan. Seperti sesuatu diseret dari balik pintu. Lalu terdengar... ketukan pelan lagi. Bukan dengan tangan. Seolah kuku. Atau benda keras.

Dan kemudian…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 61 Ada campur tangan orang lain

    Butuh waktu berhari-hari bagi Satya untuk bisa meninggalkan rumah sakit. Luka di lengannya memang sudah mengering, tapi kepalanya masih sering terasa berdenyut, terutama setiap kali ia memejamkan mata dan mengingat peristiwa siang itu, bunyi rem yang melengking, teriakan Rio, dan hantaman keras yang membuat tubuhnya terlempar.Dokter mengatakan ia beruntung.Namun bagi Satya, kata beruntung itu terasa hampa. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.Caca mendorong kursi roda pelan-pelan, sementara di belakang mereka Pak Raga dan salah satu asisten rumah tangga membawa koper dan barang pribadi Satya. Langkah kaki mereka menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi.“Antar aku ke kamar Rio dulu,” pinta Satya tiba-tiba.Caca menunduk sedikit. “Baik, Tuan muda.”Nada suaranya lembut, tapi ia sempat menatap pria itu dari samping. Ada gurat lelah di wajah Satya, namun juga sesuatu yang lain, kekhawatiran yang berlapis dengan kecurigaan.“Dan kalian…

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 60 Perasaan Yang Sulit Dijelaskan

    Hampir dua jam lamanya Caca berada di ruang rawat inap ayahnya. Setelah memastikan sang ayah tertidur pulas, ia bangkit dari kursi dan menatap wajah renta itu dengan lembut. “Ayah istirahat ya. Caca harus kembali dulu…” bisiknya lirih, sebelum melangkah keluar dari ruang perawatan dengan langkah pelan. Lorong rumah sakit terasa sepi, hanya suara langkah kaki dan dengung pendingin ruangan yang terdengar samar. Caca menggenggam erat ujung tasnya, pikirannya melayang pada sosok Satya, pria yang kini tak hanya menjadi tuan mudanya, tapi seseorang yang diam-diam mengusik tenang di hatinya. Setibanya di depan kamar Satya, Caca sempat berhenti. Ia menatap sekeliling, tapi tak melihat sosok Pak Raga yang tadi berjaga di depan. Alisnya berkerut heran. Dengan perlahan ia mengetuk pintu. “Permisi… Tuan muda?” suaranya pelan, ragu. Tak ada jawaban. Caca menunggu sejenak, lalu memberanikan diri memutar kenop dan membuka pintu sedikit demi sedikit. Ruangan itu tampak tenang. Caca melang

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 59 Kalian Akan Bercerai

    Suara lembut dari luar kamar memecah keheningan yang canggung di antara keduanya. “Tuan muda Satya, nona Caca…” Caca sontak menoleh, tubuhnya refleks menegakkan posisi, sementara Satya menatap ke arah pintu dengan tatapan tajam dan sedikit gelisah. “Itu… suara Pak Raga,” ucap Caca cepat, berusaha menormalkan napasnya yang masih berantakan. Ia melangkah tergesa ke arah pintu, mencoba menutupi wajahnya yang masih memerah. “Tunggu sebentar, Nyonya… Tuan muda sedang bersiap,” katanya sopan sambil sedikit menyembulkan kepala di celah pintu yang terbuka. Ratna berdiri di luar bersama Pak Raga. Tatapannya sempat turun memperhatikan Caca dengan sorot mata penuh selidik, lalu bergeser ke arah dalam ruangan, meski pintu hanya terbuka sedikit. Ada nada tidak percaya di sana, campuran antara cemas dan curiga. “Baiklah,” ucap Ratna pelan, namun tetap menatap tajam sebelum akhirnya melangkah masuk dan duduk di sisi ranjang Satya. Pandangannya lurus menatap ke arah kamar mandi yang tertu

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 58 Sebuah Ciuman

    Satya berdecak pelan, rahangnya sedikit mengeras. “Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya butuh kamu membantuku ke kamar mandi. Aku bisa mandi sendiri.” Suaranya berat, tapi cukup untuk membuyarkan segala pikiran aneh yang sempat berkecamuk di benak Caca. Gadis itu menunduk cepat, berusaha menutupi rona merah di pipinya. Ia menghela napas panjang, seakan ingin meyakinkan dirinya bahwa permintaan itu benar-benar sederhana. “Kalau begitu… biarkan saya siapkan air mandinya dulu,” ucapnya hati-hati. Satya tidak menjawab, hanya sudut bibirnya yang terangkat samar. Matanya mengikuti punggung Caca yang perlahan menjauh, langkahnya ringan namun jelas penuh keraguan. Untuk sesaat, pria itu terdiam, dadanya bergetar oleh rasa yang tak bisa ia definisikan. "Dia… begitu sederhana, tapi mengapa aku merasa tidak ingin jauh darinya?" Sementara itu, di dalam kamar mandi, Caca menutup pintu dan bersandar sejenak pada dinding. Tangannya refleks menempel di dadanya yang berdebar tak terkendali. “Y

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 57 Pelukan Hangat

    “Kemari!” suara Satya terdengar berat, penuh tekanan. Bukan sebuah permintaan, melainkan perintah. Caca tersentak, jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang semula berada di pangkuan langsung terkepal erat, tapi tak ada jalan untuk menolak. Dengan langkah pelan, ia mendekat ke sisi ranjang. Hatinya berdesir aneh, antara takut dan… hangat. Begitu jaraknya cukup dekat, tangan Satya bergerak. Jemari pria itu, meski masih kaku karena luka, terulur lembut menarik lengan Caca, membuatnya lebih mendekat lagi. Tatapan tajam Satya menusuk, seolah menembus lapisan hati terdalamnya. Kemudian, tanpa peringatan, tangan besar itu mengusap pipi Caca. Sentuhan hangat bercampur dingin, membuat tubuh gadis itu seakan membeku di tempat. “Ini… bekas tamparan?” suara Satya rendah, nyaris bergetar menahan emosi. Sorot matanya mengeras, rahangnya menegang. “Siapa yang menamparmu? Apakah Ratna?” Caca langsung menggeleng cepat, kedua matanya melebar. Ia tak ingin menambah masalah. “Bukan, Tuan Mud

  • SETELAH DIJUAL IBU TIRIKU   Bab 56 Tamparan

    Caca melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit. Suara langkah kakinya bergaung samar di antara aroma obat dan bau antiseptik yang menyengat. Wajahnya masih menyisakan lelah setelah menjaga Satya, tapi detak jantungnya makin kencang tiap kali ia mendekati ruang perawatan ayahnya. Tangannya gemetar saat menekan tombol lift. Sesekali ia mengusap dadanya, berusaha menenangkan diri. Namun hatinya tetap bergejolak, apalagi mengingat percakapan Satya dan Natan barusan—semua itu membuat pikirannya semakin kacau. Begitu lift terbuka, ia keluar tergesa, menyusuri koridor hingga berhenti di depan pintu bercat putih dengan jendela kaca kecil. Dari balik kaca itu, ia melihat sosok ayahnya tengah berjuang meraih gelas air di atas nakas dengan tangan yang gemetar. Tubuh renta itu tampak makin kurus, wajahnya pucat, namun tatapannya tetap berusaha tegar. Di sisi lain, Naumi, adik tirinya, justru duduk santai di kursi, menekuri ponsel mahalnya sambil sesekali menyuapkan cemilan ke mulut. Seak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status