Mentari pagi menerobos perlahan dari balik tirai tebal berwarna keemasan. Namun, bahkan cahaya itu pun tampak enggan menyentuh lantai rumah megah itu. Hawa pagi masih dingin, seperti sisa-sisa malam yang enggan menghilang sepenuhnya.
Caca terbangun dengan mata sembab dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan lorong gelap dan pintu hitam itu masih terus menghantui pikirannya. Begitu membuka pintu kamar, yang ia temukan hanyalah keheningan yang sama. Tidak ada suara aktivitas. Tidak ada tawa. Tidak ada kehidupan. Hanya pelayan-pelayan berpakaian hitam yang bergerak senyap, nyaris tanpa suara, seperti bayangan. Tak lama kemudian, pelayan tua yang menyambutnya semalam—Pak Raga—datang mengetuk pintu kamarnya. “Selamat pagi, Nona Caca,” sapanya sopan, meski sorot matanya tetap muram. “Nyonya Ratna telah berangkat pagi-pagi sekali. Ada urusan penting di luar kota, dan mungkin akan kembali esok hari.” “Dia pergi?” Caca sedikit terkejut. Pak Raga mengangguk pelan. “Beliau menitipkan pesan agar kami melayani Anda sebaik mungkin selama beliau pergi.” Satu sisi hatinya merasa sedikit lega. Tapi sisi lainnya justru lebih waspada—karena itu berarti tak ada siapa pun yang bisa menjelaskan semua keganjilan ini. Dan semakin lama ia berada di rumah itu, semakin ia merasa seperti… tahanan. “Kalau begitu,” ucap Caca, mencoba terdengar tenang, “bisakah Bapak tunjukkan rumah ini? Aku ingin tahu… tempatku tinggal.” Pak Raga ragu sejenak. Tapi kemudian memberi isyarat kepada salah satu pelayan muda, yang kemudian dengan senyuman canggung menawarkan diri mengantar Caca berkeliling. Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong. Setiap sudut rumah ini dipenuhi perabotan antik yang mahal tapi suram. Ada lukisan-lukisan tua dengan wajah-wajah murung, lemari-lemari besar penuh porselen, dan langit-langit tinggi dengan ukiran yang berdebu. “Ini ruang makan,” ucap pelayan itu pelan. “Yang ini perpustakaan. Di sana ruang tamu utama, tapi jarang dipakai…” Caca mengangguk pelan. Matanya menyapu ruangan-ruangan yang terlalu hening untuk disebut sebagai rumah. Tak ada foto keluarga. Tak ada bunga. Tak ada suara jam berdetak. Semuanya seperti museum kematian yang mewah. Dan akhirnya lantai dua… mereka sampai di lorong yang telah menghantuinya semalam. “Itu...” Caca menunjuk ke ujung lorong, ke arah pintu hitam besar yang tertutup rapat. “Apa itu kamar kosong?” Pelayan itu langsung menunduk. Tangan yang memegang nampan bergetar sedikit. "Maaf, Nona… saya… saya tidak diizinkan menjelaskan.” “Kenapa?” desak Caca. “Aku tinggal di sini sekarang, aku berhak tahu—” “Saya mohon, Nona…” suara si pelayan nyaris berbisik. “Kalau Nyonya tahu saya bicara terlalu banyak… saya bisa dipecat. Atau lebih buruk…” Ia menggigit bibir, lalu buru-buru membungkuk dan berjalan cepat meninggalkan lorong itu, meninggalkan Caca sendiri dengan puluhan pertanyaan yang tak terjawab. Caca berdiri membeku. Matanya menatap pintu hitam yang berdiri tenang di ujung lorong. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Tapi rasa itu… rasa bahwa sesuatu sedang mengawasinya dari balik pintu itu… semakin kuat. Dan kini, tanpa ibu tirinya, tanpa Farida, tanpa Nyonya Ratna—tak ada siapa pun yang bisa menjawab pertanyaan yang terus menghantui benaknya. “Siapa yang ada di balik pintu itu?” Langkah kaki Caca menggema pelan di lantai marmer. Tak bisa ia biarkan pelayan itu pergi begitu saja. Terlalu banyak pertanyaan yang membebani pikirannya, dan tak ada lagi waktu untuk diam. “Pak Raga!” panggilnya, suaranya lantang namun tetap terdengar putus asa. Pak Raga yang hampir berbelok di ujung lorong menoleh perlahan. Ada keraguan dalam sorot matanya, tapi Caca terus melangkah hingga berdiri sejajar dengannya. Langkah mereka kemudian berjalan berdampingan, pelan namun tegang. Tak ada pelayan lain di sekitar mereka, hanya lorong panjang yang sepi dan cahaya matahari yang menyusup samar melalui jendela tinggi berdebu. “Saya harus tahu,” kata Caca akhirnya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Saya tidak bisa terus diam dan diperlakukan seperti orang asing di rumah ini.” Pak Raga menunduk. “Nona…” “Saya sudah dinikahkan, Pak,” lanjut Caca, kini nada suaranya lebih tegas. “Saya dijual... oleh ibu tiri saya. Nyonya Ratna bilang saya sekarang bagian dari keluarga ini. Tapi tidak seorang pun memberi tahu saya apa-apa.” Ia berhenti, menatap pelayan tua itu dengan tatapan memohon. “Dimana suami saya, Pak Raga?” Pertanyaan itu melayang di udara seperti kabut yang berat. Pak Raga berhenti berjalan. Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia bicara—pelan dan nyaris tak terdengar. “Saya… tidak bisa menjawab, Nona.” “Kenapa?” tanya Caca, langkahnya maju setengah, mendesak. “Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa dia? Apakah dia… ada di balik pintu itu?” Pak Raga mengangkat wajahnya sedikit, mata tuanya tampak berkaca-kaca. Tapi bukan karena haru—melainkan karena ketakutan. “Bukan hak saya untuk menjelaskan,” bisiknya. “Semua itu milik Nyonya. Dan beliau sudah memberi peringatan pada kami semua… jangan pernah bicarakan tentang dia, kecuali kalau Nyonya yang memulai lebih dulu.” “Dia itu manusia, bukan?” bisik Caca, nyaris tidak percaya dengan kata-katanya sendiri. “Bukan... sesuatu yang lain?” Bohong jika Caca tidak merasa takut, rasanya ia ingin melarikan diri dari rumah itu, namun mau kemana? Sementara rumah sebesar itu di bangun di tengah hutan yang jauh dari rumah warga. Benar-benar seperti pengasingan. Pak Raga menatapnya dalam diam. Tidak menjawab. Tidak membenarkan. Tapi juga tidak menyangkal. “Saya mohon,” lanjut Caca, lebih lembut kali ini. “Saya hanya ingin tahu siapa suami saya. Saya hanya ingin tahu apa yang sedang saya jalani.” Pelayan tua itu menutup matanya sejenak, seolah berdoa dalam hati, sebelum akhirnya bicara dengan suara lirih. “Nona... apa pun yang Anda dengar nanti malam, jangan keluar dari kamar Anda. Jangan mendekati pintu itu. Dan jangan... sekali pun... memanggil namanya.” “Siapa namanya?” tanya Caca cepat. Pak Raga segera mundur satu langkah, seolah menyadari dirinya telah mengatakan terlalu banyak. Lalu ia menunduk dalam-dalam. “Maafkan saya, Nona… saya harus kembali ke dapur.” Dan dengan langkah cepat yang mengejutkan untuk usianya, Pak Raga meninggalkan Caca sendiri di lorong. Caca berdiri mematung, jantungnya berdebar keras. Suara napasnya terdengar jelas di antara kesunyian. Ia masih tidak tahu apa-apa—tapi satu hal pasti: Ada sesuatu yang disembunyikan. Dan kebenaran itu... mungkin lebih mengerikan daripada yang ia sangka. Malam turun dengan cepat di rumah itu. Langit diselimuti awan kelam, dan angin berdesir di antara dahan-dahan pohon seperti desahan jiwa-jiwa yang terkurung. Lorong-lorong rumah makin gelap, meski lampu gantung masih menyala redup. Tapi cahaya tidak banyak membantu, karena yang mencekam bukan gelapnya… melainkan kesunyian yang tidak wajar. Caca menggeliat di tempat tidurnya. Sudah lewat tengah malam, tapi rasa kantuk tak juga datang. Jantungnya terus berdegup tak menentu sejak kejadian siang tadi. Tiba-tiba… Tok. Tok. Tok. Tiga ketukan pelan menggema di keheningan. Caca sontak duduk. Tubuhnya menegang. Suara itu datang dari… lorong. Atau lebih tepatnya… dari pintu hitam di ujung sana. Ia menahan napas. Tok. Tok. Tok. Kali ini lebih keras. Lebih tegas. Dan disusul… Teriakan. Jeritan lelaki—serak, dalam, dan penuh luka. Bukan sekadar marah… tapi seperti ada sesuatu yang robek dari dalam dirinya. Jeritan itu menggema, memantul di dinding, mengguncang keheningan malam. “RAAATNAAA!! KEMBALIKAN DIAAA!!” Caca mematung. Matanya membelalak. Jeritan itu menyebut nama ibu mertuanya. Tapi siapa “dia” yang dimaksud? Kemudian… sunyi. Sesaat, hanya suara jantung Caca sendiri yang terdengar di telinganya. Tapi sebelum ia sempat mengatur napas… Ssshhkkk... Suara gesekan. Seperti sesuatu diseret dari balik pintu. Lalu terdengar... ketukan pelan lagi. Bukan dengan tangan. Seolah kuku. Atau benda keras. Dan kemudian…Perlahan, Caca membuka matanya. Pandangannya kabur. Langit-langit kamar yang familiar terlihat menggantung di atasnya, tapi terasa asing. Ruangan itu sepi, terlalu sepi. Hanya suara detak jarum jam di sudut dinding yang terdengar, nyaring, menusuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana ia berada. Hidungnya mencium aroma lavender tipis yang biasa dipakai di kamarnya, tapi kepalanya... terasa berat, nyeri berdenyut di sisi kanan. Tangannya meraba pelan bagian kepala yang dibalut perban. Ada rasa perih begitu disentuh. "Apa yang... terjadi...?" Caca mencoba duduk. Gerakan kecil saja membuat tubuhnya seperti diseret kembali oleh gravitasi, tapi ia memaksa. Napasnya memburu. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Perlahan, potongan-potongan ingatan itu mulai kembali. Pintu besar yang terbuka… Sosok tinggi di ujung ruangan gelap… Langkah berat mendekat… Aroma busuk menusuk hidung… Dan suara itu. "Apakah kau ingin mati seperti dia?" Caca tertegun. Kedua mat
Langkah mereka menyusuri lorong terasa lambat, berat, seperti dunia ikut menahan napas. Caca berjalan di belakang Raga, tangannya mencengkeram kain bajunya sendiri. Tapi kali ini, tidak ada gemetar seperti sebelumnya. Wajahnya masih pucat, tapi tatapannya… lebih tenang. Penjelasan Raga tadi membuat sesuatu dalam dirinya berubah. Bagaimanapun ia harus mencoba. Bukan karena kisah cinta masa lalu yang begitu tragis, bukan pula karena kemarahan atas ketidakadilan Ratna. Tapi karena satu harapan, yaitu Ayahnya. "Kalau aku bisa masuk bukan sebagai perawat, bukan sebagai orang asing… tapi sebagai seseorang yang benar-benar ingin mengenalnya… mungkin ia tidak akan menolakku." Caca menghela napas panjang. Lalu berdiri tepat di samping Raga, di depan pintu tua berukir gelap yang sudah beberapa kali hanya ia pandangi dari jauh. Kini, mereka berdiri di sana. Tepat di ambang batas dua dunia. Raga masih memegang kunci di tangannya, tapi belum memutar. Ia menatap Caca dalam-dalam. M
Sementara itu di kamarnya, Caca menggenggam tangannya sendiri. Ia menatap pintu. Suara langkah pelayan sudah mendekat. Hari itu telah tiba. Langkah pelan Raga menggema di lorong panjang saat ia mendekati kamar Caca. Lelaki tua itu membawa nampan berisi kunci dan secarik kain putih kecil. Tapi di balik tatapan tegasnya yang biasa, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kesedihan. Caca menyambutnya dengan tubuh kaku. Sorot matanya sudah pasrah, tapi raut wajahnya tetap lembut, tetap… polos. Raga berdiri sejenak di depan gadis itu. Matanya menatap wajah Caca lama—wajah muda yang tak seharusnya terbebani ketakutan sebesar ini. “Kau terlihat seperti anak perempuanku,” gumamnya pelan. Caca mengerutkan kening. “Pak Raga…” Lelaki tua itu menghela napas panjang, lalu menyerahkan kunci dengan dua tangan, penuh hormat, seperti menyerahkan benda yang memiliki kekuatan mengerikan. “Aku tidak bisa menghentikan ini, Nona. Tapi aku… aku juga tak tega membiarkan kau masuk tanpa tahu sedikit pun sia
Malam itu, Caca duduk membeku di kamarnya. Di hadapannya terhampar secarik kertas kosong dan pena, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menulis. Ia memeluk lututnya di sudut ruangan, menatap bayangan pintu yang terbuka sedikit... mengarah ke lorong panjang dan sunyi. Lorong itu... kini menjadi jalur menuju neraka. "Bagaimana aku bisa menyembuhkannya? Bagaimana mungkin aku bisa membantu seseorang yang bahkan tak Kukenal?"Suara-suara masih terdengar dari balik kamar Ardian. Kadang ketukan, kadang geraman, kadang suara-suara seperti... rintihan. Tapi yang paling membuatnya takut adalah suara isakan lelaki, pelan dan terputus-putus seperti anak kecil yang tersesat.Dan itu membuat semuanya jauh lebih menyakitkan.Karena di balik semua kegilaan dan kegelapan itu, Caca tahu—ada seseorang yang berstatus sebagai suaminya.“Bahkan dokter saja tidak sanggup,” gumam Caca pada dirinya sendiri. “Lalu aku… hanya gadis yang dijual oleh ibu tiriku… bisa apa?”Ia menutup wajah dengan kedua tangan. B
Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer seperti detak waktu yang dingin dan pasti. Setelah tiga hari menghilang tanpa kabar, Nyonya Ratna akhirnya kembali.Sore itu, awan menggantung berat di langit, dan suasana rumah besar itu jauh lebih mencekam daripada sebelumnya. Pelayan-pelayan bergerak lebih cepat, menunduk lebih dalam, dan senyap lebih dalam. Semuanya tahu—Ratna telah datang, dan bersama dirinya... datang pula ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Seorang pelayan mengetuk kamar Caca dengan gugup.“Nona… Nyonya memanggil Anda ke ruang kerjanya.”Caca segera berganti pakaian dan berjalan perlahan menyusuri lorong. Setiap langkah terasa berat. Ada firasat buruk yang sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya. Suara-suara dari balik pintu gelap masih menghantui telinganya.Ia tiba di depan sebuah ruangan berlapis kayu mahoni. Pintu ruang kerja terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Ratna duduk anggun di belakang meja besar, menatap sebuah dokumen dengan wajah tenang namun tajam sep
Mentari pagi menerobos perlahan dari balik tirai tebal berwarna keemasan. Namun, bahkan cahaya itu pun tampak enggan menyentuh lantai rumah megah itu. Hawa pagi masih dingin, seperti sisa-sisa malam yang enggan menghilang sepenuhnya.Caca terbangun dengan mata sembab dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan lorong gelap dan pintu hitam itu masih terus menghantui pikirannya. Begitu membuka pintu kamar, yang ia temukan hanyalah keheningan yang sama.Tidak ada suara aktivitas. Tidak ada tawa. Tidak ada kehidupan.Hanya pelayan-pelayan berpakaian hitam yang bergerak senyap, nyaris tanpa suara, seperti bayangan.Tak lama kemudian, pelayan tua yang menyambutnya semalam—Pak Raga—datang mengetuk pintu kamarnya.“Selamat pagi, Nona Caca,” sapanya sopan, meski sorot matanya tetap muram. “Nyonya Ratna telah berangkat pagi-pagi sekali. Ada urusan penting di luar kota, dan mungkin akan kembali esok hari.”“Dia pergi?” Caca sedikit terkejut.Pak Raga mengangguk pelan. “Beliau