Share

BERTEMU RAMA

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2025-12-09 10:32:38

"Gaji awal memang lima juta, tapi kamu tenang saja. Kalau kamu bisa sabar dan betah apalagi bisa mengajarkan hal-hal baik pada anak itu, saya pasti kasih tambahan atau bonus lebih. Soal itu kamu tak perlu risau. Entah mengapa saya merasa cocok dan yakin kalau kamu bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik, Riana. Saya yakin kamu anak yang penyayang, tulus dan baik hati, makanya saya menawarkan pekerjaan ini. Saya percaya dengan ketulusan yang kamu punya pasti bisa menaklukkan Rama. Sudah belasan asisten yang nggak betah urus dia, semoga kali ini kamu betah ya, Ri. Maaf kalau saya kasih tahu buruk-buruknya dulu. Setidaknya biar kamu nggak kaget saat bertemu dia nanti." Aku mengangguk lagi lalu tersenyum tipis saat tak sengaja bersirobok dengan juragan Ginanjar.

"Ohya, ini saya kasih gaji kamu di depan supaya makin semangat bekerjanya. Bonus sepuluh lembar karena kamu sudah tepat waktu. Anggap saja secuil tanda terima kasih karena kamu sudah menolong saya kemarin malam." Juragan Ginanjar kembali menjelaskan sembari menyerahkan amplop coklat itu untukku. Sementara sepuluh lembar uang seratus ribuan itu sengaja dia taruh di atasnya.

"Tapi juragan, saya 'kan belum kerja. Masa udah dibayar dan dikasih bonus pula. Soal kemarin, saya ikhlas melakukannya, Juragan. Nggak minta balasan apa-apa," protesku lirih. Juragan Ginanjar kembali tersenyum.

"Nggak apa-apa, Ri. Saya pun tahu kamu ikhlas menolong, tapi saya juga ikhlas memberi kamu bonus. Yg di amplop itu kan memang hak kamu. Jadi, tak perlu merasa tak enak begitu. Saya sudah suruh orang untuk cari tahu siapa kamu. InsyaAllah uang itu bisa kamu gunakan lebih dulu mungkin untuk tambah modal usaha bapak kamu atau yang lainnya." Aku semakin terharu dengan kebaikan lelaki di hadapanku itu.

"Terima kasih banyak, Juragan. Saya ambil bonusnya dulu, soal gaji biar saya ambil setelah menyelesaikan kewajiban ya, Juragan. Tiap akhir bulan atau awal bulan depan saja supaya saya tak merasa punya hutang." Juragan Ginanjar kembali menghela napas lalu menatapku dengan pandangan berbeda. Entah karena apa.

"Kamu anak yang polos dan jujur. Saya suka dengan cara berpikirmu itu, Ri. Semoga Rama pun cocok denganmu dan nggak neko-neko lagi."

"Semoga ya, Juragan. Kalau begitu, apa saya bisa bertemu dengan Den Rama sekarang?" tanyaku kemudian sebab dari tadi tak kudengar suara anak di rumah ini. Apa iya dia masih tidur jam segini?

"Jangan panggil Den. Dia nggak suka. Panggil saja Mas Rama." Aku pun kembali mengangguk.

"Rama baru keluar, katanya pengin beli soto di warung langganan. Sebentar lagi paling pulang." Lagi-lagi aku mengangguk.

Dalam hati harap-harap cemas bagaimana kalau nanti tiba-tiba anak itu menolakku? Duh, jurus apa yang akan kugunakan untuk merayunya? Apa aku ajak dia menggambar saja? Atau mewarnai? Atau--

Deru mobil di luar rumah membuatku semakin berdebar. Jurus-jurus andalan untuk menaklukkan kenakalan anak yang tadi sempat kususun pun mendadak buyar.

Tak selang lama suara anak lelaki keluar dari mobil.

Aku yakin jika anak itulah yang bernama Rama. Sepertinya memang cukup aktif. Anak itu lari ke sana sini tanpa kendali. Di belakangnya ada seorang wanita dengan gamis panjangnya, dia hanya geleng-geleng kepala melihat aksi anak lelaki di hadapannya yang super aktif dan lincah.

Wanita itu pun tersenyum ke arahku lalu mencium tangan Juragan Ginanjar. Aku tahu itu adalah Bu Farida yang tak lain adalah istri sang juragan. Biasanya hanya melihat dari kejauhan, kini aku bisa melihatnya secara langsung. Begitu anggun dan cantik. Cocok sebagai pendamping juragan yang memang masih terlihat gagah dan tampan sekalipun sudah berumur.

Setelah ibu Farida dan anak lelaki tadi masuk, muncul seorang lelaki di belakangnya. Wajahnya tampan dengan jambang tipis, hidung bangir dan sedikit lesung pipit.

"Eh, ada tamu, Pa," ucapnya pendek saat tak sengaja bersirobok denganku. Aku pun tersenyum sembari mengangguk pelan sebagai tanda penghormatan.

"Iya, Nif. Ini Riana yang akan jadi asisten Rama." Juragan Ginanjar menjelaskan. Laki-laki itu pun manggut-manggut.

"Semoga betah menghadapi sikap Rama ya, Mbak. Asisten sebelumnya semua angkat tangan dalam hitungan hari saja." Laki-laki bernama Hanif itu pun terkekeh.

"Nanti kalau dia keterlaluan, bilang sama saya ya, Ri. Kalau masih dalam batas normal dan kamu kuat menjalani pekerjaan ini, lanjut saja. Saya yakin kamu sabar dan telaten menghadapi dia. Sebenarnya dia nggak seurakan itu kok, dia baik hati dan lembut seperti mamanya dulu asalkan kamu bisa mengambil hatinya." Entah mengapa, hati mulai tak enak saat mendengarkan penjelasan Mas Hanif dan juragan Ginanjar kali ini.

"Maaf juragan, bisa ngobrol dengan Nak Rama?" tanyaku kemudian. Tak ingin disesaki beragam pertanyaan, aku ingin langsung mengenal anak itu saja.

"Nak Rama?" Lirih Bu Farida sembari menoleh ke kanan dan kiri di mana anak dan suaminya duduk. Mereka bertiga pun saling tatap lalu tersenyum tipis.

"Bukannya itu Nak Rama ya, Juragan? Anak lelaki yang akan jadi bos kecil saya?" Ketiga orang di hadapanku justru terkekeh mendengar pertanyaan yang kuajukan.

"Ya Allah, Pa. Gimana sih kamu, belum jelasin siapa Rama itu?" Bu Farida kembali protes setelah tawa mereka mereda.

"Maafkan suami saya, Ri. Sebenarnya bukan anak kecil itu yang harus kamu asuh. Kalau dia sudah adap pengasuhnya sendiri. Hanya saja saat ini masih cuti pulang kampung, sementara ibu yang asuh sendiri." Penjelasan Bu Farida semakin membuatku bingung. Kalau bukan anak itu, lantas laki-laki mana yang bakal jadi bosku?

Di tengah kebingunganku, terdengar deru mobil berhenti di garasi. Tak lama kemudian suara derap langkah kaki mulai mendekati pintu. Tanpa salam, laki-laki itu masuk begitu saja. Penampilannya jauh berbeda dengan Mas Hanif yang kalem, berwibawa dan tenang.

Laki-laki itu justru sebaliknya. Tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Jambangnya lebat, tapi dicukur cukup rapi, rambut setengah gondrong, berhidung bangir dan beralis tebal dengan bahu yang lebar. Benar-benar kriteria cowok macho yang diidamkan banyak perempuan, andai dia tak seangkuh itu.

"Nah, itu dia Rama," ucap juragan Ginanjar membuatku mendelik seketika.

"I-- itu Mas Ramanya, Juragan?" tanyaku terbata sembari menunjuk laki-laki itu yang tak menoleh sedikitpun. Dia melenggang begitu saja tanpa peduli ke arah kami yang masih membicarakannya.

"Iya, Ri. Itu Rama. Anak sulung saya dengan istri kedua yang telah tiada. Ibu Farida ini adalah istri pertama saya."

Jawaban juragan Ginanjar benar-benar membuatku tersedak seketika. Pantas saja semua asistennya nggak ada yang betah. Sepertinya yang mereka hadapi bukan manusia biasa, tapi setengah monster.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dinar kasih 1205
Riana pikir anak balita yang di asuh , nggak tahunya balita kadaluarsa ...... semangat riana demi keluargamu kamu harus bisa menakhlukan balita kadaluarsa ......
goodnovel comment avatar
Dinar kasih 1205
ngakak aku lihat riana shack sheck shock .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   KASAR (1)

    Bakda shalat subuh, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Mas Rama. Barang kali dia sudah nggak sejutek kemarin atau mungkin mau kubuatkan kopi baru. Kulihat dua cangkir kopi yang kubuat semalam masih utuh tak tersentuh. Tak tahu apa alasannya dia membiarkan kopi itu dingin. Mungkin saja dia lupa lalu malas meminumnya saat kopi mulai dingin. Iya kan?Tok ... tok ... tok "Mas Rama, sudah shalat subuh belum? Apa mau saya bikinkan kopi lagi?" tanyaku lirih sembari mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara dari dalam kamar. Namun, sepertinya kamarnya dibuat kedap suara sebab nggak terdengar apapun dari luar. Aku bergeming beberapa saat di sana sembari menunggu sosok itu keluar atau paling tidak membalas pertanyaanku. Kutunggu beberapa menit benar-benar tak ada yang menyahut. Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang.Tak menyerah, aku kembali mengetuk pintu. Aku tunggu lagi sembari tetap mendekatkan telinga ke daun pintu. Untuk ketukan ketiga

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   KENA 'PELET'

    Suara berisik di area dapur membuatku buru-buru menyambar hijab di tepi ranjang lalu gegas mencari sumbernya. Nggak ada apapun di dapur, hanya saja rawon yang kusiapkan untuk Mas Rama di atas kulkas entah mengapa bisa tumpah ke lantai, padahal jelas tadi kuletakkan di tengah-tengah nggak mungkin tumpah kalau nggak ada yang nyenggol. "Ngapain kamu celingukan di situ?" Lagi, suara Mas Rama cukup mengagetkanku. Entah dari mana dia tiba-tiba muncul di belakang. "Nyari kucing, Mas. Rawonnya ditumpahin kucing," balasku tanpa menoleh. "Oh, kucing doyan rawon juga ternyata." "Iya, kucing milenial doyan rawon, steak, soto sama seblak." Aku mendongak, tak sengaja bersirobok dengannya yang berdiri tiga langkah saja dari tempatku jongkok. Mendadak pengin senyum, tapi kutahan. Bagaimana tidak? Kulihat bibirnya yang menghitam itu sedikit mengkilat bekas minyak. Kaos coklatnya kena cipratan rawon, aku yakin itu. Hanya saja dia nggak sadar kalau ada sisa rawon di kaosnya. "Ngapain senyum-senyum

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   MANEKIN

    "Maaf, Mas. Aku diminta juragan Ginanjar bersihin kamar Mas Rama," ujarku pada lelaki yang baru keluar kamar itu. Sedari tadi menunggu, akhirnya dia keluar juga dari persembunyian. Laki-laki itu melirikku sekilas lalu mendengkus kesal. "Nggak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri.""Pakaian kotornya, Mas. Biar aku cuci dan setrika." "Nggak, aku bisa bawa ke laundry," ujarnya lagi sembari melangkah menjauh. "Mas, makan dulu kalau gitu. Aku masakin rawon sama perkedel." Laki-laki itu menghentikan langkah tepat di tengah tangga. Tanpa menoleh, kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai bawah. Ya Allah, benar-benar monster ajaib. Dingin dan kaku seperti manekin. Aku harus cari cara supaya dia mau menerima bantuanku, kalau terus begini, aku nggak mungkin makan gaji buta di sini. "Ngapain, Ri?" Pertanyaan Mas Hanif dari tangga menghenyakkanku. "Nggak, Mas. Cuma heran saja itu orang kenapa kaku banget kaya manekin hidup." Mas Hanif terbahak mendengar ucapanku. "Tapi kamu sudah ter

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   PUJIAN

    "Orang-orang udik sepertimu biasa main pelet kan? Penampilan tertutup tak menjamin bagus agamanya. Aku nggak sebodoh yang kamu kira!""Astaghfirullah, lemesnya itu mulut," pekikku lirih saat mendengar tuduhan lelaki itu. "Ngomong apa kamu?!" sentak laki-laki itu lagi."Mulutnya lemes, eh." Spontan aku menutup mulut saat keceplosan bicara. Perlahan mendongak lalu buru-buru menunduk saat tak sengaja beradu pandang dengan kedua matanya yang nyalang. Tak membalas ucapanku, monster tampan itu melangkah kembali ke lantai atas begitu saja. Kuhela napas panjang seraya kembali beristighfar. Ya Allah, makhluk seperti apa yang kuhadapi saat ini. Semoga saja dia bisa takluk denganku nanti. Nggak boleh nyerah. Pokoknya harus tetap semangat dan yakin jika hatinya akan luluh. Yakin, yakin, yakin hatinya bukan terbuat dari batu. "Neng ... kamu nggak apa-apa kan?" Bi Lilis menggoyang lenganku pelan. Gegas kubuka mata lalu menatapnya yang sudah berdiri persis di depanku. "Eh, nggak apa-apa, Bi." A

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   RENCANA RIANA

    "Dia Riana dari kampung sebelah, Ram. InsyaAllah anak baik-baik. Semoga kamu cocok." Ibu Farida dengan sabar mengulang perkenalannya. Namun, laki-laki itu masih bergeming dengan tatapan sinisnya. "Penjilat!" tuduhnya padaku. "Jaga mulut anda ya, Mas. Saya kerja di sini bukan sengaja melamar, tapi juragan Ginanjar sendiri yang meminta. Memangnya saya jilat apa kok bisa-bisanya disebut penjilat." Cerocosku kesal saat mendengar kata menjijikkan itu. Ibu Farida mengusap lenganku pelan sembari mengedipkan kedua mata teduhnya. Sentuhan lembutnya membuatku tersadar seketika. Betapa bod*hnya aku sampai ikut tersulut emosi saat mendengar tuduhan tak benar itu padaku. "Seperti itu asisten yang baik? Belum apa-apa main bentak! Dia asisten apa preman?!" sindir laki-laki itu lagi sembari menutup pintu dengan kasar. Ingin rasanya mengumpat, tapi lagi-lagi aku malu jika sebrutal itu. Lantas apa bedanya aku dengan monster itu kalau sama-sama kasar. Ibu Farida yang sebegitu tak dihormatinya sebag

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   PERKENALAN

    Aku semakin tercekat saat melihat laki-laki itu berhenti di tengah tangga lalu membalikkan badan sebentar menatapku. Tanpa senyum, dia kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. "Dia memang begitu, terlalu kaku, Ri. Kamu nggak mundur saat ini juga kan?" Juragan Ginanjar menatapku beberapa saat setelah menoleh ke arah anak sulungnya yang telah menghilang di ujung tangga. "Ng-- nggak dong, Juragan. Saya akan tetap bekerja seperti janji saya tadi." Juragan Ginanjar dan istrinya pun saling tatap lalu tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Biar ibu yang antar kamu ke kamar. Ohya, kamar kamu bersebelahan dengan kamar Rama di lantai atas. Di sana juga ada kamar Latifa dan Razqa. Semoga betah ya, Ri. Selamat bekerja." Aku kembali mengangguk. "Ohya satu lagi, tiap minggu kamu boleh cuti. Terserah mau pulang atau sekadar jalan di luar." Kuhela napas lega saat mendengar kata cuti, setidaknya aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali untuk melepas kangen. Meski emak atau bapak bisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status