Share

BONUS

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2025-12-09 10:30:56

Kulihat punggung bapak yang mulai menjauh. Doa dan harapan kedua orang tuaku semakin membuatku semangat menjalani pekerjaan ini. Aku yakin ridho kedua orang tua adalah ridhoNya. Semoga aku lebih sabar, telaten dan fokus, seperti pesan Emak tadi pagi.

"Mari saya antar masuk, Mbak. Bapak sudah menunggu," ucapan Pak Agus sedikit mengagetkanku. Aku pun tersenyum tipis lalu mengangguk.

Kuikuti langkah Pak Agus menuju pintu utama yang lebar. Mungkin lebarnya sama seperti lebar kamarku. Benar-benar megah dan mewah rumah ini. Aku benar-benar tak menyangka akan bekerja di rumah sebesar ini. Mobil berderet di garasi yang luas, sudah mirip dealer mobil. Motor pun berjejer di sana. Bagus, bersih, cling dan terlihat baru.

Mendadak aku teringat dengan motor butut bapak. Ya Allah, semoga Pak Ginanjar menepati janjinya untuk memberiku gaji tinggi jika aku bisa sabar menghadapi anak lelakinya, dengan begitu aku bisa segera mengganti motor butut bapak itu dengan motor baru yang layak pakai.

Kasihan bapak jika harus ke pasar atau jualan keliling dengan motornya yang sering mogok di tengah jalan. Pokoknya aku akan membahagiakan bapak dan Emak juga Liana dengan hasil kerjaku nanti.

"Silakan, Mbak." Pak Agus mengajakku ke ruang tengah yang sangat lebar. Berisi barang-barang antik yang kutaksir harganya puluhan juta.

Foto keluarga terpajang di ruang itu. Sedikit mengernyit sebab nggak ada anak kecil di foto itu. Apa mungkin kemarin aku salah dengar ya? Mungkin yang beliau maksud cucu sulung bukan anak sulung. Ah, entah.

"Ibu sedang mengantar Mbak Latifa ke kampus. Mungkin sebentar lagi pulang, Mbak. Kalau bapak masih di toilet. Tunggu di sini sebentar ya?" Pak Agus mempersilakanku duduk di sofa yang begitu empuk. Jauh lebih empuk sofa Budhe Umayah yang hanya sesekali kududuki itu.

"Duduk saja di lantai. Bajumu kotor, kalau duduk di sini nanti ikut kotor juga sofanya. Mana sofa mahal, susah bersihinnya." Kata-kata yang diucapkan budhe Umayah waktu itu kembali terngiang di telinga. Begitu tajam dan menusuk.

"Mbak Riana, maaf sudah lama menunggu ya?" Juragan Ginanjar mendekat dengan senyum lebarnya. Aku sedikit membungkukkan badan saat juragan sampai di samping sofa lalu duduk di atasnya.

"Baru saja, Juragan. Saya yang justru minta maaf karena kata Pak Agus, juragan sudah menunggu dari tadi," balasku kemudian. Juragan Ginanjar sedikit terkekeh lalu memegangi perutnya yang kurasa masih terluka.

"Agus bisa saja, Ri. Saya duduk di sini karena memang nggak ada kerjaan. Masih disuruh istirahat pasca tragedi malam itu. Jadi, bukan semata-mata menunggu kamu. Lihat itu masih jam enam lebih dan kamu tepat waktu. Saya suka itu," ujar juragan lagi.

"Syukurlah kalau begitu, Juragan."

"Langsung saja ya, Ri. Soalnya nanti ada tamu yang datang, jadi saya jelaskan saja apa pekerjaan kamu di sini." Aku kembali mengangguk lalu fokus mendengarkan uraian juragan Ginanjar.

Tak lama kemudian tiga perempuan datang dan berdiri berdampingan tak jauh dari tempat dudukku. Mereka sama-sama tersenyum sembari mengangguk pelan saat tak sengaja bersirobok denganku. Sepertinya semua ramah dan baik. Semoga saja mereka semakin membuatku betah bekerja di sini.

"Jadi, di rumah ini sudah ada tiga asisten rumah tangga, Ri. Yang paling tua itu namanya Bi Lilis. Tugasnya masak dan beberes area dapur. Yang sebelahnya itu Mbak Sri, tugasnya mencuci, menyetrika baju dan bantu Bi Lilis membersihkan lantai satu. Sementara Yuni membersihkan lantai atas. Untuk tukang kebun ada sendiri. Beliau datang seminggu sekali. Nah, untuk tugas kamu hanya mengurus soal Rama saja. Soal baju-bajunya, kamarnya, makan minumnya dan satu lagi kamu juga harus mengawasi dia supaya nggak neko-neko, gimana?" Juragan Ginanjar memberiku waktu untuk berpikir.

Kurasa bukan perkara sulit mengurus satu anak saja. Meski juragan sempat bilang kalau anak itu luar biasa bandel, tapi tak apa. Aku akan berusaha menaklukkannya. Aku pasti bisa. Semua ini kulakukan bukan semata-mata untuk diriku sendiri, tapi untuk emak, bapak dan Liana juga.

"Tenang saja, Ri. Saya akan gaji kamu lima juta sebulan kalau kamu sanggup menjalankan pekerjaan ini dan sabar menghadapi Rama. Bagaimana?" tawar Juragan Ginanjar semakin membuatku berbinar.

Lima juta? Benarkah apa yang kudengar ini? Sungguh, aku tak menyangka akan mendapatkan gaji sebesar itu dalam sebulan. Sampai usiaku delapan belas tahun ini, tak pernah sekalipun kulihat uang sebanyak itu. Jangankan lima juta, lima ratus ribu saja belum pernah.

Sejak lulus sekolah tiga bulan lalu, aku hanya bekerja serabutan saat ada yang butuh tenaga tambahan. Aku nggak mau melamar kerja di toko budhe Umayah, yang ada hanya akan mendapatkan makiannya lagi dan lagi.

Cukup enam tahun bantu-bantu di sana tanpa upah lebih sebab budhe Umayah memang sudah mengurus sekolahku dan Liana. Sekarang setelah lulus, aku merasa sangat bebas dan nggak mau lagi berurusan dengan toko itu. Liana pun kularang ikut bantu-bantu, biar aku saja yang gantian mengurus sekolahnya.

"Gimana, Ri? Apa masih kurang?" Pertanyaan juragan Ginanjar membuatku sedikit terkejut. Gegas menetralkan perasaan lalu mengiyakan tawarannya. Kulihat ke samping, tiga perempuan yang tadi diperkenalkan juragan Ginanjar sebagai asisten rumah tangganya pun sudah pergi dan aku tak menyadarinya.

Lima juta sudah jauh lebih dari cukup buatku yang baru pemula ini. Gaji di toko atau warung makan saja nggak sebanyak itu. Aku yakin Budhe Umayah akan shock saat tahu gajiku sebanyak itu. Aku yang dia bilang tak mungkin mendapatkan gaji tinggi karena cuma lulus SMA, ternyata punya gaji yang melebihi gaji karyawan di tokonya.

"Sudah sangat cukup, Juragan. InsyaAllah saya nggak akan mengecewakan dan berusaha melakukan pekerjaan ini sebaik mungkin," ujarku kemudian. Juragan Ginanjar kembali manggut-manggut lalu tersenyum lebar ke arahku.

Kuhela napas panjang, bapak dan Emak pasti juga akan kaget saat tahu gajiku sebanyak itu. Aku janji akan menggunakan gajiku nanti sebaik mungkin. Yang penting untuk mereka agar bahagia sebab kebahagiaan mereka adalah salah satu kunci bahagiaku juga.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Winwin Tri Winwin
keren ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   KASAR (1)

    Bakda shalat subuh, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Mas Rama. Barang kali dia sudah nggak sejutek kemarin atau mungkin mau kubuatkan kopi baru. Kulihat dua cangkir kopi yang kubuat semalam masih utuh tak tersentuh. Tak tahu apa alasannya dia membiarkan kopi itu dingin. Mungkin saja dia lupa lalu malas meminumnya saat kopi mulai dingin. Iya kan?Tok ... tok ... tok "Mas Rama, sudah shalat subuh belum? Apa mau saya bikinkan kopi lagi?" tanyaku lirih sembari mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara dari dalam kamar. Namun, sepertinya kamarnya dibuat kedap suara sebab nggak terdengar apapun dari luar. Aku bergeming beberapa saat di sana sembari menunggu sosok itu keluar atau paling tidak membalas pertanyaanku. Kutunggu beberapa menit benar-benar tak ada yang menyahut. Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang.Tak menyerah, aku kembali mengetuk pintu. Aku tunggu lagi sembari tetap mendekatkan telinga ke daun pintu. Untuk ketukan ketiga

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   KENA 'PELET'

    Suara berisik di area dapur membuatku buru-buru menyambar hijab di tepi ranjang lalu gegas mencari sumbernya. Nggak ada apapun di dapur, hanya saja rawon yang kusiapkan untuk Mas Rama di atas kulkas entah mengapa bisa tumpah ke lantai, padahal jelas tadi kuletakkan di tengah-tengah nggak mungkin tumpah kalau nggak ada yang nyenggol. "Ngapain kamu celingukan di situ?" Lagi, suara Mas Rama cukup mengagetkanku. Entah dari mana dia tiba-tiba muncul di belakang. "Nyari kucing, Mas. Rawonnya ditumpahin kucing," balasku tanpa menoleh. "Oh, kucing doyan rawon juga ternyata." "Iya, kucing milenial doyan rawon, steak, soto sama seblak." Aku mendongak, tak sengaja bersirobok dengannya yang berdiri tiga langkah saja dari tempatku jongkok. Mendadak pengin senyum, tapi kutahan. Bagaimana tidak? Kulihat bibirnya yang menghitam itu sedikit mengkilat bekas minyak. Kaos coklatnya kena cipratan rawon, aku yakin itu. Hanya saja dia nggak sadar kalau ada sisa rawon di kaosnya. "Ngapain senyum-senyum

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   MANEKIN

    "Maaf, Mas. Aku diminta juragan Ginanjar bersihin kamar Mas Rama," ujarku pada lelaki yang baru keluar kamar itu. Sedari tadi menunggu, akhirnya dia keluar juga dari persembunyian. Laki-laki itu melirikku sekilas lalu mendengkus kesal. "Nggak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri.""Pakaian kotornya, Mas. Biar aku cuci dan setrika." "Nggak, aku bisa bawa ke laundry," ujarnya lagi sembari melangkah menjauh. "Mas, makan dulu kalau gitu. Aku masakin rawon sama perkedel." Laki-laki itu menghentikan langkah tepat di tengah tangga. Tanpa menoleh, kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai bawah. Ya Allah, benar-benar monster ajaib. Dingin dan kaku seperti manekin. Aku harus cari cara supaya dia mau menerima bantuanku, kalau terus begini, aku nggak mungkin makan gaji buta di sini. "Ngapain, Ri?" Pertanyaan Mas Hanif dari tangga menghenyakkanku. "Nggak, Mas. Cuma heran saja itu orang kenapa kaku banget kaya manekin hidup." Mas Hanif terbahak mendengar ucapanku. "Tapi kamu sudah ter

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   PUJIAN

    "Orang-orang udik sepertimu biasa main pelet kan? Penampilan tertutup tak menjamin bagus agamanya. Aku nggak sebodoh yang kamu kira!""Astaghfirullah, lemesnya itu mulut," pekikku lirih saat mendengar tuduhan lelaki itu. "Ngomong apa kamu?!" sentak laki-laki itu lagi."Mulutnya lemes, eh." Spontan aku menutup mulut saat keceplosan bicara. Perlahan mendongak lalu buru-buru menunduk saat tak sengaja beradu pandang dengan kedua matanya yang nyalang. Tak membalas ucapanku, monster tampan itu melangkah kembali ke lantai atas begitu saja. Kuhela napas panjang seraya kembali beristighfar. Ya Allah, makhluk seperti apa yang kuhadapi saat ini. Semoga saja dia bisa takluk denganku nanti. Nggak boleh nyerah. Pokoknya harus tetap semangat dan yakin jika hatinya akan luluh. Yakin, yakin, yakin hatinya bukan terbuat dari batu. "Neng ... kamu nggak apa-apa kan?" Bi Lilis menggoyang lenganku pelan. Gegas kubuka mata lalu menatapnya yang sudah berdiri persis di depanku. "Eh, nggak apa-apa, Bi." A

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   RENCANA RIANA

    "Dia Riana dari kampung sebelah, Ram. InsyaAllah anak baik-baik. Semoga kamu cocok." Ibu Farida dengan sabar mengulang perkenalannya. Namun, laki-laki itu masih bergeming dengan tatapan sinisnya. "Penjilat!" tuduhnya padaku. "Jaga mulut anda ya, Mas. Saya kerja di sini bukan sengaja melamar, tapi juragan Ginanjar sendiri yang meminta. Memangnya saya jilat apa kok bisa-bisanya disebut penjilat." Cerocosku kesal saat mendengar kata menjijikkan itu. Ibu Farida mengusap lenganku pelan sembari mengedipkan kedua mata teduhnya. Sentuhan lembutnya membuatku tersadar seketika. Betapa bod*hnya aku sampai ikut tersulut emosi saat mendengar tuduhan tak benar itu padaku. "Seperti itu asisten yang baik? Belum apa-apa main bentak! Dia asisten apa preman?!" sindir laki-laki itu lagi sembari menutup pintu dengan kasar. Ingin rasanya mengumpat, tapi lagi-lagi aku malu jika sebrutal itu. Lantas apa bedanya aku dengan monster itu kalau sama-sama kasar. Ibu Farida yang sebegitu tak dihormatinya sebag

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   PERKENALAN

    Aku semakin tercekat saat melihat laki-laki itu berhenti di tengah tangga lalu membalikkan badan sebentar menatapku. Tanpa senyum, dia kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. "Dia memang begitu, terlalu kaku, Ri. Kamu nggak mundur saat ini juga kan?" Juragan Ginanjar menatapku beberapa saat setelah menoleh ke arah anak sulungnya yang telah menghilang di ujung tangga. "Ng-- nggak dong, Juragan. Saya akan tetap bekerja seperti janji saya tadi." Juragan Ginanjar dan istrinya pun saling tatap lalu tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Biar ibu yang antar kamu ke kamar. Ohya, kamar kamu bersebelahan dengan kamar Rama di lantai atas. Di sana juga ada kamar Latifa dan Razqa. Semoga betah ya, Ri. Selamat bekerja." Aku kembali mengangguk. "Ohya satu lagi, tiap minggu kamu boleh cuti. Terserah mau pulang atau sekadar jalan di luar." Kuhela napas lega saat mendengar kata cuti, setidaknya aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali untuk melepas kangen. Meski emak atau bapak bisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status