LOGINKakiku rasanya pegal-pegal semua akibat semalam jalan kaki. Keluarga itu benar-benar keterlaluan. Mereka terlalu merendahkan Emak dan bapak. Aku tak akan membiarkan kedua orang tuaku terus dihina seperti ini.
Sampai kapan Emak akan mengalah dan menahan sesak di dadanya? Sementara dia sudah mulai menua. Bahkan aku lihat dari wajahnya jauh lebih tua dibandingkan usianya. Sering orang-orang tak percaya jika Emak adalah adik dari pakde Rudy. Selain dari keadaan ekonomi kami yang memang jomplang, kebanyakan dari mereka juga berpikir jika Emak jauh lebih tua dibandingkan Pakde yang tampak lebih segar dan berisi. "Kamu mau kerja di mana, Nduk? Bapak antar ya? Bapak harus tahu kamu kerja di tempat yang aman atau tidak," ujar bapak setelah aku dan Liana selesai sarapan. Emak menyiapkan nasi goreng tanpa kecap seperti biasanya. "Di rumahnya juragan Ginanjar itu loh, Pak. Di kampung sebelah. Rumah paling gede dan megah." Bapak dan Emak cukup kaget setelah mendengar balasanku. Mereka saling pandang lalu menatapku kembali. "Kok bisa kenal sama juragan Ginanjar segala, darimana?" Bapak kembali bertanya. "Gini ceritanya, Pak. Kemarin saat Riana pulang dari bantu-bantu Bu Ambar jaga warung, Riana lihat ada mobil yang parkir di samping taman. Riana curiga kenapa nggak jalan-jalan sementara hujan cukup deras mengguyur. Lagipula di taman 'kan minim penerangan, ngapain berlama-lama di situ. Makanya Riana menyebrang jalan saja sekadar lihat kondisinya. Ternyata di samping mobil ada laki-laki yang pingsan dengan luka tusuk di perutnya. Spontan Riana cari bantuan soalnya memang hujan deras, jadi rumah-rumah warga pada tutup meski masih jam delapanan malam. Dengan bantuan warga, juragan Ginanjar berhasil dibawa ke klinik. Saat itulah juragan bilang makasih dan sekalian tanya-tanya Riana darimana kok jalan sendirian malam-malam di tengah hujan deras begitu. Riana jawab saja baru pulang kerja bantu-bantu warung makan. Akhirnya juragan tawari pekerjaan buat jadi asisten pribadi Mas Rama, anak sulungnya. Beliau bilang sih bakal kasih Riana gaji banyak kalau bisa sabar menghadapi anaknya itu." Aku menceritakan panjang lebar kisahku dua malam yang lalu. Bapak mengernyit, mungkin bingung pekerjaan apa yang dimaksud juragan. "Paling suruh momong bocah, Pak. Soalnya juragan bilang kalau anaknya susah diatur. Sudah gonta-ganti asisten nggak ada yang betah. Makanya beliau janji kalau Riana betah bakal dikasih gaji tinggi." Akhirnya bapak menghela napas panjang. Laki-laki terhebatku itu pun tersenyum tipis sembari mengusap punggungku pelan. "Iya, Nduk. Semoga kamu betah di sana ya? Ingat, cari kerjaan susah. Kamu harus belajar untuk sabar, telaten dan fokus dengan pekerjaanmu. Pekerjaan apapun itu kalau ditekuni juga akan menghasilkan, yang penting halal." Aku memeluk bapak setelah menganggukkan kepala. "Bukannya anak juragan Ginanjar sudah pada besar, Pak? Yang paling kecil seumuran Liana kayanya. Setahu Emak sih begitu." Emak menimpali membuatku dan bapak beralih ke arahnya seketika. "Mungkin anak sulung dari istri kedua atau ketiganya, Mak. Namanya orang kaya, biasanya 'kan punya banyak istri." "Benar juga sih, Pak. Masa iya orang dewasa masih suruh momong. Kan nggak mungkin." "Mak dan bapak doakan yang terbaik buat kamu, Nduk. Semoga pekerjaan kamu ini membawa berkah untukmu juga keluarga kita." Kami mengaminkan doa Emak dengan mata berkaca-kaca. "Riana janji akan membuat Emak dan bapak bangga. Riana nggak rela melihat bapak dan Emak selalu dihina oleh mereka karena kemiskinan kita. Lihat saja nanti, mereka pasti akan menyesal sudah mencaci maki kita seperti itu." Aku tergugu. Tiap kali membayangkan semua perlakuan mereka, tiap itu juga ada bongkahan batu besar yang terasa menghantam dada. Sesak sekali rasanya. "Nduk, apapun yang mereka lakukan pada keluarga kita, jangan pernah sekalipun membuatmu dendam. Seburuk apapun mereka tetap keluarga kita. Seperti apapun yang mereka lakukan, tak akan pernah menghilangkan jejak bahwa emak dan pakde juga paklekmu itu lahir dari rahim yang sama. Kamu sabar ya, Nduk. Belajar dari Emak, sekalipun emak tak pernah dendam pada mereka. Hanya doa emak tak pernah putus setiap malamnya, semoga mereka segera menyadari kesalahan dan kekhilafahan mereka sendiri. Emak tahu kamu sakit hati, tapi asal kamu tahu, Nduk. Emak jauh lebih sakit hati melihat saudara sendiri tak bisa berbuat banyak untuk membantu Emak yang kesakitan. Fokus pada dirimu dan masa depanmu. Tak perlu risau dengan penilaian orang lain ya?" Emak mengusap pipiku pelan lalu menyeka bulir bening yang menetes ke pipi. "Iya, Mak. Riana tahu kalau Emak memang wanita paling sabar dan tulus yang pernah Riana kenal. Sayangnya, Riana nggak bisa sesabar Emak. Riana benci melihat mereka yang tega dan semena-mena pada Emak dan bapak. Riana kesal dan muak melihat kelakuan mereka selama ini pada kita, Mak." Aku semakin tergugu di pelukan Emak. Rasanya benar-benar muak menyaksikan beragam penghinaan mereka yang konon disebut sebagai saudara. "Sudahlah, emak paham sekali apa yang kamu rasakan. Cuci muka sana. Jangan sampai juraganmu kaget lihat wajahmu yang sembab begini. Biar bapak yang antar kamu ke sana." Emak kembali menenangkan. Rasanya hati begitu nyaman tiap kali berada di samping wanita terhebatku itu. Senyumnya yang tulus, tatapannya yang teduh dan suaranya yang merdu selalu membuatku rindu dan candu. "Motor bapak kan rusak, Mak. Masih di rumah Bu Ayu juga. Bapak mau antar pakai apa?" tanyaku kemudian. "Barusan pinjam sama Mbak Bella. Kebetulan hari ini dia libur kerja, jadi nggak apa-apa dipinjam sebentar, katanya." Lagi-lagi aku mengangguk dan bersyukur masih ada orang baik di sekitar kontrakan. Mbak Bella adalah seorang janda beranak satu yang sering membantu Emak saat kekurangan. Kebaikan dan ketulusannya bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan keluarga besar Emak sendiri. Setelah pamit pada Emak dan Mbak Bella yang duduk di teras kontrakan, aku pun buru-buru duduk di motor. Membaca Basmallah sebelum bapak melajukan motor perlahan keluar area kontrakan. Sebenarnya jalan kaki pun bisa untuk sampai di rumah juragan Ginanjar. Ada jalan pintas yang sering kulewati saat sekolah dulu. Mungkin setengah jaman sampai rumah gedong itu. Hanya saja mengingat pesan Mbak Yuni kemarin supaya aku datang sebelum jam tujuh, membuatku mengurungkan niat untuk jalan kaki. Lebih baik memang diantar bapak sekalian meyakinkannya kalau aku benar-benar kerja di sana. "Mbak Riana ya?" tanya seorang satpam bernama Agus padaku saat bapak membunyikan bel di samping gerbang. "Iya, benar, Pak. Saya Riana yang ditawari juragan buat kerja di sini," balasku kemudian. "Juragan sudah menunggu di dalam, Mbak. Mari saya antar." Bapak mendoakanku banyak hal sebelum masuk ke rumah mewah itu. Senyum tulusnya membuatku lebih bersemangat untuk menjalani pekerjaan ini dengan ikhlas. Sebandel-bandelnya seorang anak, aku pasti bisa menaklukkannya. Meski Emak bilang nggak boleh dendam dan fokus dengan pekerjaanku saja, tapi tak ada salahnya jika cacian mereka justru menjadi semangat utamaku untuk membuktikan bahwa aku bisa, bukan? Iya, aku harus sabar, ikhlas dan terus bersemangat menjalani pekerjaanku kali ini. Dengan begitu aku bisa membuat orang-orang yang menghina kedua orang tuaku itu ternganga. Akan kubuat mereka menyesal sudah menganggap keluargaku seperti sampah yang menjijikkan, bukan dianggap selayaknya keluarga yang sepantasnya mendapatkan uluran tangan. ***Bakda shalat subuh, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Mas Rama. Barang kali dia sudah nggak sejutek kemarin atau mungkin mau kubuatkan kopi baru. Kulihat dua cangkir kopi yang kubuat semalam masih utuh tak tersentuh. Tak tahu apa alasannya dia membiarkan kopi itu dingin. Mungkin saja dia lupa lalu malas meminumnya saat kopi mulai dingin. Iya kan?Tok ... tok ... tok "Mas Rama, sudah shalat subuh belum? Apa mau saya bikinkan kopi lagi?" tanyaku lirih sembari mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara dari dalam kamar. Namun, sepertinya kamarnya dibuat kedap suara sebab nggak terdengar apapun dari luar. Aku bergeming beberapa saat di sana sembari menunggu sosok itu keluar atau paling tidak membalas pertanyaanku. Kutunggu beberapa menit benar-benar tak ada yang menyahut. Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang.Tak menyerah, aku kembali mengetuk pintu. Aku tunggu lagi sembari tetap mendekatkan telinga ke daun pintu. Untuk ketukan ketiga
Suara berisik di area dapur membuatku buru-buru menyambar hijab di tepi ranjang lalu gegas mencari sumbernya. Nggak ada apapun di dapur, hanya saja rawon yang kusiapkan untuk Mas Rama di atas kulkas entah mengapa bisa tumpah ke lantai, padahal jelas tadi kuletakkan di tengah-tengah nggak mungkin tumpah kalau nggak ada yang nyenggol. "Ngapain kamu celingukan di situ?" Lagi, suara Mas Rama cukup mengagetkanku. Entah dari mana dia tiba-tiba muncul di belakang. "Nyari kucing, Mas. Rawonnya ditumpahin kucing," balasku tanpa menoleh. "Oh, kucing doyan rawon juga ternyata." "Iya, kucing milenial doyan rawon, steak, soto sama seblak." Aku mendongak, tak sengaja bersirobok dengannya yang berdiri tiga langkah saja dari tempatku jongkok. Mendadak pengin senyum, tapi kutahan. Bagaimana tidak? Kulihat bibirnya yang menghitam itu sedikit mengkilat bekas minyak. Kaos coklatnya kena cipratan rawon, aku yakin itu. Hanya saja dia nggak sadar kalau ada sisa rawon di kaosnya. "Ngapain senyum-senyum
"Maaf, Mas. Aku diminta juragan Ginanjar bersihin kamar Mas Rama," ujarku pada lelaki yang baru keluar kamar itu. Sedari tadi menunggu, akhirnya dia keluar juga dari persembunyian. Laki-laki itu melirikku sekilas lalu mendengkus kesal. "Nggak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri.""Pakaian kotornya, Mas. Biar aku cuci dan setrika." "Nggak, aku bisa bawa ke laundry," ujarnya lagi sembari melangkah menjauh. "Mas, makan dulu kalau gitu. Aku masakin rawon sama perkedel." Laki-laki itu menghentikan langkah tepat di tengah tangga. Tanpa menoleh, kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai bawah. Ya Allah, benar-benar monster ajaib. Dingin dan kaku seperti manekin. Aku harus cari cara supaya dia mau menerima bantuanku, kalau terus begini, aku nggak mungkin makan gaji buta di sini. "Ngapain, Ri?" Pertanyaan Mas Hanif dari tangga menghenyakkanku. "Nggak, Mas. Cuma heran saja itu orang kenapa kaku banget kaya manekin hidup." Mas Hanif terbahak mendengar ucapanku. "Tapi kamu sudah ter
"Orang-orang udik sepertimu biasa main pelet kan? Penampilan tertutup tak menjamin bagus agamanya. Aku nggak sebodoh yang kamu kira!""Astaghfirullah, lemesnya itu mulut," pekikku lirih saat mendengar tuduhan lelaki itu. "Ngomong apa kamu?!" sentak laki-laki itu lagi."Mulutnya lemes, eh." Spontan aku menutup mulut saat keceplosan bicara. Perlahan mendongak lalu buru-buru menunduk saat tak sengaja beradu pandang dengan kedua matanya yang nyalang. Tak membalas ucapanku, monster tampan itu melangkah kembali ke lantai atas begitu saja. Kuhela napas panjang seraya kembali beristighfar. Ya Allah, makhluk seperti apa yang kuhadapi saat ini. Semoga saja dia bisa takluk denganku nanti. Nggak boleh nyerah. Pokoknya harus tetap semangat dan yakin jika hatinya akan luluh. Yakin, yakin, yakin hatinya bukan terbuat dari batu. "Neng ... kamu nggak apa-apa kan?" Bi Lilis menggoyang lenganku pelan. Gegas kubuka mata lalu menatapnya yang sudah berdiri persis di depanku. "Eh, nggak apa-apa, Bi." A
"Dia Riana dari kampung sebelah, Ram. InsyaAllah anak baik-baik. Semoga kamu cocok." Ibu Farida dengan sabar mengulang perkenalannya. Namun, laki-laki itu masih bergeming dengan tatapan sinisnya. "Penjilat!" tuduhnya padaku. "Jaga mulut anda ya, Mas. Saya kerja di sini bukan sengaja melamar, tapi juragan Ginanjar sendiri yang meminta. Memangnya saya jilat apa kok bisa-bisanya disebut penjilat." Cerocosku kesal saat mendengar kata menjijikkan itu. Ibu Farida mengusap lenganku pelan sembari mengedipkan kedua mata teduhnya. Sentuhan lembutnya membuatku tersadar seketika. Betapa bod*hnya aku sampai ikut tersulut emosi saat mendengar tuduhan tak benar itu padaku. "Seperti itu asisten yang baik? Belum apa-apa main bentak! Dia asisten apa preman?!" sindir laki-laki itu lagi sembari menutup pintu dengan kasar. Ingin rasanya mengumpat, tapi lagi-lagi aku malu jika sebrutal itu. Lantas apa bedanya aku dengan monster itu kalau sama-sama kasar. Ibu Farida yang sebegitu tak dihormatinya sebag
Aku semakin tercekat saat melihat laki-laki itu berhenti di tengah tangga lalu membalikkan badan sebentar menatapku. Tanpa senyum, dia kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. "Dia memang begitu, terlalu kaku, Ri. Kamu nggak mundur saat ini juga kan?" Juragan Ginanjar menatapku beberapa saat setelah menoleh ke arah anak sulungnya yang telah menghilang di ujung tangga. "Ng-- nggak dong, Juragan. Saya akan tetap bekerja seperti janji saya tadi." Juragan Ginanjar dan istrinya pun saling tatap lalu tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Biar ibu yang antar kamu ke kamar. Ohya, kamar kamu bersebelahan dengan kamar Rama di lantai atas. Di sana juga ada kamar Latifa dan Razqa. Semoga betah ya, Ri. Selamat bekerja." Aku kembali mengangguk. "Ohya satu lagi, tiap minggu kamu boleh cuti. Terserah mau pulang atau sekadar jalan di luar." Kuhela napas lega saat mendengar kata cuti, setidaknya aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali untuk melepas kangen. Meski emak atau bapak bisa







