Share

SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG
SETELAH IBUKU MENIKAHI BERONDONG
Penulis: Tetiimulyati

1. Membatalkan Pernikahan

"Coba kamu hubungi Rendy!" Suara Mama mengagetkanku.

"Enggak bisa, Ma. Ponsel Rendy enggak aktif."

"Coba sekali lagi, siapa tahu sekarang sudah aktif."

Aku menurut, membuka ponsel yang sejak tadi kugenggam. Mencari kontak dengan nama My love, lalu mengklik ikon telepon.

Tidak aktif.

Aku mendesah berat. Kekhawatiran ini semakin menggunung.

"La .... "

Mama menyentuh pundakku dan aku kembali mendesah perlahan. Dada ini mulai sesak. Apalagi terdengar suara Tante Chintya yang baru saja masuk ke kamarku.

"Terus kalau sudah begini gimana, La?!" Mama duduk di pinggir ranjang dengan kasar.

"Harusnya kamu itu bisa jaga diri, La. Jadi perempuan, kok, murahan. Laki-laki kalau sudah dapat manisnya, ya, begitu," cibir Tante Chintya sambil berpangku tangan.

Tak lama Om Drajat, adik Papa yang akan menjadi waliku juga datang ke kamarku.

"Bagaimana ini? Sudah satu jam lebih calon pengantin prianya belum juga datang," tanya Om Drajat dengan nada khawatir.

"Aku sudah mengirim pesan dan menelepon berkali-kali, Om. Tapi jangankan jawaban, ponselnya saja tidak aktif."

"Lagian, ya, kok, bisa-bisanya calonkan pengantin diizinkan berangkat sendirian." Tante Chintya mencibir lagi.

"Jangan-jangan Rendy kecelakaan."

"Ma .... " Aku menoleh ke arah mana dengan tatapan memohon supaya Mama tidak meneruskan ucapannya.

Aku sedang khawatir tapi Mama malah menakutiku dengan kata-kata seperti itu. Seharusnya seluruh keluargaku mendukung dan menguatkan aku. Bukan malah menjatuhkan mentalku.

Suasana kembali hening. Mama mondar mandir dengan gerakan tangan tak beraturan. Sementara Tante Chintya berkali-kali terdengar membuang nafas berat.

"Menurut Om, memang ada dua kemungkinan. Kalau enggak kabur, ya kecelakaan," ucap Om Drajat sambil keluar dari kamarku menuju lantai bawah lagi untuk menemui keluarga Rendy.

Aku semakin panik, bagaimana kalau Rendi benar-benar tidak datang. Ya Tuhan mau ditaruh dimana mukaku atas aib yang kubuat sendiri. Bukan itu saja, aku harus tetap tinggal di rumah Mama dengan pria seperti Om Dimas.

Ponsel dalam genggamanku bergetar, sebuah pesan masuk ke aplikasi hijau. Aku segera mengeceknya.

"Rendy!?"

Aku berseru saking bahagianya, akhirnya dia mengirim pesan juga. Mama dan Tante Chintya segera mendekat.

"Apa katanya?" Mama tidak sabaran.

Segera aku membuka pesan tersebut berharap Rendy memberikan kabar baik.

[Sorry, La. Aku enggak bisa datang untuk nikah sama kamu. Aku enggak bisa untuk saat ini. Pernikahan ini batalkan saja, sekali lagi aku katakan kalau aku belum siap.]

Membaca pesan dari Rendy seperti itu tiba-tiba seluruh tubuhku terasa tak bertulang. Aku gagal nikah, bagaimana kata dunia nanti. Teman-temanku akan menggunjing dan mencemooh, keluargaku akan menyalahkan dan menyudutkan aku. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?

"Gimana, La?" Mama bertanya lagi.

"Rendy baik-baik saja 'kan?" tambah Tante Chintya.

Aku diam menggenggam kuat ponsel dengan perasaan yang tidak bisa kugambarkan.

"La. Lala?!" Mama mengulang.

"Lihat saja ponselnya, Mbak?"

Mama langsung mengambil ponsel dari tanganku sesuai arahan Tante Chintya. Mungkin terus membaca pesan dari Rendy karena beberapa detik kemudian aku yang tetap menatap lurus ke depan mendengar suara Mama dengan nada tinggi.

"Mama bilang juga apa!? Rendy itu cuma mau enaknya doang! Sekarang gimana? Mama enggak bisa membayangkan anak itu lahir tanpa Ayah .... "

Entah apalagi yang Mama ucapkan selanjutnya, karena suara Mama seperti kian menjauh lalu pandanganku menjadi gelap.

***

Flashback

"Apa?! Hamil?! kamu jangan bercanda La, itu tidak mungkin." Rendy melebarkan matanya ketika aku memberikan sebuah test pack dengan garis dua padanya.

"Ini beneran, Ren, aku enggak bercanda," jawabku sambil terus mengacungkan benda itu di hadapannya.

"Tapi kita tidak pernah melakukan itu!" Rendy masih berusaha menyangkal.

"Kamu ingat kejadian malam itu saat ulang tahun Poppy, teman kamu." Aku membuka ponsel lalu memperlihatkan foto-foto saat Rendy menggendongku.

"Iya, tapi kita tidak berbuat apa-apa, La. Saat itu kamu pingsan dan aku mau nolongin kamu. Foto-foto itu saat aku membawamu ke kamar Poppy untuk beristirahat dan kita nggak ngapa-ngapain!"

"Kamu jangan coba mengelak, Ren. Kita pacaran udah dua tahun tapi aku enggak bisa diginiin. Oke, kalau misalkan kamu bosan sama aku, tapi kesannya kamu jangan habis manis sepah dibuang, dong."

"Pokoknya aku nggak mau tanggung jawab. aku nggak ngelakuin apa-apa. Atau ... jangan-jangan kamu hamil anak orang lain dan meminta pertanggungjawaban padaku?!" Rendy malah balik menuduhku.

"Selama dua tahun ini apa pernah aku jalan sama orang lain? Enggak 'kan? Aku cuma jalan sama kamu!"

Mendapat pertanyaan seperti itu Rendy diam karena memang selama ini aku tidak pernah pergi dengan siapapun apalagi berselingkuh.

Hubungan kami selama dua tahun ini berjalan akur dan sama-sama tahu batas, sangat jarang kami pergi berduaan. Itu sudah menjadi komitmen kami, tapi malam itu ketika kami menghadiri pesta ulang tahun Poppy, Rendy bersikeras menyangkal.

"Pokoknya enggak, aku tetap bilang enggak! Sampai kapanpun aku tidak akan mengakuinya!" Setelah berkata seperti itu Rendy bangkit lalu meninggalkanku sendiri. Sementara aku terdiam menggenggam kuat test pack bergaris dua itu. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan untuk membuat Rendy mau menikahiku. Aku harus memikirkan cara lain supaya Rendy tidak bisa berkutik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status