Share

Bab 2. Terlalu Menyakitkan

Aliran oksigen di otak rasanya menipis. Membuat pikiran buntu. Tak dapat berpikir lagi. Menerka pun sia-sia. Hanya akan menambah sesak dalam dada.

Kharisma istriku ditemukan tewas di kamar ini bersama Guntur? Dan diduga karena overdosis? Astaga. Kenyataan macam apa ini?

Aku menyandarkan kepala pada badan sofa. Menengadah, menatap langit-langit kamar di penginapan ini. Dadaku terasa sesak. Kuatur nafas yang tak beraturan.

Kucoba untuk berpikir dengan jernih. Apa yang sudah Kharisma perbuat sebenarnya hingga bisa tewas bersama Guntur di dalam kamar ini.

Dari ujung mataku. Jasad Kharisma sudah dibawa dalam kantung jenazah. Pun dengan jasad Guntur. Petugas membawanya keluar dari dalam kamar ini.

Aku mendesah.

Apa yang harus aku katakan pada orang tuanya nanti? Bagaimana aku memberitahu orangtua Kharisma, bahwa Kharisma sudah meninggal?

Ibu ku juga. Apa yang harus kujelaskan pada Ibu mengenai menantu kesayangannya itu?

Aku meremas rambutku seraya menundukkan kepala. Saat tadi Pak Hamdan membuka selimut tosca yang menutupi tubuh mereka yang sudah tak bernyawa.

Pak Hamdan hanya membuka sampai batas dada jasad Kharisma. Kedua bahu Kharisma nampak polos. Begitu juga dengan Guntur yang nampak bertelanjang dada.

Apa mereka benar-benar ditemukan dalam keadaan tidak senonoh? Apa Kharisma-ku sudah mengkhianati ku dan bermain api dengan Guntur?

Guntur Arisandy.

Sejak kapan dia kembali ke Indonesia? Setahuku, dia pindah dan menetap di negeri Sakura sejak 5 tahun yang lalu. Aku pun masih berhubungan baik dengannya. Sering bertukar kabar meski hanya melalui ponsel.

Apa Guntur baru kembali belum lama ini? Dan Kharisma menyambutnya di penginapan ini tanpa sepengetahuanku, lalu berakhir dengan kelebihan obat sampai overdosis?

Aku berharap semua ini hanya mimpi. Siapapun, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini!

Plakk!

Kutampar pipi kiriku sekuatnya. Seketika, rasa panas menjalar. Ini nyata. Bukan mimpi!

"Aarrggg …." Aku berteriak kesal. Pak Hamdan segera menghampiriku. Setelah sejak tadi berbicara pada perempuan yang berdiri di dekat jendela kamar ini. Perempuan berkerudung itu terlihat pergi, meninggalkan kamar jahanam ini.

"Anda baik-baik saja?" tanya Pak Hamdan yang kini duduk di sofa sebelahku.

Ku usap wajah dengan kasar. Tidak kuhiraukan pertanyaannya itu. Kusandarkan kembali kepalaku pada badan sofa.

"Tenang, Pak Dewa! Kami tahu, Anda sangat shock. Tapi, Anda tetap harus mengendalikan diri!" tukasnya kemudian.

Aku membuang nafas. Lalu meraup dengan rakus, udara yang kuharap bisa mengisi paru-paru ku.

"Apa Anda mau dilakukan otopsi pada jenazah istri, Anda?" tanya Pak Hamdan.

Aku menggeleng. "Jangan, Pak. Visum luar saja," balasku singkat.

Pak Hamdan mengangguk. Lalu meminta rekannya yang masih ada di kamar untuk melakukan permintaanku. Gegas rekan Pak Hamdan itu ke luar.

Tinggalah aku dengan Pak Hamdan di kamar terkutuk ini. Dua pria lain yang tadi duduk di sofa set di sebelah kiriku pun ikut keluar.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu berdehem. "Pak, bagaimana bisa istri saya ditemukan tewas di kamar ini?" tanyaku pada Pak Hamdan.

"Begini, Pak. Berdasarkan keterangan dari pihak penginapan, istri Anda bersama teman lelakinya, check in sekitar tiga hari yang lalu di penginapan ini pada sore hari."

"Berdasarkan dari pantauan cctv, istri Anda dengan teman lelakinya itu, sejak pertama kali check-in, hanya terlihat satu kali keluar dari dalam kamar ini, itupun sekitar pukul 8 malam."

"Sejak kembali ke penginapan ini, sekitar pukul 11 malam, tidak ada lagi aktivitas yang terpantau. Apalagi seharian kemarin sampai pagi hari ini. Barulah pagi tadi, housekeeping coba memastikannya. Mengetuk pintu berulangkali, tetapi tidak juga ada jawaban. Keadaan pintu kamar ini terkunci tapi tidak ada data check out. Sampai akhirnya, para housekeeping mendobrak pintu kamar ini. Dua pria yang memakai seragam kerja dan barusan keluar, merekalah yang pertama kali mengetahui keadaan istri Anda," jelas Pak Hamdan.

Hening. Pak Hamdan tidak melanjutkan penjelasannya lagi. Padahal aku masih ingin mendengar kenyataan apa yang akan disampaikan Pak Hamdan ini. Walaupun hatiku berdarah-darah mendapatinya.

"Lanjutkan, Pak," pintaku.

Pak Hamdan mengangguk pelan. "Menurut dua housekeeping yang pertama kali melihat istri Anda dan teman lelakinya di kamar ini. Mereka … ditemukan dalam keadaan telanj*ng, hanya tertutup selimut. Serta, mulut mereka berbusa. Lalu selanjutnya, pihak penginapan menghubungi kami untuk segera melakukan tindakan. Setelah kami datang dan memeriksa kamar ini. Kami menemukan obat-obat ini di dalam laci nakas."

Pak Hamdan menyodorkan bungkusan obat di atas meja di hadapanku. Aku meraba-raba. Akhirnya kuambil bungkusan obat di depanku itu lalu meniliknya dengan seksama.

Prakk!

Kulempar secepatnya obat itu ke atas meja kembali. Sependek yang aku tahu, obat itu tergolong jenis obat kuat dan perangsang. Tapi aku masih berharap, perkiraanku ini salah.

Kucoba untuk rileks. Menenangkan gemuruh dalam dada ini. Aku hanya mampu tersenyum kecut. Menyadari betapa bodohnya aku. Betapa Kharisma begitu pandai membohongiku.

Kutarik nafas kembali. Dadaku teramat sesak. Aku memandang nanar keadaan kamar ini. Kamar bercat putih dengan wangi pengharum lavender. Kamar jahanam yang menjadi saksi bisu pengkhianatan Kharisma.

Netraku rasanya memanas. Wanita yang teramat aku cintai. Ternyata tega membagi hati dengan sahabatku sendiri. Bukan hanya membagi hati. Tapi juga kehangatan di atas ranjang, Kharisma tega membaginya dengan Guntur.

Kenapa Kharisma begitu tega? Apa salahku selama ini? Semua keinginannya, aku coba untuk penuhi. Aku mencintai Kharisma begitu dalam. Aku setia padanya. Aku setia pada pernikahanku. Aku setia pada keluarga kecilku.

Aku tidak pernah membuka hati untuk wanita lain. Meski hanya celah kecil. Aku bekerja siang malam mengembangkan cafe. Memperluas kemitraan. Membuka cabang di tempat yang strategis. Semua aku lakukan demi Kharisma. Demi istri dan juga anakku.

Setelah kematiannya yang tak terduga ini. Siapa yang pantas aku gugat? Siapa yang patut aku salahkan? Siapa yang akan menjawab segala pertanyaan yang berputar di kepalaku? Siapa?!

Kharisma keterlaluan.

Setelah kurasa tenang, lantas kurogoh ponsel di dalam saku celana. Kuhubungi Nakula, adikku. Tidak perlu menunggu lama, Nakula menerima panggilan dariku.

"Hallo, Bang?" ucapnya di ujung telepon sana.

"Naku, tolong siapkan pemakaman—"

"Apa?" pekik Nakula.

"Pemakaman siapa, Bang? Siapa yang meninggal?" cerocosnya lagi.

Aku memijat dahi. Kuhela nafas dalam-dalam. Mungkin aku salah orang menelpon Nakula untuk menyiapkan pemakaman. Tapi, aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Lagipun, aku yakin. Nakula orang yang bisa menjaga rahasia.

"Hallo hallo, Bang? Abang masih di situ 'kan? Bang! Siapa yang meninggal? Bilang dong, biar gue nggak penasaran!" cerocosnya lagi.

Begitulah, Nakula. Adik lelakiku satu-satunya yang amat sangat cerewet. Ibu saja kalah cerewetnya oleh Nakula. Ibu bilang, Nakula persis seperti almarhum Ayah. Apalagi cerewetnya itu.

Aku menarik nafas. "Denger! Kamu siapkan saja Naku! Tapi, diam-diam saja. Jangan sampai ada yang tahu kalau Abang nyuruh kamu siapkan pemakaman!"

"Apa? Ini rahasia? Lu ngga bun*h anak orang 'kan, Bang?!"

"Nggaklah! Please. Abang minta tolong sama kamu! Kamu siapkan pemakaman tapi jangan kamu beritahu siapapun. Abang belum bisa cerita semuanya sekarang! Bisa 'kan?"

"Hmm … oke, Bang! Sekarang abang dimana?"

"Ada, lah! Nanti abang cerita semuanya sama kamu! Yang penting, tolong kamu siapkan saja pemakamannya!"

"Siap laksanakan!"

Tuttt!

Kuputuskan sambungan telepon dengan Nakula. Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana.

Aku merunduk. Kututup wajah dengan kedua tangan.

Kenyataan ini terlalu menyakitkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status