Home / Rumah Tangga / SETELAH KEMATIAN ISTRIKU / Bab 2. Terlalu Menyakitkan

Share

Bab 2. Terlalu Menyakitkan

Author: Sity Mariah
last update Huling Na-update: 2022-09-16 12:32:26

Aliran oksigen di otak rasanya menipis. Membuat pikiran buntu. Tak dapat berpikir lagi. Menerka pun sia-sia. Hanya akan menambah sesak dalam dada.

Kharisma istriku ditemukan tewas di kamar ini bersama Guntur? Dan diduga karena overdosis? Astaga. Kenyataan macam apa ini?

Aku menyandarkan kepala pada badan sofa. Menengadah, menatap langit-langit kamar di penginapan ini. Dadaku terasa sesak. Kuatur nafas yang tak beraturan.

Kucoba untuk berpikir dengan jernih. Apa yang sudah Kharisma perbuat sebenarnya hingga bisa tewas bersama Guntur di dalam kamar ini.

Dari ujung mataku. Jasad Kharisma sudah dibawa dalam kantung jenazah. Pun dengan jasad Guntur. Petugas membawanya keluar dari dalam kamar ini.

Aku mendesah.

Apa yang harus aku katakan pada orang tuanya nanti? Bagaimana aku memberitahu orangtua Kharisma, bahwa Kharisma sudah meninggal?

Ibu ku juga. Apa yang harus kujelaskan pada Ibu mengenai menantu kesayangannya itu?

Aku meremas rambutku seraya menundukkan kepala. Saat tadi Pak Hamdan membuka selimut tosca yang menutupi tubuh mereka yang sudah tak bernyawa.

Pak Hamdan hanya membuka sampai batas dada jasad Kharisma. Kedua bahu Kharisma nampak polos. Begitu juga dengan Guntur yang nampak bertelanjang dada.

Apa mereka benar-benar ditemukan dalam keadaan tidak senonoh? Apa Kharisma-ku sudah mengkhianati ku dan bermain api dengan Guntur?

Guntur Arisandy.

Sejak kapan dia kembali ke Indonesia? Setahuku, dia pindah dan menetap di negeri Sakura sejak 5 tahun yang lalu. Aku pun masih berhubungan baik dengannya. Sering bertukar kabar meski hanya melalui ponsel.

Apa Guntur baru kembali belum lama ini? Dan Kharisma menyambutnya di penginapan ini tanpa sepengetahuanku, lalu berakhir dengan kelebihan obat sampai overdosis?

Aku berharap semua ini hanya mimpi. Siapapun, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini!

Plakk!

Kutampar pipi kiriku sekuatnya. Seketika, rasa panas menjalar. Ini nyata. Bukan mimpi!

"Aarrggg …." Aku berteriak kesal. Pak Hamdan segera menghampiriku. Setelah sejak tadi berbicara pada perempuan yang berdiri di dekat jendela kamar ini. Perempuan berkerudung itu terlihat pergi, meninggalkan kamar jahanam ini.

"Anda baik-baik saja?" tanya Pak Hamdan yang kini duduk di sofa sebelahku.

Ku usap wajah dengan kasar. Tidak kuhiraukan pertanyaannya itu. Kusandarkan kembali kepalaku pada badan sofa.

"Tenang, Pak Dewa! Kami tahu, Anda sangat shock. Tapi, Anda tetap harus mengendalikan diri!" tukasnya kemudian.

Aku membuang nafas. Lalu meraup dengan rakus, udara yang kuharap bisa mengisi paru-paru ku.

"Apa Anda mau dilakukan otopsi pada jenazah istri, Anda?" tanya Pak Hamdan.

Aku menggeleng. "Jangan, Pak. Visum luar saja," balasku singkat.

Pak Hamdan mengangguk. Lalu meminta rekannya yang masih ada di kamar untuk melakukan permintaanku. Gegas rekan Pak Hamdan itu ke luar.

Tinggalah aku dengan Pak Hamdan di kamar terkutuk ini. Dua pria lain yang tadi duduk di sofa set di sebelah kiriku pun ikut keluar.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu berdehem. "Pak, bagaimana bisa istri saya ditemukan tewas di kamar ini?" tanyaku pada Pak Hamdan.

"Begini, Pak. Berdasarkan keterangan dari pihak penginapan, istri Anda bersama teman lelakinya, check in sekitar tiga hari yang lalu di penginapan ini pada sore hari."

"Berdasarkan dari pantauan cctv, istri Anda dengan teman lelakinya itu, sejak pertama kali check-in, hanya terlihat satu kali keluar dari dalam kamar ini, itupun sekitar pukul 8 malam."

"Sejak kembali ke penginapan ini, sekitar pukul 11 malam, tidak ada lagi aktivitas yang terpantau. Apalagi seharian kemarin sampai pagi hari ini. Barulah pagi tadi, housekeeping coba memastikannya. Mengetuk pintu berulangkali, tetapi tidak juga ada jawaban. Keadaan pintu kamar ini terkunci tapi tidak ada data check out. Sampai akhirnya, para housekeeping mendobrak pintu kamar ini. Dua pria yang memakai seragam kerja dan barusan keluar, merekalah yang pertama kali mengetahui keadaan istri Anda," jelas Pak Hamdan.

Hening. Pak Hamdan tidak melanjutkan penjelasannya lagi. Padahal aku masih ingin mendengar kenyataan apa yang akan disampaikan Pak Hamdan ini. Walaupun hatiku berdarah-darah mendapatinya.

"Lanjutkan, Pak," pintaku.

Pak Hamdan mengangguk pelan. "Menurut dua housekeeping yang pertama kali melihat istri Anda dan teman lelakinya di kamar ini. Mereka … ditemukan dalam keadaan telanj*ng, hanya tertutup selimut. Serta, mulut mereka berbusa. Lalu selanjutnya, pihak penginapan menghubungi kami untuk segera melakukan tindakan. Setelah kami datang dan memeriksa kamar ini. Kami menemukan obat-obat ini di dalam laci nakas."

Pak Hamdan menyodorkan bungkusan obat di atas meja di hadapanku. Aku meraba-raba. Akhirnya kuambil bungkusan obat di depanku itu lalu meniliknya dengan seksama.

Prakk!

Kulempar secepatnya obat itu ke atas meja kembali. Sependek yang aku tahu, obat itu tergolong jenis obat kuat dan perangsang. Tapi aku masih berharap, perkiraanku ini salah.

Kucoba untuk rileks. Menenangkan gemuruh dalam dada ini. Aku hanya mampu tersenyum kecut. Menyadari betapa bodohnya aku. Betapa Kharisma begitu pandai membohongiku.

Kutarik nafas kembali. Dadaku teramat sesak. Aku memandang nanar keadaan kamar ini. Kamar bercat putih dengan wangi pengharum lavender. Kamar jahanam yang menjadi saksi bisu pengkhianatan Kharisma.

Netraku rasanya memanas. Wanita yang teramat aku cintai. Ternyata tega membagi hati dengan sahabatku sendiri. Bukan hanya membagi hati. Tapi juga kehangatan di atas ranjang, Kharisma tega membaginya dengan Guntur.

Kenapa Kharisma begitu tega? Apa salahku selama ini? Semua keinginannya, aku coba untuk penuhi. Aku mencintai Kharisma begitu dalam. Aku setia padanya. Aku setia pada pernikahanku. Aku setia pada keluarga kecilku.

Aku tidak pernah membuka hati untuk wanita lain. Meski hanya celah kecil. Aku bekerja siang malam mengembangkan cafe. Memperluas kemitraan. Membuka cabang di tempat yang strategis. Semua aku lakukan demi Kharisma. Demi istri dan juga anakku.

Setelah kematiannya yang tak terduga ini. Siapa yang pantas aku gugat? Siapa yang patut aku salahkan? Siapa yang akan menjawab segala pertanyaan yang berputar di kepalaku? Siapa?!

Kharisma keterlaluan.

Setelah kurasa tenang, lantas kurogoh ponsel di dalam saku celana. Kuhubungi Nakula, adikku. Tidak perlu menunggu lama, Nakula menerima panggilan dariku.

"Hallo, Bang?" ucapnya di ujung telepon sana.

"Naku, tolong siapkan pemakaman—"

"Apa?" pekik Nakula.

"Pemakaman siapa, Bang? Siapa yang meninggal?" cerocosnya lagi.

Aku memijat dahi. Kuhela nafas dalam-dalam. Mungkin aku salah orang menelpon Nakula untuk menyiapkan pemakaman. Tapi, aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Lagipun, aku yakin. Nakula orang yang bisa menjaga rahasia.

"Hallo hallo, Bang? Abang masih di situ 'kan? Bang! Siapa yang meninggal? Bilang dong, biar gue nggak penasaran!" cerocosnya lagi.

Begitulah, Nakula. Adik lelakiku satu-satunya yang amat sangat cerewet. Ibu saja kalah cerewetnya oleh Nakula. Ibu bilang, Nakula persis seperti almarhum Ayah. Apalagi cerewetnya itu.

Aku menarik nafas. "Denger! Kamu siapkan saja Naku! Tapi, diam-diam saja. Jangan sampai ada yang tahu kalau Abang nyuruh kamu siapkan pemakaman!"

"Apa? Ini rahasia? Lu ngga bun*h anak orang 'kan, Bang?!"

"Nggaklah! Please. Abang minta tolong sama kamu! Kamu siapkan pemakaman tapi jangan kamu beritahu siapapun. Abang belum bisa cerita semuanya sekarang! Bisa 'kan?"

"Hmm … oke, Bang! Sekarang abang dimana?"

"Ada, lah! Nanti abang cerita semuanya sama kamu! Yang penting, tolong kamu siapkan saja pemakamannya!"

"Siap laksanakan!"

Tuttt!

Kuputuskan sambungan telepon dengan Nakula. Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana.

Aku merunduk. Kututup wajah dengan kedua tangan.

Kenyataan ini terlalu menyakitkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Satu Setengah Tahun kemudian (END)

    Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Kehangatan Di bawah Selimut

    *********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Langsung Praktek

    Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Apalah Arti Sebuah Panggilan

    ********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Sangat Berarti

    Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Jati Diri Davina

    Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status