“Eh, Mas Elkan, kamu jangan duduk di kursi situ, ya. Itu buat tamu penting,” tegur Anya pelan, tapi tajam. “Kamu biasa duduk di bangku dekat dapur, kan?”
“Sudah biasa didudukkan, bukan diposisikan,” jawab Elkan datar sambil berdiri. Ia membawa gelas air ke dapur, kembali memposisikan dirinya sebagai pelengkap suasana.
Namun diam-diam, Elkan memperhatikan.
Salah satu pria paruh baya yang duduk berdampingan dengan Bu Mirna... wajahnya tak asing.
Pak Herman Wijaya. Komisaris utama dari PT Citra Jaya Properti.
Elkan menahan senyum. Jadi ini proyek yang akan mereka garap?
Ia menarik napas panjang.
Menarik. Mereka belum tahu siapa yang mereka ajak bicara.
Setelah acara selesai, Elkan diam-diam kembali ke kamarnya. Ia membuka laptopnya, menyambungkan ke sistem jaringan Mahendra Foundation, dan mulai menulis satu surat resmi dengan kop perusahaan.
Kepada: Ibu Mirna Hartawan, Komplek Bukit Zamrud No. 10, Jakarta Selatan
[Kami, PT Citra Jaya Properti, menginformasikan bahwa rumah yang saat ini Ibu tempati secara administratif telah tercatat sebagai aset dalam daftar audit dan penilaian ulang.
Sehubungan dengan proses restrukturisasi internal dan evaluasi nilai sewa, mohon untuk bersiap menghadiri pertemuan bersama pemilik saham utama dalam waktu dekat.]
Terlampir: jadwal rapat & undangan formal.
Tertanda, Direksi Utama – Pemilik Saham Mayoritas
Elkan menyeringai pelan. Ia tak menulis namanya di bawah tanda tangan.
Terkadang, kekuasaan lebih tajam ketika datang tanpa nama. Hanya aroma ketakutan yang membekas.
Malamnya, suasana rumah lebih sunyi. Mungkin karena surat yang baru saja tiba lewat kurir khusus sore tadi—semua penghuni rumah terlihat gelisah. Bahkan Bu Mirna sampai memeriksa sertifikat rumah di lemari.
Di tengah keheningan itu, Elkan sedang duduk membaca dokumen di kamarnya, ketika...
Tok tok tok.
Tanpa menunggu jawaban, pintu terbuka perlahan.
Tiara. Kali ini bukan dengan kimono, tapi daster transparan berwarna biru langit, seperti cuaca yang terlalu polos untuk jadi kenyataan.
“Elkan,” bisiknya. “Aku... enggak bisa tidur. Terlalu banyak yang kupikirkan.”
“Pikirkan yang mana? Rumah yang mungkin disita atau suami adikmu yang tiba-tiba jadi berbahaya?”
Tiara menutup pintu perlahan, duduk di sisi tempat tidur Elkan. Wajahnya sendu. Tapi Elkan tahu—sendu ini tidak datang tanpa motif.
“Aku tahu kamu lebih dari yang kamu perlihatkan. Dan aku... cuma mau berada di pihak yang benar sebelum semuanya berubah.”
Elkan menoleh. “Apa kamu selalu berpihak pada siapa yang tampak berkuasa?”
Tiara mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh pipi Elkan.
“Aku berpihak pada siapa yang tahu apa yang dia mau.”
Elkan menatapnya. Dalam. Tapi tidak bergeming.
“Saat ini, yang aku mau... cuma tidur nyenyak. Dan aku belum cukup bosan untuk menggunakan tubuh orang lain sebagai tempat pelarian.”
Tiara terpaku.
“Maaf,” ucap Elkan dengan tenang. “Tapi malam ini, aku memilih selimut,” lanjutnya sambil melirik belahan dada Tiara yang sejujurnya sangat menggiurkan.
Tiara bangkit dengan anggun, tapi matanya tampak tersulut mendengar ucapan Elkan.
“Laki-laki yang bisa menolak perempuan... biasanya adalah laki-laki yang sudah punya sesuatu yang lebih besar untuk dikejar.”
“Elkan,” katanya sebelum keluar, “kalau kamu bukan siapa-siapa... semua ini enggak akan masuk akal.”
Malam itu hujan turun pelan, seperti sedang menyanyikan rahasia yang tak ingin diketahui siapa pun.
Di ruang kamarnya yang sempit, Elkan duduk sendirian, mengenakan hoodie tipis warna abu yang masih bau deterjen. Di hadapannya, laptop terbuka menampilkan laporan awal dari anak perusahaan Mahendra Group—sebuah laporan transaksi besar-besaran yang akan mengguncang dunia properti ibu kota dalam waktu dekat.
Sebuah perumahan mewah di Jakarta Selatan akan dibeli tunai… dan pengembangnya adalah PT Citra Jaya Properti. Ya, perusahaannya.
Dan lucunya?
Salah satu rumah yang tercatat masuk akuisisi… adalah rumah tempat dia sekarang, yang mana dia dianggap sebagai benalu.
Ironi memang selalu menyukai orang sabar.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Anya berdiri di sana, mengenakan piyama satin biru tua yang biasanya hanya ia kenakan kalau ada pesta keluarga atau saat ingin membuat Elkan cemburu.
Tapi malam ini, wajahnya pucat. Mata merah. Ada sisa air mata di pipinya.
“Elkan…” suaranya pelan. “Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi… aku butuh kamu sekarang. Boleh aku masuk? Boleh aku tidur denganmu?”
Rumah tampak lebih sunyi dari biasanya, namun udara tetap tebal oleh ketegangan dan hasrat yang tak tersampaikan. Elkan berdiri di ruang tengah, menatap Anya yang duduk di sofa dengan ekspresi campuran antara penasaran, bangga, dan sedikit cemburu. Matanya tak lepas dari setiap gerak tubuhnya, dari rambut yang tergerai sampai lekuk gaun yang jatuh anggun mengikuti bentuk tubuhnya. Langkah-langkah halus terdengar dari arah tangga. Tiara dan Citra, dua sosok yang sebelumnya menghilang, muncul perlahan. Mereka menatap Elkan dengan senyum tipis penuh misteri. Hadirnya mereka membuat aura rumah berubah—lebih panas, lebih menantang. "Elkan," bisik Citra sambil melangkah lebih dekat, aroma parfumnya memikat. "Kamu tampak berbeda malam ini… lebih… percaya diri." Elkan menatap tajam, mencoba tetap tenang. "Aku tetap sama," jawabnya, walau hatinya merasakan godaan yang semakin kuat. Tiara duduk di kursi dekatnya, menyingkirkan jarak. "Sungguh? Aku rasa banyak yang berbeda dari dirimu," kata
Pagi datang dengan cahaya keemasan yang menembus tirai tipis ruang keluarga Hartawan. Aroma teh dan kue sarapan berputar di udara, namun apa yang terjadi di meja pagi itu bukan lagi sekadar makan bersama—melainkan pengadilan keluarga, dengan Elkan sebagai terdakwa sekaligus hakimnya sendiri. Semua anggota keluarga besar telah berkumpul. Bu Mirna dengan blus mewahnya, Paman Arif, Bibi Rina, sepupu-sepupu seperti Linda dan Claudia, hingga para menantu lain yang selalu memandang Elkan setengah mata. Anya duduk tenang di samping suaminya, sementara Elkan mengambil posisi di kursi paling ujung—tempat yang memberi pandangan penuh ke seluruh ruangan. "Elkan," buka Bu Mirna, menyilangkan tangan, "karena semalam kau membuat pernyataan besar di pesta keluarga Mendoza, hari ini kau harus menjelaskan semuanya. Kalau kau memang pewaris besar seperti yang digembar-gemborkan… tunjukkan buktinya." Elkan mendongak perlahan, sorot matanya tenang namun tajam. Ia menatap satu per satu wajah di sekelil
rtawan belum beranjak dari ruang tamu megah yang kini ditelan hawa panas tak kasat mata. Kristal pada lampu gantung berkilauan, memantulkan tatapan penuh penasaran setiap mata yang menatap Elkan bagai menatap teka-teki terbesar dalam hidup mereka. Setiap kalimat manis dibalut racun, setiap senyum menyimpan niat tersembunyi.Elkan duduk tenang di sofa tengah, bercangkir teh hangat yang tak pernah ia teguk. Di satu sisi, Anya duduk mendekat, menyentuhkan lututnya ke paha Elkan, sebagai isyarat kepemilikan. Claudia bersender di kursi seberang, menatap mereka bagai pemangsa. Katya—masih dengan tatapan khilaf sensualnya—menyilang kaki tanpa malu, sekali-sekali memperlihatkan paha porselen untuk menguji fokus Elkan yang tetap dingin.Bu Mirna berjalan pelan membawa nampan buah, mencoba terlihat keibuan padahal matanya begitu tajam memperhitungkan posisi. "Elkan, kau membuat kejutan semalam. Kau bilang akan selamatkan keluarga Mendoza. Sekarang seluruh dunia sedang membicarakanmu. Kau pikir
Elkan menutup pintu apartemennya dengan lembut, namun napasnya masih berat karena sisa adrenalin dari pesta malam sebelumnya. Cahaya lampu kota menembus jendela besar, memantulkan kilauan malam yang elegan. Di sisinya, Anya berdiri dengan memakai gaun malam yang lembut, rambutnya yang basah diguyur hujan sore tadi masih menetes perlahan di bahunya. Tatapan mereka bertaut lama, penuh kata yang tak terucap, ketegangan yang bercampur antara cinta, keingintahuan, dan godaan. “Aku… tak menyangka kau bisa melakukan itu,” bisik Anya, suaranya lirih namun tegas. “Mengambil alih kendali begitu saja, di hadapan semua orang. Kau… menakutkan sekaligus memikat.” Elkan tersenyum tipis, tangannya meraih jemari Anya. “Kalau ingin dijaga… kau harus tahu siapa yang benar-benar memegang kendali. Tidak ada kompromi, tidak ada kebohongan.” Anya menghela napas. Tubuhnya bergetar, namun matanya tetap menatap tajam. “Dan kalau aku jatuh di hadapanmu lagi? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan… hasrat ini?
Elkan menutup pintu apartemennya dengan lembut, namun napasnya masih berat, sisa adrenalin dari pesta malam sebelumnya. Cahaya lampu kota menembus jendela besar, memantulkan kilauan malam yang elegan. Di sisinya, Anya berdiri dalam gaun rumah yang lembut, rambutnya yang basah diguyur hujan sore tadi masih menetes perlahan di bahunya. Tatapan mereka bertaut lama, penuh kata tak terucap, ketegangan yang bercampur antara cinta, keingintahuan, dan godaan.“Aku… tak menyangka kau bisa melakukan itu,” bisik Anya, suaranya lirih namun tegas. “Mengambil alih kendali begitu saja, di hadapan semua orang. Kau… menakutkan sekaligus memikat.”Elkan tersenyum tipis, tangannya meraih jemari Anya. “Kalau ingin dijaga… kau harus tahu siapa yang benar-benar memegang kendali. Tidak ada kompromi, tidak ada kebohongan.”Anya menghela napas. Tubuhnya bergetar, namun matanya tetap menatap tajam. “Dan kalau aku jatuh di hadapanmu lagi? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan… hasrat ini?”Elkan memandangnya dal
Anya di sisinya, gaunnya jatuh anggun mengikuti lekuk tubuhnya. Ada sesuatu di tatapan mata Anya malam itu—campuran bangga, khawatir, dan rasa percaya yang dalam. Ia tahu Elkan bukan sekadar pria yang berdiri pasif di pesta ini. Bisikan-bisikan mulai terdengar."Siapa pria itu?" "Kenapa bersama Nyonya Anya?" "Kurir? Bodyguard? Atau sekadar tamu bayangan?"Elkan menahan senyum tipis. Ia sudah terbiasa diremehkan.Malam semakin larut saat alunan musik berubah menjadi jazzy sensual, menggoda siapa pun yang mendengarnya. Sebuah tepukan di bahu menyadarkan Elkan dari lamunannya. Saat ia menoleh, Claudia berdiri sambil menyeringai, segelas martini di tangan."Tebakan mereka makin liar, Elkan," bisik Claudia genit. "Ada yang bilang kamu itu gigolo pribadi yang disewa Anya. Menarik sekali, bukan?"Elkan hanya tertawa kecil, menyambar gelas sampanye miliknya. "Gigolo yang bisa beli gedung pesta ini kalau mau, ya? Biarkan mereka berkhayal, Claudia."Claudia mendekat, aromanya provokatif. "Tapi